Gaung konservasi sudah cukup lama terdengan di Universitas Negeri Semarang. Berasal dari kata dasar ‘conserve’ yang berarti melestarikan, Unnes berekspektasi untuk menjadi ‘hijau’. Melestarikan yang dimaksud bukanlah melestarikan kenangan bersama mantan karena itu pasti bikin nyesek. Konservasi yang dijunjung Unnes adalah pelestarian alam, lingkungan, dan moral yang tertuang dalam Tujuh Pilar Konservasi. Lalu apakah konservasi yang diterapkan Unnes sudah berhasil?
Saya sebagai mahasiswa baru belum bisa menilai apakah koservasi yang digaungkan Unnes sudah mencapai targetnya atau belum. Saya hanya bisa melihat fakta yang terjadi di Unnes saat ini. Pembangunan gedung-gedung yang mungkin megah nantinya nampak menjadi faktor penghambat utama proses konservasi Unnes. Jelas, karena pembangunan tersebut membuat polusi udara(walaupun hanya di sekitarnya saja), polusi suara(di sekitarnya juga), dan polusi pemandangan(anggap saja ini ada).
Kemudian salah satu peraturan yang diterapkan Unnes setelah pembangunan selesai adalah larangan untuk menaiki kendaraan bermotor dalam area kampus. Saya sebagai mahasiswa yang memang tidak memiliki kendaraan bermotor dan untungnya kost dekat dengan kampus sih oke oke saja. Tapi bagaimana dengan donsen yang sudah sepuh atau sakit? Apakah setelah mereka memarkir kendaraan mereka harus berjalan ke FH dan naik ke lantai 3 misalnya? Lalu bagaimana dengan teman-teman FT yang asli Semarang sehingga laju? Apakah setelah kuliah seharian full, kemudian pukul 17.00 atau 18.00 harus berjalan sampai GSG untuk mengambil kendaraannya? Entahlah.
Selain itu, konservasi alam pasti berhubungan dengan sampah. Ya, ini memang masalah klasik yang tidak hanya dihadapi Unnes, tapi juga negara atau bahkan dunia. Menurut saya, faktor penting dalam penyelesaian masalah ini adalah kesadaran diri setiap orang. Namun begitu, kesadaran diri juga akan timbul jika fasilitas memadai. Dari kalimat tadi, mungkin pembaca sudah bisa menebak bahwa yang saya maksuk adalah ketersediaan tempat sampah.
Minimnya jumlah tempat sampah terkadang memaksa mahasiswa untuk mau tidak mau buang sampah sembarangan. Sekarang begini, jajanan di Unnes banyak yang berkuah atau bumbu sambal dibungkus plastik, baso mini atau siomay misalnya. Setelah memakan jajanan, disekitar mahasiswa tersebut tidak dijumpai tempat sampah. Ya akhirnya mahasiswa tersebut terpaksa membuang sampah sembarangan, daripada harus menyimpan sampah dalam tasnya terlebih dahulu, yang mungkin akan menimbulkan resiko seperti sambal bekas siomaynya mengenai buku yang harganya cukup untuk beberapa hari makan.
Itu hanya beberapa masalah dari konservasi yang diterapkan Unnes. Sebagai sebuah universitas yang kaya akan ilmu dan dipenuhi oleh pemikir-pemikir hebat, seharusnya hal-hal kecil seperti itu segera dicarikan solusi. Tujuan awal dalam penerapan konservasi memang bagus, namun pada praktiknya memang ada beberapa hal yang harus dibenahi agar pelaksanaan Kampus Konservasi dapat berjalan sesuai rencana.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisanb adalah karya sendiri dan bukan jiplakan