Rumahnya bak istana kepresidenan. Megah, mewah, mencakar langit, dan luas bagai lapangan GBK. Fandy Aditya Yunialdo nama lengkapnya, seorang anak pengusaha kaya raya ingin merasakan hidup mandiri. Ikut merasakan pahitnya kehidupan. Biasa hidup dengan kebutuhan yang selalu terpenuhi. Kini ia hidup di kos dekat pinggiran kali. Ibu dari anak yang ganteng dan smart ini tak rela akan kepergiannya.
“Fan, jangan tinggalin mama. Mama nggak bisa hidup tanpamu.” (menangis merengek-rengek layaknya balita yang minta sesuatu tidak dituruti).
“Ma, aku perlu hidup mandiri.” (bantahnya keras).
“Okelah kalau itu memang kemauan kerasmu.” (tak bisa berkutik lagi).
Mentari belum membuka matanya. Tapi, Fandy yang berumur 22 tahun telah bergulat mencari sekeping rupiah. Tak seorangpun tahu akan perjuangan akan menjadi mandiri. Ia rela berubah menjadi seorang pedagang sayur keliling. Tiap pagi harus membeli tumpukan sayur di pasar yang kumuh, pengap, dan bau busuk yang menusuk hidung.
“Bu, beli kangkung, sawi, bayam, buncis, terung, kacang panjang,…….. (belum selesai bicara).
“Pasti penjual sayur keliling baru ya…???” (tanya penjual penuh keyakinan).
“Kok tahu, Bu???” (dahinya mengkerut, bingung).
“Ya taulah. Pertama… belanjamu banyak. Kedua… karena di sini biasanya para penjual sayur keliling membeli sayuran. Ketiga… kalau sudah langganan pasti ngomongnya tidak nyebutin satu per satu, tapi seperti biasa ya, Bu!! Terus yang terakhir… wajah adik ini asing seperti belum pernah liat.”
“Oh… begitu ya… Saya memang penjual sayur keliling baru di sini. Saya datang dari kampung.” (ucapnya meyakinkan penjual).
Jelas saja Fandy berkata dari kampung. Kebohongannya dalam menyebutkan status kekayaannya, membuat Fandy tidak dibeda-bedakan dalam hal apapun. Mentang-mentang orang kaya, dirinya tidak mau dibedakan. Fandy menganggap semua orang itu sama di hadapan Allah.
“Sayur…sayur…sayur…” (teriakan Fandy agar sayurannya laris).
“Bang, bang, bang beli…” (teriak salah seorang yang keluar dari perumahan mewah).
(menengok ke belakang dan memutar arah menghampiri pembeli).
Dari arah timur dan barat terdengar suara orang berlarian mendekati Fandy. Fandy yang sedang melayani pembeli, tiba-tiba merasa gelisah sekaligus takut.
“Itu kenapa ya???”
“Biasa… kalau ada penjual sayur ganteng seperti abang ini pasti begini deh jadinya.”
“Ahh… Ibu bisa saja.” (senyum tersipu malu).
Ternyata benar. Para pembantu perumahan berlarian keluar membeli sayuran yang dijajakan Fandy. Baru sehari menjadi penjual sayur, barang dagangannya habis terjual secepat ini. Rasa penat yang ia rasakan, Fandy limpahkan untuk tidur siang. Suara adzan dzuhur telah berkumandang. Namun Fandy yang kebetulan kuliahnya libur semesteran, hatinya tak tergugah sedetikpun untuk ibadah.
Inilah kekurangan yang dimiliki Fandy. Dari sekian banyak kelebihan yang dimilikinya, hanya satu kekurangannya yakni tidak tahu soal agama. Padahal, orang tuanya sedikit tahu menenai agama. Namun, Fandy tidak pernah dibimbing secara tegas mengenai masalah agama.
Seperti biasa, tepat pukul 04.00 Fandy membeli sayuran di pasar. Kini, dia tahu apa yang harus dikatakan kepada Ibu Fatimah, penjual sayur yang menyekak perkataannya kemarin.
(sambil tersenyum). “Seperti biasa ya, Bu!!”
“Haha… ini adik penjual sayur keliling yang baru itu kan???”
“Iya, Bu.” (keduanya tertawa, mengingat kejadian kemarin).
Kembali lagi dia menjajakan sayurannya mengelilingi perumahan mewah. Hanya dalam waktu 3 jam, sayurannya habis terjual. Selain ganteng, faktor yang membuat dagangannya cepat laris terjual adalah sayuran yang dia jual bermacam-macam dan selalu segar tiap harinya. Berbeda dari tukang sayur yang lain. Terkadang, sayuran yang sudah layu kembali dijual keesokan harinya. Ini menyebabkan dagangannya tak selaris seperti dagangannya Fandy.
