Love Finds A Way
by Rafika Kusuma's World on Dec.11, 2015, under sastra
Long Distance Relationship, pernah bahagia dengan kata itu, pernah sinis dengan kata itu, pernah meragu dengan kata itu, dan saat ini sedang yakin dengan kata itu. Hidup ini merupakan sebuah siklus. Kadang kita di atas dan kadang juga di bawah.
Hubungan jarak jauhku bermula 6 tahun yang lalu, tahun 2006 saat masih kuliah. Aku di Bali dan dia kuliah di Jakarta. Awal aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan dia, aku sudah sangat tahu resikonya, tuntutan kuliah di kampus yang memiliki ikatan dinas, membuatku siap untuk menjalani LDR, bahkan sampai penempatan kerja nanti.
Seperti pasangan-pasangan LDR lainnya, semua media komunikasi kami manfaatkan. Webcam dari YM, Twitter, Facebook, semua media kami coba. Beruntung dia berasal dari kota yang sama juga denganku. Jadi setiap libur semester, dia selalu dating. Banyak pertengkaran juga yang sering terjadi, lebih karena ego kami masing-masing. Tapi, bukan masalah pada awalnya. Lima tahun perjalanan kami, kedekatan aku dan keluarganya, dan kedekatan dia dengan keluargaku, seperti suplemen yang menguatkan dalam menjalani hubungan jarak jauh ini.
Sampai pada tahun keempat hubungan kami, setelah dia lulus kuliah, saat dia harus memilih untuk ditempatkan di kota mana, kami berdiskusi panjang lebar malam itu. “Harus memilih tiga kota di Indonesia, dan salah satunya boleh hometown placement (penempatan di kota asal). Aku pilih kota apa aja ya? Aku pengen di Bali, biar kita gak jauh lagi.” Katanya malam itu saat kami sedang bertelepon.
“Hey, dari awal aku mutusin untuk pacaran sama kamu, aku sudah siap kalau harus jauh dengan kamu lagi setelah kamu lulus kuliah.” Jawabku saat itu. “Ambil keputusan sesuai keinginan kamu ya, pertimbangkan juga situasi di kotanya.”
“Makasih ya, kamu adalah semangat terbesarku, mulai awal kuliah sampai aku mulai memasuki dunia kerja sekarang.” Tambahnya.
Keesokan harinya saat aku di kantin kampus dia meneleponku.
“Geg, aku tadi sudah nentuin kotanya, yang pertama tetap aku pilih Bali, tetap harus nyoba siapa tau disetujui, biar bisa deket sama kamu. Yang kedua aku pilih Kupang, ya paling enggak itu deket dari Bali dan tiketnya juga terjangkau kalau harus pulang ke Bali dadakan. Ketiga aku pilih Ambon, yang ini aku pilih daripada aku ditempatin di Papua.”
Di ujung telepon aku tersenyum dan berkata, “Iya deh, pilihannya yang penting gak ada paksaan dan memang keinginan kamu.”
Sampailah di hari pengumuman penempatan kerja, ini lebih mendebarkan daripada menunggu hasil pengumuman skripsi. Jarum jam mengarahkan ujung runcingnya ke angka sebelas tepat, ada telepon yang masuk. Ya, telepon dari dia! Ini pasti telepon tentang kabar yang sudah aku tunggu-tunggu. Aku pun melonjak bergegas menekan tombol hijau pada telepon genggamku.
“Halo…” jawabku
“Aku penempatan di Kupang!” teriaknya dari ujung telepon.
“Fiuh! Aku tadinya takut kamu penempatan di Ambon, karena gak mungkin di Bali,”balasku lega.
“Hahaha, makasih ya,” ujarnya sembari tertawa. “ nggak apa-apa kan kalau kita LDR lagi?” tambahnya mencoba meyakinkan.
“Siap komandan!” aku yakin. Aku sangat yakin. Tidak ada prasangka yang menghinggapi benakku. Aku justru memupuk harapan baru tentang sebuah hubungan jarak jauhku dengannya.
