Dalam artikel tersebut dapat diketahui bahwa penulis ingin menganalisis fenomena sosial budaya pada masyarakat Jawa-Yogya, yaitu peristiwa ritual protes yang terjadi di kampus UGM dan Alun-alun utara Keraton Yogyakarta dengan berpijak pada perspektif strukturalisme varian Levi-Strauss. Ritual protes yang terjadi di Jawa-Yogya tersebut yaitu ritual protes yang dilakukan oleh masyarakat terhadap penguasa Republik Indonesia yang berkaitan dengan penuntutan pelaksanaan reformasi yang berkaitan dengan penggantian presiden Suharto. Namun ritual protes yang terjadi di kampus UGM dan di keraton memiliki perbedaan dan persamaan.
Perbedaannya adalah pada perwujudannya, yaitu jika ritual protes yang terjadi di kampus UGM dilakukan dengan orasi protes dan berkeliling kampus, sedangkan ritual protes yang terjadi di Keraton Yogyakarta perwujudannya adalah dengan pepe dan mbalela. Pepe merupakan ritual yang dilakukan oleh rakyat kecil yang memerlukan campur tangan raja untuk mengatasi permasalahan pentingnya. Tetapi rakyat sangat dipersulit untuk bisa mengadu langsung dan mendapat perhatian dari raja, mereka tidak akan berhenti berjemur sampai mendapat perhatian oleh raja dan dipanggil oleh raja. Sedangkan mbalela merupakan interaksi yang dilakukan oleh rakyat maupun pejabat kerajaan yang sudah tidak sudi untuk menghadap raja karena rasa kecema maupun rasa benci terhadap raja.
Sedangkan persamaan dalam ritual protes baik yang terjadi di kampus UGM dan di Keraton Yogyakarta adalah persamaan dalam strukturnya. Dari kedua ritual protes tersebut terdapat adanya relasi dari ketiga kedudukan. Pada ritual protes yang terjadi di kampus UGM terdapat relasi antara mahasiswa-Rektor-Presiden Suharto. Jika ritual protes yang terjadi di Keraton terdapat relasi antara rakyat Yogyakarta-Sultan Hamengkubuwono-Presiden Suharto. Dari kedua ritual protes tersebut juga terdapat persamaan sasaran protes yaitu kepada Presiden Suharto sebagai posisi tertinggi daripada pelaku protes. Ritual protes baik yang terjadi di kampus UGM maupun yang terjadi di Keraton Yogyakarta bisa kita analisis dengan teori strukturalisme Levi Strauss dimana struktur difokuskan pada obyek yang telah menjadi kenyataan, karena struktur bisa ditemukan dengan studi dan analisis, sehingga para ilmuan tidak diarahkan pada tujuan mencari sebab-sebab dan mencari keteraturan yang ada di dalam fenomena, melainkan untuk menemukan struktur yang terdiri dari relasi-relasi antar elemen yang terdapat di balik fenomena sosial budaya. Karena perilaku manusia tidak selamanya tidak teratur, malainkan memiliki keteraturan. Namun keteraturan ini berbeda-beda antara suku bangsa satu dengan yang lainnya. Selain itu, tujuan dari ilmu antropologi adalah mendapatkan koherensi di berbagai gejala sosial budaya, mencari logika, mencari struktur yang ada di balik fenomena budaya, sehingga dengan adanya teori struktural Levi Strauss dapat digunakan untuk menganalisis segala fenomena-fenomena sosial budaya dalam kehidupan, karena struktur tidak dibuat, melainkan harus ditemukan dengan studi dan analisis.