Manusia dan Kebudayaan
Pandagan yang kedua adalah bahwa sebenarnya makhluk manusia hanya diciptakan sekali saja atau monogenesis, yaitu dari satu makhluk induk dan semua makhluk di dunia ini merupakan keturunan Nabi Adam. Pada dasaranya makhluk manusia itu tidak mengalamai degenerasi, karena mereka merupakan keturunan dari satu induk, yaitu Nabi Adam. Adapun jika terdapat perbedaan-perbedaan itu lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda. Sedangkan pandangan yang ketiga adalah sejarah perkembangan kebudayaan umat manusia, dimana mereka yang awalnya dalam mempertahankan hidup hanya mengenal sistem bercocok tanam, berburu, dan meramu, namun dengan adanya perkembangan yang semakin pesat yaitu munculnya revolusi industri, kini manusia sudah mengenal produksi massal yaitu dengan memanfaatkan tenaga mesin. Secara umum, manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dimana manusia merupakan pendukung suatu kebudayaan.
Kebudayaan memiliki ruang lingkup yang bervariasi yaitu meliputi bagian yang tampak (overt) dan bagian yang tidak tampak (covert). J. J. Honingman (1954), mengungkapkan bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya (sistem nilai, gagasan-gagasan, dan norma-norma), sistem sosial (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat), dan artefak atau kebudayaan fisik. Selain itu, C. Kluckhohn juga mengatakan bahwa dalam setiap kebudayaan makhluk manusia juga terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya universal. Menurut ahli antropologi Inggris, pembatasan kebudayaan sangat dipengaruhi oleh konsep yang didasarkan atas fakta-fakta sosial dan kesadaran kolektif dari Emile Durkheim. Bagi mereka, struktur sosial adalah dasar utama dari masyarakat, oleh karena itu untuk memahami suatu struktur sosial dari suatu masyarakat harus dirumuskan melalui fakta sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat. Struktur sosial dianggap merupakan bagian yang statis sedangkan bagian yang dinamis adalah berbagai bentuk interaksi sosial. Kebudayaan merupakan suatu fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitar dan keperluan suatu komunitas. Kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan faktor dasar pembentuk tingkah laku manusia.
Setelah manusia mengalami evolusi pada sekitar pertengahan masa Miosen, yaitu dari kera ke arah homo sapiens, mereka memiliki cara-cara baru dalam menghadapi kehidupan. Sebagai konsekuensi itu, maka dalam memecahkan berbagai masalahnya, homo sapiens lebih mengandalkan kebudayaan yang dimilikinya daripada secara biologis. Jika suatu makhluk hidup tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, maka makhluk hidup tersebut tidak akan mampu bertahan hidup. Oleh karena itu, adaptasi menuntut pengembangan pola-pola perilaku yang akhirnya membantu suatu organisme agar mampu memanfaatkan suatu lingkungan tertentu demi kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan maupun menghindari diri dari bahaya. Dengan kata lain, manusia sebagai salah satu bentuk organisme, melalui sistem gagasan yang dikembangkan dan dimilikinya, diharapkan mampu menyesuaikan dirinya sebagai bagian dari ekosistem. Selain itu, pendekatan ekologis berupaya menemukan spesifikasi lebih tepat mengenai hubungan antara kegiatan manusia dengan proses alam tertentu dalam suatu kerangka analisis ekosistem. Ekosistem terdiri dari komunitas biota dari organisme-organisme yang saling berhubungan, yang ruang lingkup dan ketahanannya saling beraneka ragam.
Berkembanglah pendekatan ekologi budaya yang dilakukan oleh Julian H. Steward (1955). Ia memakai istilah cultural ecology sebagai suatu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan suatu lingkungan geografi tertentu. Ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Berbagai proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis mempengaruhi unsur-unsur inti struktur sosial. Munculnya keanekaragaman kebudayaan merupakan akibat perbedaan lingkungan sekitar mereka. Berbeda lagi dengan C.Geertz yang berpendapat bahwa analisis ekologis hanya relevan pada inti kebudayaan. Analisis ekologi mampu menunjukkan konstelasi unsur-unsur penting (pola-pola sosial,politik dan agama) berkaitan dengan pengaturan kehidupan dan penyusunan ekonomi. Karenanya, yang menjadi pusat perhatian dari ekologi budaya lebih berdasarkan pengalaman empirik terutama yang paling erat hubungannya denga pemanfaatan lingkungan. J.H. Steward berpendapat bahwa pada dasarnya berbagai unsur dalam suatu kebudayaan saling berhubungan secara fungsional tetapi tingkat dan macam hubungannya dalam berbagai aspek kebudayaan beraneka ragam. Sebenarnya inti kebudayaan dalam konteks ekologi budaya merupakan bidang penelitian yang ada batas-batasnya dan bukan merupakan ilmu komprehensif seperti yang dikemukakan oleh J.H Steward. Di samping lingkungan dan teknologi, ada faktor lainseperti sistem politik dan organisasi sosial yang menentukaan bentuk-bentuk kehidupan suatu masyarakat.
Perkembangan kajian ekologi dalam antropologi memunculkan adanya perbedaan pandangan mengenai kebudayaan yaitu pandangan environmental determinism yang percaya bahwa kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam membentuk kebudayaan suatu suku bangsak dan kaum possibilism yang berpendapat bahwa lingkungan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi kebudayaan dan tidak sepenuhnya merangsang timbulnya kebudayaan. Kedua pandangan tersebut merupakan upaya untuk melihat manusia dengan latar belakang habitatnya yang tidak lainadalah cerminan dari hasil adaptasi manusia itu sediri.
sangat bermanfaat,,