Kami memasuki tahun kelima hubungan kami, dan dia sudah menetap di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hubungan kami berlangsung baik-baik saja, hanya kesibukan kerja yang kadang membuat intensitas kami dalam berbagi cerita lebih sedikit disbanding waktu kuliah dulu. Aku bekerja di salah satu bank swasta di Bali dan harus menghadapi nasabah dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Tentu saja para nasabah ini membuatku tak bisa intens mengabari dia setiap saat, begitu juga dengan dia. Tapi, sebelum tidur, kami pasti meluangkan waktu untuk menelepon dan bercerita apa saja. Namun, saat dia harus dinas ke luar kota terpencil di NTT, kami hanya berkabar lewat sms karena sinyal telepon yang sangat buruk.
Sekilas hubungan ini terlihat aman-aman saja. Jarak Bali-Jakarta empat tahun, lalu Bali-Kupang hampir satu tahun, membuat banyak sahabat, teman, serta keluarga kami menaruh asa yang tinggi terhadap kelanjutan hubungan kami ke jenjang yang lebih tinggi. Awalnya, aku pikir pondasi ini cukup kuat, bukankah bertahan selama kurang lebih lima tahun dalam hubungan yang terhalang jarak bisa dikategorikan hubungan yang cukup kuat dan matang? Seharusnya begitu. Sampai suatu hari di bulan Juni 2011 dia berubah, tak ada lagi telepon sebelum tidur darinya, bahkan mengabari lewat blackberry messenger atau SMS pun sudah mulai jarang. Awalnya aku mengira mungkin dia memang benar-benar sibuk. Aku bisa memahami bagaimana sibuk dan ruwetnya menjadi seorang auditor. Tapi, perubahan itu semakin tidak wajar, setiap malam aku berusaha menghubunginya, tapi nada di teleponnya selalu sibuk, setiap hari di jam yang sangat tidak wajar, jam sebelas malam sampai jam satu pagi.
Membingungkan! Keanehan ini terjadi tepat seminggu setelah kepulangannya ke Bali beberapa waktu lalu dan saat itu kami baik-baik saja. Tidak ada perdebatan atau bahkan pertengkaran panas di antara kami berdua. Pada hari terakhir sebelum kepulangan dia ke Kupang, aku masih ingat betul dalam permintaannya kepadaku saat itu.
“Tetap sama aku ya! Aku beruntung dan bersyukur punya kamu…”
Kata-kata itu masih menempel lekat dalam ingatanku. Tapi, sekarang entahlah, semuanya berubah. Setiap aku coba untuk menanyakan ada apa, bukan penjelasannya yang aku terima, tapi amarahnya. Terakhir waktu, tiba-tiba saja dia menyatakan sebuah pengakuan yang sontak mengejutkanku, “Aku ngerasa kita udah beda sekarang. Aku gak bisa lihat kamu lagi di masa depanku.”
Aku hanya diam menggenggam telepon. Tak dapat kudengar lagi dengan jelas setiap kata yang terlontar darinya setelah itu. Hanya suara napasku yang berat diiringi oleh buliran Kristal bening yang dapat ditangkap oleh telingaku yang mungkin juga sama sepertiku, sudah tak lagi memiliki kekuatan untuk menjalankan fungsi dirinya dengan baik. Aku mencoba meyakinkan lagi.
“Ada cewek lain?”
“Enggak ada, sumpah!” jawabnya tegas.
Entah bagaimana, tapi aku membaca kebohongan di sana. Saat itu kami memutuskan untuk saling instropeksi diri. Aku hanya bisa berdoa, semoga saja kali ini terkaanku salah.
