“Ya Tuhan…..” keluh Naya dalam hati.
Otaknya ia putar sekeras mungkin untuk mencari solusi dari satu persatu soal-soal OSN fisika yang ia coba kerjakan. Dari buku paket tebal, tipis, buku catatan kelas X, XI, dan XII ia jadikan referensi, tapi kesemuanya itu tidak menjadikan Naya mampu memecahkan soal-soal tersebut. Sampai pada akhirnya ia menyerah, dadanya terasa panas, pelupuk matanya bak bendungan yang hampir jebol karena dipenuhi air mata yang menggenang, setetes air mata jatuh menyusuri pipinya, sedetik kemudian tangisnya semakin menjadi-jadi.
Sebenarnya tangisnya kali ini bukan hanya karena ia merasa frustasi dengan soal-soal fisika itu, melainkan ada sebuah kerikil besar yang baru saja mengoyak hatinya, kerikil itu membuat Naya merasa kehilangan semangat hidup dan belajarnya, serta membuat Naya bimbang untuk terus maju mewakili SMA Bintang dalam OSN fisika yang diselenggarakan oleh sebuah universitas ternama di kotanya atau tidak. Setelah beberapa saat amarahnya ia tumpahkan dengan menangis, ia merasa sedikit lega dan memutuskan untuk pulang.
Naya berjalan cepat meninggalkan kelasnya, XII IPA 1, menuju tempat parkir. Tidak seperti biasanya ia melewati jalan aspal yang sudah rusak, kali ini ia memilih untuk melewati teras-teras kelas. Sebenarnya Naya malas sekali untuk lewat sana, apalagi diantara deretan kelas itu ada ruang Osis, yang siang itu sedikit ramai karena dipenuhi para dewan ambalan kelas XI dan XII yang sedang mempersiapkan kegiatan pramuka dan menunggu siswa kelas X yang memang wajib mengikuti kegiatan tersebut setiap hari jumat. ‘Masa bodo ah’ begitu pikirnya. Langkahnya semakin ia percepat begitu sampai didepan laboratorium komputerdan berbelok menuju tempat parkir. Namun tiba-tiba saja tubuhya tersungkur.
“Aduuhh” erang Naya kesakitan. “Maaf-maaf aku nggak sengaja.” Sambungnya seraya beranjak meninggalkan tempatnya terjatuh tanpa peduli pada siapa yang menabraknya.
“Kak Naya tunggu, kakak mau kemana?” teriak seseorang yang menabrak Naya sambil mengejarnya.
“Pulang” jawab Naya singkat tanpa menoleh ke sumber suara.
Namun suara yang baru saja Naya dengar masih terngiang-ngiang ditelinganya, ia merasa kenal dengan suara itu. Dan yapp itu Dika, adik kelas Naya yang juga ikut mewakili SMA Bintang dalam OSN Fisika.
“Kenapa harus ketemu Dika si,, ya Tuhan…” gerutunya sebal.
Tiba-tiba saja sebuah tangan meraih lengannya dari belakang, Naya tersentak seraya membalikkan badannya. Didapatinya Dika sudah berada dibelakangnya dengan nafas terengah-engah.
“Kok kakak mau pulang? Ini nggak jadi latihan?” tanya Dika.
“Iya, kakak mau pulang, tapi ini jadi latihan kok.” Jawab Naya sambil menundukkan kepalanya berharap agar Dika tidak melihat wajahnya yang kalut.
“Loh, kak Naya habis nangis? Kenapa?”
“Udah ah Dik kakak mau pulang, tolong izinin ke Pak Alan ya, bilang aja kalau kakak sakit.” Ujar naya seraya meninggalkan Dika.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Dika, tapi Naya tidak mempedulikannya, ia tetap bertekad untuk pulang.
“Kak Naya kenapa sih sebenarnya? Ada masalah apa?” Tanya Dika dalam hati.
