KESEMPURNAAN IBADAH

 

70haji

Sumber Gambar : https://katariau.com/m/read-69554-2015-09-14-lindungi-pernapasan-saat-tunaikan-ibadah-haji.html#sthash.Lh8zDmGp.dpbs

Integralitas Ibadah

Ibadah dalam Islam (QS. 2:21 , 51:56 )

a. Mencakup seluruh persoalan din
 Wajib
 Sunnah
 Mubah (QS. 3:19 , 5:3 )

 

b. Mencakup seluruh kehidupan
 Amal-amal yang baik
 Amal sosial
 Amal kehidupan
 Memakmurkan Bumi
 Menegakkan din (QS.2:208 )

 

c. Mencakup seluruh kehidupan manusia
 Hati
 Akal
 Anggota tubuh (QS. 3:191 )

Tautan permanen menuju artikel ini: https://blog.unnes.ac.id/ramadhani/2015/12/01/kesempurnaan-ibadah/

PERBUATAN BAIK

baik1

Sumber Gambar : https://patahtumbuh.me/tag/berbuat-baik/

Pengertian

 Ihsan dianalogikan sebagai atap bangunan Islam (Rukun iman adalah pondasi, Rukun Islam adalah bangunannya).

 Ihsan (perbuatan baik dan berkualitas) berfungsi sebagai pelindung bagi bangunan keislaman seseorang. Jika seseorang berbuat ihsan, maka amal-amal Islam lainnya atan terpelihara dan tahan lama (sesuai dengan fungsinya sebagai atap bangunan Islam)

Landasan ihsan

1. Landasan Qauliy

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka
jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang ihsan, dan hendaklah
menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan & menen-tramkan) hewan sembelihan
itu” (HR Muslim).

Tuntutan untuk berbuat ihsan dalam Islam yaitu secara maksimal (terhadap segala sesuatu: manusia, hewan) dan optimal (terhadap yang hidup maupun yang akan mati)

2. Landasan Kauniy Dengan melihat fenomena dalam kehidupan ini, secara sunatullah setiap orang suka akan perbuatan yang ihsan.

 

Alasan Berbuat Ihsan

Ada dua alasan mengapa kita berbual ihsan:

1. Adanya Monitoring Allah (Muraqabatullah)

Dalam HR Muslim dikisahkan jawaban Rasul ketika ditanya malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia, tentang definisi ihsan:

“Mengabdilah kamu kepada Allah seakan-akankamu melihat Dia. Jika kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia meIihatmu”.

2. Adanya Kebaikan Allah (Ihsanullah) Allah telah memberikan nikmatnya yang besar kepada semua makhlukNya (QS. 28:77 QS. 55, QS. 108: 1-3)

Dengan mengingat Muraqabatullah dan Ihsanullah, maka sudah selayaknya kita ber-Ihsanun
Niyah (berniat yang baik). Karena niat yang baik akan mengarahkan kita kepada:

1. Ikhlasun Niyat (Niat yang Ikh1as)

2. Itqonul ‘Amal (Amal yang rapi)

3. Jaudatul Adaa’ (Penyelesalan yang baik)

Jika seseorang beramal dan memenuhi kriteria di atas, maka ia telah memiliki Ihsanul ‘Amal (Amal yang ihsan).

 

Ada 3 keuntungan jika sesorang meramal dengan amal yang ihsan:

1) Dicintai Allah [2:195]

2) Mendapat Pahala [33: 29]

3) Mendapat Pertolongan Allah [16:128]

 

Kesimpulan :

Jadi untuk beramal ihsan harus memenuhi kriteria:

1) Zhohirotul Ihsan (Penampakan Ihsan). Artinya: Lakukan yang terbaik ! (Do your Best !)

2) Qiimatul Ihsan (Nilai Ihsan). Artinya: Ikhlaslah selalu! (To be ikhlas, please!)

Tautan permanen menuju artikel ini: https://blog.unnes.ac.id/ramadhani/2015/12/01/perbuatan-baik/

KONSEP DIRI SEORANG MANUSIA

images

Sumber Gambar : https://www.kaskus.co.id/show_post/517e1f2f5b2acf272a00000f/2940

Hakikat penciptaan manusia.