Aku terus berusaha mencari tahu ada apa sebenarnya, apa yang membuat dia berubah sangat cepat seperti itu, perubahan yang tak wajar. Aku tak mau tinggal diam. Aku terus mencari tau ada apa sebenarnya. Di tengah kebingunganku mencari tahu, mulai dari email, facebook, sampai akun Twitter miliknya, bahkan aku mencoba mendatangi kantor penyedia jasa jaringan telepon untuk meminta salinan data telepon masuk dan telepon keluar perangkat selulernya. Sia-sia saja. Tak ada yang bisa aku dapatkan. Tak sedikitpun. Tiap malam aku hanya bisa menangis, berdoa agar diberikan petunjuk akan hal ini.
Sampai suatu hari, sehari sebelum perayaan hari raya Galungan bagi umat Hindu, aku menerima sebuah pesan di messenger dari seorang temanku di Jakarta.
“Ri, aku tahu sesuatu tentang Nata…”
Rasa penasaran menyulut emosiku untuk segera menelepon temanku.
“Kamu tau apa?” seruku cepat saat Nadia mengangkat teleponku.
“Ri, aku bingung harus mulai dari mana, kamu temenku, begitu juga dengan Nata, tapi aku gak suka lihat kamu jadi ga lagi bersemangat kayak sekarang………”
Mulai mengalir lancarlah cerita dari Nadia, tentang alas an mengapa tiba-tiba Nata berubah. Dua jam lebih Nadia menceritakan semuanya dengan sangat jelas hingga aku hanya bisa termangu dan terduduk lemas, kemudian menangis tanpa suara seperti sudah tak ada lagi kekuatan dari dalam diriku hingga bahkan sepotong nada lirihpun tak mampu lagi aku produksi. Kepercayaan yang telah aku pupuk semenjak lima tahun lalu kini runtuh seketika. Semua kesetiaan yang telah aku pagari selama ini seoerti terbang bebas tak tahu ingin ke mana. Luluh lantak, aku tak tahu lagi bagaimana harus kembali berdiri esok hari.
Beberapa hari berikutnya aku memutuskan untuk bertemu dan bicara langsung dengan Nata. Aku memberanikan diri untuk terbang ke Kupang. Semua harus jelas! Aku harus mendengar langsung dari bibirnya.
Tergopoh-gopoh dia menyusulku ke salah satu hotel di Kupang tempatku menginap. Begitu melihatku, dia langsung memelukku dan berkata, “All is well, semua baik-baik saja, tak ada masalah, tak ada wanita lain. Ini semua dari aku, aku yang merasa mulai nggak bisa bertahan sama kamu. Aku yang mulai merasa tidak lagi yakin bahwa kamu yang akan mendampingi aku nantinya. Aku yang mulai merasa bahwa bukan kamu orang yang selama ini aku cari, dan…. Jarak, kasihan kamu kalau harus terus-terusan nunggu aku…” dia mulai buka suara tanpa aku tanya.
“Tapi kenapa baru sekarang kamu bilang? Kenapa baru setelah hubungan ini berjalan 5 tahun. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, dan jarak… jangan pernah menyalahkan jarak untuk perselingkuhan yang kamu lakukan! Kurang cukup kah waktu untuk membuktikan bahwa jarak bukan masalah bagi kita? Kenapa setelah 5 tahun kamu mempermasalahkan jarak…. Kenapa harus setelah 5 tahun kita berjuang?” isakku.
Kemudia, aku mencoba meminjam telepon genggamnya, berusaha mencari fakta otentik yang dapat aku saksikan tertulis nyata di layar itu. Sebelum membuka isinya, aku berdoa. Tuhan, jika kau sayang aku, tunjukkan jalanmu. Benar saja, aku mendapatkan copy dari BBm dia dengan gadis itu. Rasanya seketika duniaku berhenti berputar, di sana bagaimana bisa kekasih yang kau beri kepercayaan 100% bisa saling kirim pesan begitu intimnya dengan gadis lain. Bagaimana bisa saat kau sudah member setiamu, tapi malah dihempaskan dengan begitu kencangnya. Sadis!
Nata hanya bisa terdiam, mungkin di luar nalarnya, mungkin dia tak menyangka bahwa aku bisa bertindak sejauh ini. Dia berusaha memelukku. Aku menepisnya. Air mataku pun tiba-tiba mongering. Tak pernah ku duga setiaku akan dibalas dengan duri yang menusuk tajam seperti ini.
