Ini Caraku Mendapatkanmu
Cerpen Karangan : Nur Azizah Wulandari
Nama gue Jo Ahmad, seorang siswa SMA yang ganteng (itu kata emak gue), smart, tenar dan terkenal akan keramahan serta kesopanannya. Bukannya promosi diri sendiri, tapi itulah penilaian orang terhadap gue. Dalam hidup ini penilaian orang lain terhadap kita itu penting untuk menjalani hidup bermasyarakat, walau terkadang sebuah syair lagu tidak membenarkannya. Tapi itu semua tidak ada kaitannya dengan alur cerita ini.
Ini cerita gue dalam mendekati seorang wanita yang cukup diidam-idamkan. Setelah mengikuti les privat selama beberapa minggu ini, gue siap untuk beraksi. Kata pertama untuk mendekati seorang wanita itu adalah berani. Karena di dunia ini jarang sekali wanita yang memulai sebuah perkenalan. Kebanyakan pria yang memulai duluan. Kata kedua adalah rahasia. Kita perlu merahasiakan proses pendekatan kita dari orang lain. Sekarang gue berani untuk memulai proses ini.
Langkah pertama, carilah info tentang dia sebanyak-banyaknya. Dengan berani, gue ajak ngobrol dia. Gue lihat Rifa lagi duduk di bangku taman. Gue deketin dia.
“Gue Jo, loe siapa?” Gue mulai dengan gaya cool gue.
“Gue Somat.”
Sialan, gue basa-basi sama Rifa, eh yang jawab malah si Somat. Langkah pertama gue gagal gara-gara si Somat. Salah gue juga sih milih tempat duduk yang di tengah-tenghnya ada si Somat. Setelah gue coba lagi, alhamdulillah kita kenalan juga.
Langkah kedua minta nomor HP langsung dari dia.
“Rifa, boleh minta nomor HP kamu ga?”
“Buat apa kak Jo?”
“Biar aku bisa ngajarin kamu kalau ada PR yang susah.”
“Oh, gitu ya. Nih!” (menyerahkan selembar kertas)
Ini nih, sifat polos Rifa yang bikin gue klepek-klepek. Gue ga tahu dia benar-benar polos atau sok polos. Sebagai seorang muslim, gue positif thingking kalau dia benar-benar anak yang polos.
Langkah ketiga, berilah dia perhatian, tapi jangan terlalu berlebihan. Itu hal yang diperlukan dalam proses ini. Menurut buku yang gue baca, seorang wanita itu senang bila ada yang memperhatikannya. Tapi, seorang wanita juga tidak suka bila terlalu berlebihan. Inilah, sifat wanita yang sulit untuk dipahami.
Langkah keempat yaitu berkunjung kerumahnya. Setelah berpikir, menghitung, menilai, dan menelaah, gue putuskan untuk berkunjung ke rumahnya.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, eh kak Jo, ada apa maghrib-maghrib gini ke sini?”
“Mau numpang sholat Fa.” Rifa kamu itu terlalu polos atau gimana sih? Ga peka pula, kalau malam ini malam minggu, dalam hati gue berteriak. Sialnya lagi, mau sholat jadi imamnya si Rifa, eh dianya lagi halangan. Jadi gue sholatnya sama ibu dan adiknya Rifa doang.
“Nak Jo, ada apa malam-malam gini main ke sini?” tanya ibu Rifa.
“Ini tante, mau ngajak keluar si Rifa, boleh ga tente?”
“Boleh, tapi jangan malam-malam, ehm si Rafa boleh ikut kan nak Jo?”
“Oh, iya boleh tante.”
Rifa memang anak pertama dari dua bersaudara. Apalagi dia seorang wanita. Jadi wajar saja kalau ibunya sangat menyanginya. Niatnya berduaan, eh jadinya bertigaan. Recana malam ini gagal total. Gue ga pantang menyerah. Keesokan harinya, gue sms si Rifa.
“Rifa, lagi ngapain? Aku mau main nih.”
“Lagi sendiri nih, ya udah ke sini aja.”
Pucuk dicinta ulam tiba, ini nih yang gue harapin. Gue ambil baju terkeren gue, lalu gue berangkat ke rumah si Rifa. Sesampainya di jalan depan rumah Rifa, sumpah gue malu banget. Ternyata di rumah Rifa lagi ada acara ibu-ibu gitu. Belum sempet ketemu Rifa, gue langsung putar balik motor gue dan pulang. Gue rasa ini bukan lagi “Pucuk dicinta ulam tiba” tapi sudah berubah menjadi “Di luar madu, di dalam bagai empedu”, kelihatannya hal yang bagus, tetapi sebenarnya tidak demikian halnya.
Sesampainya di rumah, gue tiduran di sofa. Gue berpikir, haruskah gue nyerah setelah berjuang selama ini. Tiba-tiba HP gue berbunyi. Gue baca sms dari Rifa.
“Jadi main ke rumah ga kak Jo? Aku udah nungguin kakak.”
“Maaf ya Rifa, kakak mendadak ada urusan, jadi ga bisa main ke rumahmu.”
Keesokan harinya di sekolah, gue putuskan untuk mencoba langkah kelima. Gue bergegas menuju kelas Rifa untuk menemuinya. Dengan langkah tegap bagai seorang pangeran, gue tiba di kelas Rifa. Sialnya, ternyata di kelas Rifa ada guru yang mengajar. Sekali lagi kesialan hadir dalam hidup gue. Gue kira semua kelas mengadakan jam kosong massal, ternyata cuma kelas gue doang. Dengan diiringi lagu sakitnya tuh di sini dan ikhlasnya tuh di sana, gue kembali ke kelas.
Akhirnya, gue putuskan untuk mencoba langkah terakhir dalam proses ini, yaitu nyatakan cinta dengan berani dan romantis. Sekali lagi gue menuju ke kelas Rifa. Kali ini waktunya sangat tepat, si Rifa lagi sendirian.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, tumben kak Jo ke kelas. Ada apa?”
“Langsung aja ya Fa. Rifa Anatasya maukah kamu jadi pacar seorang Jo Ahmad?”
“Hmm. Sebenarnya… sebenarnya, aku belum boleh pacaran kak. Jadi mohon maaf ya kak, aku ga bisa terima ini.”