Asal kejadian manusia :

(1) Dari tanah (turob, 3:59), tanah liat (lazib, 37:11), tanah kering dan lumpur hitam (shalshaal, 15:28), saripati tanah (23:12).

(2) Dari air yang hina (32:7 -8), dari air yang dipancarkan (86:6 – 7), dari nuthfah (36:77).

Jelaskan bahwa dari ayat -ayat Al-Qur’an tersebut Allah mengingatkan manusia tentang asal kejadiannya (Adam) yaitu dari tanah dengan berbagai unsurnya, dan keturunannya diciptakan dari saripati tanah berupa air mani yang hina, sehingga sepantasnya manusia menyembah Allah yang telah menciptakannya dengan penuh ketawadhuan.

Kedudukan (tugas) manusia di dunia.

(1) Sebagai hamba Allah Tugas utama diciptakannya manusia adalah sebagai hamba Allah yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya Rabb yang disembah dan sebagai prioritas utama cinta kita.

(2) Sebagai khalifah di bumi Kedudukan manusia sebagai wakil Allah di bumi untuk mewujudkan eksistensi Allah di bumi dengan memberi kontribusi mengatur bumi berdasarkan syari’at yang ditetapkan Allah (2:30, 6:65, 33:72), memanfaatkan kekayaan bumi dengan ketentuan Allah (11:61) dan berlaku adil demi kemaslahatan dan kebaikan (57:25, 38:26).

(3). Berikan penjelasan tentang tuj uan penciptaan manusia. Dalam QS 51:56 disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Segala aspek kehidupan seorang hamba Allah seharusnya dilakukan dalam rangka persembahannya kepada Allah SWT dengan niat hanya untuk mencapai ker idhaan -Nya.

Tautan permanen menuju artikel ini: https://blog.unnes.ac.id/ramadhani/2015/11/30/konsep-diri-seorang-manusia/

MENGENAL ALLAH SWT

Allah (1)

Makna Ma’rifatullah

 Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui zat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).

Pentingnya Mengenal Allah

 Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak tertipu oleh dunia .

 Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122).
Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam.
Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .

 Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:

a) Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.

b) Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.

Jalan untuk mengenal Allah

1. Lewat akal:

 Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini:

  • – fenomena terjadinya alam (52:35)
  • – fenomena kehendak yang tinggi(67:3)
  • – fenomena kehidupan (24:45)
  • – fenomena petunjuk dan ilham (20:50)
  • – fenomena pengabulan doa (6:63)

 Ayat Qur’aniyah/ayat Allah di dalam Al-Qur’an:

  • – keindahan Al-Qur’ an (2:23)
  • – pemberitahuan tentang umat yang lampau [9:70]
  • – pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (30:1-3, 8:7, 24:55)

2. Lewat memahami Asma’ul Husna:

  • – Allah sebagai Al-Khaliq (40:62)
  • – Allah sebagai pemberi rizqi (35:3, 11:6)
  • – Allah sebagai pemilik (2:284)
  • – dll. (59:22-24)

 

Hal-hal yang menghalangi ma’rifatullah

 Kesombongan (QS 7:146; 25:21).

 Dzalim (QS 4:153) .

 Bersandar pada panca indera (QS 2:55) .

 Dusta (QS 7:176) .

 Membatalkan janji dengan Allah (QS 2:2&-27) .

 Berbuat kerusakan/Fasad .

 Lalai (QS 21:1-3) .

 Banyak berbuat ma’siyat .

 Ragu-ragu (QS 6:109-110)

Semua sifat diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka.(QS 2:6-7)

 

Tautan permanen menuju artikel ini: https://blog.unnes.ac.id/ramadhani/2015/11/30/mengenal-allah-swt/

MAKNA ILLAH

dua-kalimat-syahadat

Allah (1)