Awal pertemuan dia dengan gadis itu adalah saat kepulangan dia terakhir kali ke Bali. Mereka bertemu di Bali kemudian melanjutkan pertemuan-pertemuan terlarang mereka selanjutnya di Jakarta. Memang benar adanya apa yang Nadia ceritakan beberapa waktu lalu. Kukemasi barang-barangku langsung bergegas kembali ke Bali. Pikiranku kalut, terlintas beberapa potongan-potongan gambar kebersamaanku selama ini dengannya. Lima tahun dan semua hilang begitu saja. Lenyap tersapu ombak tinggi tsunami. Penantianku, kesabaranku, kesetiaanku, semua sia-sia dan tak pernah ternilai.
“Kalau memang kamu mulai merasa bahwa bukan akulah pendamping hidupmu kelak, aku bisa menerima. Tapi tolong, jangan masukkan orang lain dulu saat kamu benar-benar sedang berpikir dan mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya. Sejauh apapun kamu menyangkal bahwa gadis itu bukanlah penyebab keraguanmu, paling tidak, kehadiran dia mempengaruhi semua keputusan yang akan kamu buat nantinya.” Isak ku pecah dari dalam pesawat yang membawaku kembali ke Bali.
Berbulan-bulan perih itu masih terasa. Semua canda tawa, kejutan manis, serta bingkai merah muda akan kebahagiaan lenyap seketika tersapu angin hitam kencang kebohongannya. Berbulan-bulan aku hanya bisa menangis, dan menutup hati untuk siapapun. Hanya jika aku bisa membaca apa yang terjadi di dimensi ruang masa depan dan kembali menembus ruang masa lalu kala terakhir kali dia pulang ke Bali, aku tidak akan sudi membiarkannya kembali ke Kupang.
Benar apa kata orang, time heals all the pain. Lambat laun aku merasa tak ada guna lagi aku menghabiskan lebih banyak air mata hanya untuk orang dari masa lalu yang telah dengan tega mengkhianatiku. Toh dia sudah dengan bangganya memamerkan kekasih barunya di berbagai akun jejaring social miliknya. Satu kalimat dari sahabatkuyang selalu aku ingat : “Gak usah khawatir, Ri. Orang baik pasti akan dapat pasangan yang baik pula….” Hidup harus tetap berjalan. Dukungan dari keluarga serta sahabat membuatku lebih kuat dan bisa menjadi ikhlas seutuhnya.
Sudah setahun, ternyata setahunlah waktu untuk bisa menata lagi ruang di hatiku yang porak poranda. Saat aku mulai lupa dan tak peduli dengan masalah hati, seorang teman memperkenalkanku dengan seorang pria. Kekasihku saat ini, Firmansyah. Awalnya aku ragu untuk menjalin kedekatan dengan dia. Jujur, pernah merasakan sakit yang mendalam, membuatku sangat hati-hati memilih kekasih setelah itu. Aku tak ingin kecewa lagi.
Selain itu, hal yang paling membuatku ragu adalah JARAK. Dia di Bandung, aku di Bali. Pernah merasakan pahitnya dikhianati dan sakitnya dikecewakan membuatku sempat beranggapan, “Pacaran itu harus satu kota, buat apa kalau dia tak selalu ada di samping kita….” Namun, entah mengapa aku sangat bersahabat dengan LDR. Seperti kali ini, aku takluk (lagi) dengan rayuan jarak.
Melihat bagaimana dia memperlakukan aku. Melihat keseriusan niatnya untuk bisa bersamaku. Melihat kesiagaannya yang bisa selalu ada buatku. Aku merasa cukup. Sangat tercukupi dengan hubungan yang dia suguhkan untukku.
