Sudah bukan hal yang langka lagi, penggunaan styrofoam sebagai wadah makanan. Selain karena harganya yang murah, styrofoam juga sangat mudah didapatkan di pasaran. Tidak khayal ini membuat, para pedagang makanan banyak yang menggunakan styrofoam untuk wadah makanan yang mereka jajakan.
Styrofoam merupakan salah satu polimer yang berbahaya bagi kesehatan. Ia mengandung stirena, benzena, dan formalin yang masing-masing merupakan zat karsinogenik (pencetus kanker) dan sejumlah dampak negatif lainnya bagi kesehatan.
Stirena dapat dengan mudah terlepas ke dalam makanan yang berminyak, berlemak atau mengandung alkohol, terutama ketika makanan dalam keadaan panas. Akibatnya dapat menimbulkan kerusakan pada sum-sum tulang belakang, masalah pada kelenjar tiroid, sampai kepada anemia.
Stirena ini juga dapat mengurangi produksi sel darah merah yang sangat dibutuhkan tubuh untuk mengangkut sari pati makanan dan oksigen ke seluruh tubuh sehingga muncul gejala disfungsi saraf seperti kelelahan, gelisah, dan sulit tidur. Stirena juga bisa bermigrasi ke janin melalui plasenta ibu yang sedang mengandung, dan berpotensi mengontaminasi ASI (air susu ibu).
Sementara zat benzena akan bereaksi dengan cepat begitu terkena uap panas dari makanan yang dimasukkan ke dalam styrofoam. Benzena yang masuk ke dalam tubuh akan menyasar jaringan darah. Benzena tidak dapat larut dalam air sehingga tidak dapat dikeluarkan melalui urin maupun feses, kemudian menumpuk pada lemak di dalam tubuh. Hal inilah yang dapat memicu munculnya penyakit kanker.
Bila ditinjau dari aspek lingkungan, styrofoam sangat berbahaya. Dengan penggunaan yang masif (karena harga murah tadi), styrofoam menimbulkan timbunan sampah. Secara alamiah, styrofoam baru bisa terurai dalam jangka waktu 500 tahun.
Styrofoam sebenarnya dapat didaur ulang namun proses daur ulangnya tetap saja melepaskan sekitar 57 senyawa-senyawa berbahaya di alam. Styrofoam bahkan dikategorikan sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia.
Beberapa waktu lalu pernah diberitakan riset tentang rekayasa genetika terhadap cacing yang mampu pemakan plastik, dan juga riset tentang sampah kulit jeruk yang dapat mengurai secara alami senyawa styrofoam. Sayangnya semua inovasi tersebut terasa bagai angin lalu. Sampai sekarang belum ada penanganan khusus terhadap sampah styrofoam ini, dan pada akhirnya hanya metode sanitary landfill yang dipakai negara kita.