Penjelasan Rasmul Bayan

1. Aliha.
 Mereka tenteram kepadanya (sakana ilaihi) iaitu ketika ilah tersebut diingat-ingat olehnya, ia merasa senang dan manakala mendengar namanya disebut atau dipuji orang ia merasa tenteram.
 Merasa dilindungi oleh-Nya (istijaaro bihi), karena ilah tersebut dianggap memiliki kekuatan ghaib yang mampu menolong dirinya dari kesulitan hidup.
 Merasa selalu rindu kepadanya (assyauqu ilaihi), ada keinginan selalu bertemu dengannya, samada berterusan atau tidak. Ada kegembiraan apabila bertemu dengannya.
 Merasa cinta dan cenderung kepadanya (wull’a bihi). Rasa rindu yang menguasai diri menjadikannya mencintai ilah tersebut, walau bagaimanapun keadaannya. Ia selalu beranggapan bahawa pujaannya memiliki kelayakan dicintai sepenuh hati.
Dalil :
 Perkataan orang Arab : “saya merasa tenteram kepadanya”, “si fulan meminta
perlindungan kepadanya”, “si fulan merasa rindu kepadanya”, “anak itu cenderung
kepada ibunya”.
 Q.10:7-8, manusia yang mengilahkan kehidupan dunia merasa tenteram dengan hidup dunia.

 

2. Abadahu.
 Dia amat sangat mencintainya (kamalul mahabbah), sehingga semua akibat cinta siap dilaksanakannya. Maka diapun siap berkorban memberi loyaliti, taat dan patuh dan sebagainya.
 Dia amat sangat merendahkan diri di hadapan ilahnya (kamalut tadzulul). Sehingga menganggap dirinya sendiri tidak berharga, sedia bersikap rendah serendah-rendahnya untuk pujaannya itu.
 Dia amat sangat tunduk, patuh (kamalul khudu’). Sehingga akan selalu mendengar dan taat tanpa reserve, serta melaksanakan perintah-perintah yang menurutnya bersumber dari sang ilah.
Dalil :
 Perkataan orang Arab aliha adalah abadahu. Seperti aliha rajulu ya-lahu (lelaki itu menghambakan diri pada ilahnya).
 Q.39:45, orang kafir yang menjadikan sesuatu selain Allah sebagai ilahnya demikian senangnya apabila mendengar nama kecintaannya serta tidak suka apabila nama Allah disebut. Hadits, sabda Rasulullah SAW, “Celakalah hamba dinar (wang emas), celakalah hamba dirham (wang perak), celakalah hamba pakaian (mode). Kalau diberi maka ia redha, sedangkan apabila tidak diberi maka ia akan kesal. Ini disebabkan kecintaan yang amat sangat terhadap barang-barang tersebut.

 

3. Al Ilah.
 Al Marghub iaitu dzat yang senantiasa diharapkan. Karena Allah selalu memberikan kasih sayangNya dan di tangan Nyalah segala kebaikan.
 Al Mahbub, dzat yang amat sangat dicintai karena Dia yang berhak dipuja dan dipuji. Dia telah memberikan perlindungan, rahmat dan kasih sayang yang berlimpah ruah kepada hamba-hambanya.
 Al Matbu’ yang selalu diikuti atau ditaati. Semua perintahNya siap dilaksanakan dengan segala kemampuan sedang semua laranganNya akan selalu dijauhi. Selalu mengikuti hidayah atau bimbinganNya dengan tanpa pertimbangan. Allah sahaja yang sesuai diikuti secara mutlak, dicari dan dikejar keredhaanNya.
 Al Marhub, sesuatu yang sangat ditakuti. Hanya Allah sahaja yang berhak ditakuti secara
syar’i. Takut terhadap kemarahanNya, takut terhadap siksaNya, dan takut terhadap hal-hal yang akan membawa kemarahanNya. Rasa takut ini bukan membuat ia lari, tetapi membuatnya selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Dalil :
 Q.2:163-164, Allah adalah ilah yang esa tiada Ilah selain Dia, dengan rahmat dan kasih sayangnya yang teramat luas.