Bli, itu caraku memanggilnya. Dia sosok dewasa yang bisa mengajarkanku banyak hal. Pertemuan kami lucu. Seperti terlalu banyak kebetulan dalam pertemuan ini. Ayahku sempat bercerita bahwa beliau ingin memperkenalkan anak salah satu temannya dan aku tak pernah mau. Aku sama sekali tidak berminat dengan konspirasi perjodohan meskipun secara halus. Aku merasa masih mampu memilih sendiri siapa yang akan aku jadikan pasangan hidup tanpa campur tangan orang tuaku.
Akhirnya orang tuaku menyerah, dan memberikan semua keputusan di tanganku. Sampai suatu hari, temanku di Bandung memperkenalkanku dengan Bli. Saling bertukar cerita dan membuatku nyaman. Ramah, santun, dan lucu, itu kesan pertama kali saat aku mengobrol dengannya melalui telepon. Setelah beberapa lama saling bercerita, ternyata orang tua kami saling kenal. Sore itu saat sedang santai sore, aku iseng bertanya ke ayah.
“Yah, kenal Om Laksana?”
“Kenal, kenapa?” jawab ayah sambil tetap membaca korannya.
“Hoooooo…..nggak kok….” Jawabku berusaha datar.
“Nah anaknya Om Laksana itu yang mau ayah kenalin ke kamu kemarin. Anaknya ganteng, baik, pinter, sekarang tinggal di Bandung….” Tambah ayah sambil terus asik membolak-balikkan halaman demi halaman korannya.
Bisa merasakan apa yang aku rasa saat itu? Entahlah. Ada rasa yang perlahan hadir. Ada rasa kedekatan yang tiba-tiba muncul. Kebetulan ataukah jodoh, entahlah. Tuhan itu ajaib dan inilah cerita yang sedang Tuhan tuliskan untukku.
Pertemuan kami pertama kali di Bandung, aku memutuskan untuk menghampiri dia dan bertemu langsung. Setelah kurang dari dua bulan kami berkenalan dan aku merasakan ada getaran yang beda dari dirinya. Rasa yang bahkan tak pernah aku rasakan sebelumnya. Kami terus bertukar kabar, bahkan sesekali dia sering tiba-tiba menelepon ke rumah dan berbicara dengan ayahku. Entah apa yang mereka bicarakan.
Bandara Husein Sastranegara, tempat ini tak akan pernah aku lupakan sepanjang perjalanan hidupku nantinya, di sini pertama kali aku dipertemukan dengan makhluk Tuhan yang sampai saat ini selalu membahagiakanku. Makhluk Tuhan yang banyak mengajarkan aku tentang hidup. Makhluk Tuhan yang selalu berusaha tersenyum di hadapanku seberat apa pun masalah yang sedang dihadapi. Makhluk Tuhan yang selalu mengajarkanku untuk ikhlas jika hal yang tidak sesuai keinginanku harus terjadi. Makhluk Tuhan yang selalu memiliki pemikiran bahwa di setiap hal buruk yang kita hadapi, tidaklah sepenuhnya buruk, pasti ada hal baik yang Tuhan siapkan di balik itu semua.
Malam itu, Kamis 28 Juni 2012, ada yang menungguku di bandara ini, bukan… bukan di pintu kedatangan, tapi tepat di pinggir landasan pesawat. Ada yang diam-diam memperhatikan setiap penumpang yang turun sambil menghisap rokok alih-alih menampakkan gugupnya. Lalu tersenyum saat tahu matanya sudah menangkap sosokku. Aku tau sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di tangga pesawat, ada yang diam-diam memperhatikanku. Aku hanya menunduk dan berjalan cepat ke pintu kedatangan sambil menyembunyikan wajahku yang bersemu merah saat aku membaca pesan dari dia :
“Aku udah liat kamu, aku di samping ford ranger kuning, kamu cantik… J”
Secepat laju pesawat saat terbang tadi, aku berjalan bergegas menghampirinya. Beribu kupu-kupu merah muda serasa sedang menari gemulai di perutku. Rasa yang belum pernah aku dapati melayang di dalam asaku sebelumnya.