Satu bulan telah ia lalui dengan senang hati, tanpa mengeluh. Tidak seperti biasa, Ibu Fatimah tak terlihat di pasar, yang terlihat hanyalah seorang gadis manis dua tahun lebih muda darinya. Dia bingung siapa gadis itu.
“Karyawan baru ya, Neng???” (tanya penasaran).
“Bukan. Saya anaknya Bu Fatimah.”
“Ohh… Memang Bu Fatimah ke mana?” (tanyanya penasaran).
“Ibu sedang dirawat di rumah sakit .” (menundukkan kepala dan sedih).
“Kalau boleh tahu sakit apa ya?”
“Demam berdarah.”
(mengalihkan pembicaraan). “Beli sayuran yang itu!” (sambil menunjuk).
“Yaaa…”
Usai berjualan, Fandy menjenguk Ibu Fatimah yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Di rumaah sakit dia bertemu lagi dengan anaknya. Nama lengkapnya Siti Aisyah. Siti adalah nama panggilannya. Adzan dzuhur telah terdengar Siti mengajak Fandy untuk menunaikan shalat.
“Maaf, saya tidak shalat.”
“Kenapa?” (mengerutkan dahi).
“Saya tidak pernah shalat. Jadinya nggak tahu gimana bacaannya.” (jawabnya malu).
“Astaghfirullah hal’adzim. Padahal kan shalat itu wajib bagi kaum muslim. Ya sudah mari ikut saya ke masjid nanti adik saya akan ajarkan kamu!!”
Sampai di masjid, Fandy mengambil air wudhu dan mengikuti setiap gerakan dari adik laki-laki Siti itu.
Selesai shalat, ia merasakan rasa kenyamanan yang amat luar biasa. Dari rasa nyaman itulah dia ingin lebih mendalami tentang ibadah dalam Islam.
“Siti, kamu mau mengajarkanku untuk mendalami ibadah Islam nggak?”
“Dengan senang hati aku mau mengajarkan.”
Setiap pulang berjualan, Fandy dibimbing oleh Siti bagaimana tata cara shalat, wudhu, puasa, dan ibadah sunnah lain. Seiring berjalannya waktu, tumbuh rasa cinta di hati Fandy. Namun, ketika Fandy ingin mengungkapkan rasa cintanya, dia ragu akan masalah ibadahnya yang sama sekali belum sebanding dengan Siti. Tapi, ia yakin akan perkataan Siti bahwa semua masalah pasti ada jalannya. Allah tidak akan memberi cobaan atau tantangan bagi umatnya melebihi batas kemampuannya.
Tepat pada malam Minggu, setelah ia dibimbing Siti, Fandy mengajaknya untuk pergi keluar sebentar. Di situlah waktu Fandy menyatakan cintanya.
“Aku ingin ngomong sesuatu boleh nggak???” (senyum mempesona).
“Ngomong aja, masa ngomong nggak boleh.” (dengan nada jutek).
(dengan nada gugup). “Kamu mau nggak jadi calon istriku.”
“Ehmmmm…. gimana ya…. aku bingung.” (nada bercanda).
“Kamu nggak mau karena aku tukang sayur ya?” (wajah yang meyakinkan bahwa ia tukang sayur).
“Enggak.”
“Terus apa? Karena ibadahku yang masih kacau ya?”
“Enggak juga.”
“Terus karena apa dong.” (mimik serius, sekaligus takut ditolak).
“Emang aku udah jawab nggak mau ya…??”
“Belum.”
“La kamu kenapa dari tadi ngomel terus seakan aku menolak kamu?”
“Terus jawabannya mau apa nggak.”
“Bismillahirrahmanirrahim. Aku mau menjadi calon istrimu.” (senyum-senyum malu).
“Alhamdulillah Ya Allah Kau mendengar doaku.”
(mau memeluk Siti tapi……).
“Eitttssss… belum muhrim.”
“Oh iya aku lupa. Sory soalnya reflek sihh..”
Saat itu juga ia menceritakan siapa dia sebenarnya. Setelah mendengar, dia kaget bahkan menagis karena kagum akan kerelaannya menjadi seorang tukang sayur demi hidup mandiri.
Keesokan harinya, Fandy bilang kepada orang tua Siti bahwa ia akan mempersunting Siti, anaknya. Fandy juga bilang kepada orang tuanya bahwa Siti adalah calon istrinya.
Kedua orang tua setuju akan rencana pernikahan Fandy Aditya Yunialdo dan Siti Aisyah. Akhirnya setelah kedua orang tua saling berbicara, satu bulan selanjutnya mereka menikah dan hidup bahagia.
HAPPY ENDING
^-^
OLEH : PUTWI ARUMSARI