4. Al Ma’bud.
 Pemilik kepada segala loyaliti, perwalian atau pemegang otoriti atas seluruh makhluk termasuk dirinya. Dengan demikian loyaliti mukminan hanya diberikan kepada Allah dengan kesadaran bahawa loyaliti yang diberikan pada selain Nya adalah kemusyrikan.
 Pemilik tunggal hak untuk ditaati oleh seluruh makhluk di alam semesta. Mukmin meyakini bahawa ketaatan pada hakikatnya untuk Allah sahaja. Seorang mukmin menyadari sepenuhnya bahawa mentaati mereka yang mendurhakai Allah adalah kedurhakaan terhadap Allah.
 Pemilik tunggal kekuasaan di alam semesta. Dialah yang menciptakan dan berhak menentukan aturan bagi seluruh ciptaanNya. Maka hanya hukum dan undangundangNya sahaja yang adil. Orang mukmin menerima Allah sebagai pemerintah dan kerajaan tunggal di alam semesta dan menolak kerajaan manusia.
Dalil :
 Q.109:1-6, pernyataan mukmin bahawa pengabdianNya hanya untuk Allah sahaja dan sekali-kali tidak akan mengabdi selainNya.

LARANGAN BERHUBUNGAN DENGAN JIN

Jin adalah salah satu makhluk ghaib yang telah diciptakan Allah swt untuk beribadah kepadaNya. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu. (Adz-dzariyat (51): 56).

Sebagaimana malaikat, kita tidak dapat mengetahui informasi tentang jin serta alam ghaib lainnya kecuali melalui khabar shadiq (riwayat & informasi yang shahih) dari Rasulullah saw baik melalui Al-Quran maupun Hadits beliau yang shahih. Alasannya adalah karena kita tidak dapat berhubungan secara fisik dengan alam ghaib dengan hubungan yang melahirkan informasi yang meyakinkan atau pasti.

Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila (kapan) mereka akan dibangkitkan. (An-Naml (27): 65)

Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin (72): 26-28).
Manusia diperintahkan oleh Allah swt untuk melakukan mu’amalah (pergaulan) dengan sesama manusia, karena tujuan hubungan sosial adalah untuk melahirkan ketenangan hati, kerja sama yang baik, saling percaya, saling menyayangi dan saling memberi. Semua itu dapat berlangsung dan terwujud dengan baik, karena seorang manusia dapat mendengarkan pembicaraan saudaranya, dapat melihat sosok tubuhnya, berjabatan tangan dengannya, melihatnya gembira sehingga dapat merasakan kegembiraannya, dan melihatnya bersedih sehingga bisa merasakan kesedihannya. Allah swt mengetahui fitrah manusia yang cenderung dan merasa tentram bila bergaul dengan sesama manusia, oleh karena itu, Dia tidak pernah menganjurkan manusia untuk menjalin hubungan dengan makhluk ghaib yang asing bagi manusia. Bahkan Allah swt tidak memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan malaikat sekalipun, padahal semua malaikat adalah makhluk Allah yang taat kepada-Nya. Para nabi dan rasul alahimussalam pun hanya berhubungan dengan malaikat karena perintah Allah swt dalam rangka menerima wahyu, dan amat berat bagi mereka jika malaikat menampakkan wujudnya yang asli dihadapan mereka. Oleh karena itu tidak jarang para malaikat menemui Rasulullah saw dalam wujud manusia sempurna agar lebih mudah bagi Rasulullah saw untuk menerima wahyu. Tentang ketentraman hati manusia berhubungan dengan sesama manusia Allah swt berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum (30): 21).

Makna “dari jenismu sendiri’ adalah dari sesama manusia, bukan jin atau malaikat, atau makhluk lain yang bukan manusia. Karena hubungan dengan makhluk lain, apalagi dalam bentuk pernikahan, tidak akan melahirkan ketentraman, padahal ketentraman adalah tujuan utama menjalin hubungan.
Beberapa Informasi tentang Jin dari Al-Quran & Hadits
a. Jin diciptakan dari api dan diciptakan sebelum manusia

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelumnya dari api yang sangat panas. (Al-Hijr (15): 26-27).

sabda 2

Malaikat telah diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari tanah (yang telah dijelaskan kepada kalian). (HR. Muslim). Perbedaan asal penciptaan ini menyebabkan manusia tidak dapat berhubungan dengan jin, sebagaimana manusia tidak bisa berhubungan dengan malaikat kecuali jika jin atau malaikat menghendakinya. Apabila manusia meminta jin agar bersedia berhubungan dengannya, maka pasti jin tersebut akan mengajukan syarat-syarat tertentu yang berpotensi menyesatkan manusia dari jalan Allah swt.
b. Jin adalah makhluk yang berkembangbiak dan berketurunan

Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi (18): 50).