***
Keesokan harinya, Naya tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Mag nya kambuh karena kebiasaanya telat makan dan ia juga malu untuk berjumpa dengan teman-temannya karena matanya bengkak akibat ia menangis semalam suntuk.
Hari senin, Naya memutuskan untuk masuk sekolah. Sesampainya dikelas, Naya langsung mendapat ocehan dari teman sebangkunya, Sukma.
“Udah move on kamu Nay? Haha. Lagian katanya cuma nge-fans, kok responnya sampai segitunya, nangis 2 hari 2 malem, sampai matanya kaya Ahok, ditambah magnya kambuh lagi, kasihan. Seharusnya fans itu harus mendukung idolanya, kalo idolanya mau nikah, ya ikhlasin aja, do’ain biar pernikahannya Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah.”
“Ya” jawab Naya singkat. Tapi sebenarnya ia pikir ocehan Sukma yang panjang kali lebar kali tinggi sama dengan volume balok itu memang bener.
“Eh, iya Nay, Dika pas hari Sabtu nyariin kamu, aku bilang aja kalo kamu sakit soalnya mau ditinggal nikah Pak Alan, hahahaha.” Ledek sukma.
Naya hanya meresponnya dengan tampang kesal.
Bel pulang sekolah berbunyi, Naya keluar dari kelasnya paling akhir bersama dengan Sukma.
“Kak Naya” panggil sebuah suara yang langsung menyita perhatian Naya dan matanya menangkap sosok Dika sudah duduk manis di depan kelasnya. Tanpa pikir panjang Naya langsung menghampiri Dika sementara Sukma memilih untuk langsung pulang karena sudah dijemput ayahnya.
“Ini kak, pembahasan soal-soal yang kemarin, sama ada materi baru.” Kata Dika sambil menyodorkan buku agenda berwarna biru.
“Kakak kayaknya mau mundur aja deh Dik, kakak pusing soalnya, mau fokus buat ujian juga.” Jawab Naya sambil menolak buku yang disodorkan Dika.
“Ujian masih lama kali, ini kan baru masuk tahun ajaran baru, kalo kakak mau mundur gara-gara Pak Alan mau nikah, itu konyol banget, lagian Pak Alan udah cuti kok, jadi pembimbingnya digantiin sama Pak Bekti”.
Ada rasa lega dihati Naya mendengar penjelasan Dika mengenai Pak Alan. Sejenak suasana menjadi hening dan canggung.
“Emmm, udah lah kak, nggak usah dipikirin terus Pak Alan-nya, mendingan mikirin aku, hehehe. Aku pulang dulu ya kak, oh ya, besok latihan habis pulang sekolah di lab. Fisika, datang ya”. Ucap Dika sambil beranjak dari duduknya seraya menaruh buku agenda tadi dibekas tempatnya duduk.
“Makasih Dik, hati-hati.” Ucap Naya mengakhiri pertemuan mereka siang itu, dan dibalas senyum manis dari Dika.
Setelah bayangan Dika tak terlihat, Nayaterpanggil untuk membuka buku agenda yang tergeletak di sampingnya. Dibukanya lembar demi lembar buku agenda milik Dika yang berisi rumus-rumus dan pembahasan soal. Dan tak sengaja ia menemukan sebuah lipatan kertas origami berwarna biru terselip di sebuah halaman, Naya tergerak untuk membukanya, walaupun sebenarnya ia merasa perbuatannya ini sangat lancang. Ia baca tulisan dikertas itu perlahan,
Dear Kanaya Luna Samitha
Thanks for your patiently teach me physics
You are my spirit, you are my inspiration
Some days i lost your smile, why? Tell me what do you feel
I can’t see you like that, please, don’t be sad
I will make you can see aurora in equator, although it is not real
I will be your aurora’s light to change your black day to be shine and colourfull
It’s my promise
Kintana Mahardika
“Dika…Dika.. I’m not patient to see you as aurora’s light in my day” bisik Naya dalam hati dan tak terasa seberkas senyum kecil terlukis dibibirnya.