Kami punya banyak cara dalam mengungkapkan rasa sayang walaupun terhalang jarak, cara-cara sederhana tapi sangat berkesan. Kami hanya mengandalkan fasilitas messenger dan telepin, cukup. Ya, Bli bukan seorang maniak social network. Dia beranggapan, cukup dia dan aku yang tahu bagaimana dia mencintaiku, saat aku mengeluh, “Bli, bikin Twitter dong! Kan seru kita bisa mention-mention-an kalo aku kangen kamu.”
“Kalo kangen, kan tinggal telepon atau BBm sayang…” jawab dia sambil mengacak-acak rambutku.
Setiap pagi aku selalu membangunkan dia, atau sebaliknya. Begitulah cara kami mengawali hari-hari padat kami. Mengawali pagi dengan mendengar suaranya sampai suatu hari nanti aku benar-benar akan terbangun di sampingnya dan lembut mengecupnya setiap pagi. Kami juga terkadang bernyanyi lagu-lagu favorit kami dengan suara kacau balau seperti angin rebut lewat telepon dan biasanya diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak saat menyadari kekonyolan yang baru saja kami lakukan. Hal lain, saat aku tahu dia tak sempat makan karena kesibukannya, dari Bali aku sering menelepon layanan delivery makanan cepat saji untuk dikirimkan ke alamat dia di bandung tanpa sepengetahuan dia. Semuanya sederhana, mengalir tanpa harus ada sesuatu yang dipaksakan.
Dia sosok yang selalu membebaskanku melakukan apa saja. Aku bisa menjadi bagaimana inginnya aku tanpa harus ada yang aku tutup-tutupi. Dia tidak pernah melarangku, apa pun, dan itu membuatku selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan yang telah diberikannya kepadaku. Dia selalu berkata.
“Pasir kalo digenggam terlalu erat bisa habis semuanya, begitu juga cinta….”
Menjalani LDR tanpa tekanan dan tanpa aturan yang mengikat membuat semuanya terasa lebih ringan. Seperti air dari dua anak sungai yang mengalir secara natural, pada masanya, mereka berdua akan kembali bertemu lagi di hilir yang satu. Begitulah cinta jarak jauh yang kini sedang aku nikmati.
Siapa yang tak kenal rindu? Bukan hanya dalam LDR, pacaran jarak dekat pun selalu lekat dengan rasa yang satu ini. Rindu yang memicu resah. Rindu yang menimbulkan kengkuhan. Rindu yang membara hingga apinya terasa begitu menyesakkan dada. Rindu yang lama-kelamaan membentuk egoism diri kita.
Rindu itu indah, nikmatilah! Satu yang tersulit adalah saat kita rindu, tapi satu hati lagi yang berada di sana sedang sibuk. Aku dan dia sering terperangkap dalam situasi seperti itu. Kami menyiasatinya dengan cara yang kami sebut “Let me know!” ya, let me know, yang dekat saja belum tentu bisa mengerti isi pikiran masing-masing, apalagi yang jauh. Saat kami rindu, tapi salah satu di antara kamisedang sibuk, kami selalu mengirimkan pesan singkat, sesingkat : I miss you, kemudian mengalihkan semuanya dengan melakukan apa yang kami suka. Sampai salah satu di antara kami mengirimkan sinyal bahwa sudah menyelesaikan kesibukan sendiri dan dan siap untuk diganggu. Ada kadar rasa memiliki yang semakin bertambah saat kita berhasil membendung ego rindu itu dengan mengerti kesibukannya. Mungkin karena pernah sama-sama dikecewakan oleh seseorang di masa lalu, kami yang mengatasnamakan “jarak” menjadi lebih ikhlas menjalani semuanya, tanpa ada paksaan, tanpa ada tekanan dan control berlebih satu sama lain.
Subuh itu, aku harus kembali ke Bali setelah kunjunganku beberapa kali ke Bandung. Saat dia mengantarkanku ke biro perjalanan, dia mengutarakan sesuatu yang benar-benar membuat keseluruhan indraku ikut berpikir keras berusaha mempercayai kenyataan kalimatnya.