Al-Quran juga menyebutkan bahwa diantara bangsa jin ada kaum laki-lakinya (rijal) sehingga para ulama menyimpulkan berarti ada kaum perempuannya (karena tidak dapat dikatakan lakilaki kalau tidak ada perempuan). Dengan demikian berarti mereka berkembangbiak.

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (AlJin (72): 6).
c. Jin dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat jin

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya
melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.

Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Al-A’raf (7): 27).

Hal ini membuat kita tidak dapat berhubungan dengan mereka secara wajar sebagaimana hubungan sesama manusia. Kalau pun terjadi hubungan, maka kita berada pada posisi yang lemah, karena kita tidak dapat melihat mereka dan mereka bisa melihat kita.
d. Bahwa diantara bangsa jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir, karena mereka
diberikan iradah (kehendak) dan hak memilih seperti manusia.

Dan sesungguhnya di antara kami ada jin yang taat dan ada (pula) jin yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun jin yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. (Al-Jin (72): 14-15).

Meskipun ada yang muslim, tapi karena jin makhluk ghaib, maka tidak mungkin muncul ketentraman hati dan kepercayaan penuh bagi kita terhadap keislaman mereka, apakah benar jin yang mengaku muslim jujur dengan pengakuannya atau dusta?! Kalau benar, apakah mereka muslim yang baik atau bukan?! Bahkan kita harus waspada dengan tipu daya mereka. Berhubungan dengan jin adalah salah satu pintu kerusakan dan berpotensi mendatangkan bahaya besar bagi pelakunya. Potensi bahaya ini dapat kita pahami dari hadits Qudsi di mana Rasulullah saw menyampaikan pesan Allah swt:

sabda 3

Dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam keadaan hanif (lurus), dan sungguh mereka lalu didatangi oleh syaithan-syaithan yang menjauhkan mereka dari agama mereka, mengharamkan apa yang telah Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan hal-hal yang tidak pernah Aku wahyukan kepada mereka sedikitpun. (HR. Muslim). Dalil lain tentang larangan berhubungan dengan jin adalah:

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (AlJin (72): 6).

Imam At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan: “Ada penduduk kampung dari bangsa Arab yang menuruni lembah dan menambah dosa mereka dengan meminta perlindungan kepada jin penghuni lembah tersebut, lalu jin itu bertambah berani mengganggu mereka. Tujuan seorang muslim melakukan hubungan sosial adalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt dan berusaha meningkatkannya atau untuk menghindarkan dirinya dari segala hal yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah. Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah yaitu terjatuh kepada perbuatan syirik seperti yang dijelaskan oleh ayat tersebut. Ketidakmampuan kita melihat mereka dan kemampuan mereka melihat kita berpotensi menjadikan kita berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau
pendosa sangat mungkin memperdaya kita agar berma’shiat kepada Allah swt. Bagaimana berhubungan dengan jin yang mengaku muslim? Kita tetap tidak dapat memastikan kebenaran pengakuannya karena kita tidak dapat melihat apalagi menyelidikinya. Bila jin tersebut muslim sekalipun, bukan menjadi jaminan bahwa ia adalah jin muslim yang baik dan taat kepada Allah. Di samping itu, tidak ada manusia yang dapat menundukkan jin sepenuhnya (taat sepenuhnya tanpa syarat) selain Nabi Sulaiman as dengan doanya:

Sulaiman berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. (Shad (38): 35).

Maka berhubungan dengan jin tidak mungkin dilakukan kecuali apabila jin itu menghendakinya, dan sering kali ia baru bersedia apabila manusia memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini dapat dipastikan secara bertahap akan menggiring manusia jatuh kepada kema’siatan, bahkan
mungkin kemusyrikan dan kekufuran yang mengeluarkannya dari ajaran Islam. Na’udzu billah

Tautan permanen menuju artikel ini: https://blog.unnes.ac.id/ramadhani/2015/11/29/287/

Load more