“Pacarannya jangan lama-lama ya. Kepulanganku ke Bali nanti, aku akan langsung bicara sama ayahmu untuk memohon restu beliau. Aku ingin kita terjalin dalam ikatan yang resmi secara agama dan hukum.” Katanya sesaat sebelum aku naik ke bus sambil menggenggam tanganku.
Rasa haru yang tak terhingga begitu membelenggu ku dan mungkin juga kamu, seluruh wanita yang membaca ini, di saat ada seorang pria menyatakan bahwa dia menginginkan dirimu menjadi ibu bagi anak-anak kalian di masa depan. Kabar baiknya adalah saat ini kami sedang mempersiapkan pernikahan kami. Terima kasih Tuhan, jika aku tau sehebat dan seindah ini hadiah yang kau siapkan untukku, mungkin aku tak akan mengeluarkan banyak air mata saat Kau menuliskan episode pembelajaran beberapa waktu lalu.
Untuk kamu Bli yang di sana :
Terima kasih untuk semua indah yang telah kita lewati bersama, tetaplah menjadi sosok, lelaki yang tenang dan bertutur lembut, tapi tetap berwibawa. Terima kasih untuk lebih memilih diam mendengarkan, kemudian memahami dan tak membiarkan emosi mengetahui nalarmu saat rindu mengubahku menjadi sosok yang egois.
Terima kasih untuk memilihku menjadi wanita yang akan kau kecup keningnya nanti sesaat setelah kau pasangkan cincin di jemarinya, kemudian yang akan kau genggam tangannya nanti sesaat setelah melahirkan anak-anakmu kelak.
Suatu saat nanti, saat dimana kita berpikir bahwa kita berbeda dan tak dapat disatukan lagi, ingatlah dulu saat kita berusaha memaklumi, memperjuangkan, kemudian menyatukan semua perbedaan yang ada.
Suatu saat nanti, ketika kau berpikir bahwa kau bisa saja hidup tanpaku, ingatlah dulu saat kau panic jika tak menerima kabarku walau barang semenit.
Suatu saat nanti, saat kau merasa perdebatan kita tentang suatu hal adalah tanda bahwa kita sudah tidak sejalan lagi, ingatlah, saat dulu bagaimana kau mendengarkan semua pendapatku, meresapi, mengerti, kemudian menerimanya.
Suatu saat nanti, ketika membuatku tersipu karena pujianmu bukan hal yang penting lagi, ingatlah, dulu saat kau merangkaikan banyak kata cinta untukku.
Suatu saat nanti, saat kau melihat wanita lain yang kau kira jauh lebih mengerti dirimu, ingatlah, saat dahulu hanya aku tempatmu pulang dan berkeluh kesah tentang semua yang terjadi di hidupmu. Ketika dulu aku mendengarkan, memberi saran, dan kau tersenyum, kemudian mengecup keningku.
Suatu saat nanti, saat semuanya terasa biasa saja, ingatlah, dulu saat kita selalu mengucap syukur atas pertemuan kita ini.
Aku sadar tak ada yang abadi, bahkan mungkin rasa ini, tapi ingatlah saat kita sama-sama berharap rasa ini ada untuk selamanya dan berharap tak aka nada kata pisah yang terucap.
Long Distance Relationship itu tergantung bagaimana kita menjalaninya. Lama atau tidaknya kita mengatasi jarak bukan jaminan untuk sebuah janji yang pernah terucap. Bukan jarak yang jadi masalah karena yang terpenting yakni adanya komitmen untuk tetap bersama dari kedua belah pihak. Jalanilah semua sebaik-baiknya, janji mudah untuk diucapkan dan berarti juga mudah untuk diingkari. Tapi, ketetapan hati untuk selalu bersama itu yang harus selalu dipupuk. Intinya, tak akan pernah ada masalah dengan jarak, yang harus dijaga adalah hati dan kepercayaan pasangan masing-masing.
@pacaranLDR