“Pesan Sang Mentari”
Mentari kini tak lagi bersinar memancarkan hangatnya pelukan yang selalu melindungi bintang-bintang dari beratnya kehidupan. Tapi tak apa, masih ada bulan yang selalu menemanii bintang-bintang kecil itu yang sekarang mulai tumbuh dewasa. Namun, bulan tak akan pernah bisa menggantikan mentari yang selalu tersenyum ikhlas membanting tulang jauh diantara bintang-bintang juga tak pernah menikmai hangatnya keluarga demi mencari rezeki di luat kota.
Kejadian itu masih terniang diotak ku yang semakin dewasa hingga sampai aku mengakhiri hidupku itu akan selalu terniang. Ia yang selalu aku panjatkan didalam doa ku seperti dulu yang telah ia ajarkan padaku. Waktu semakin berlalu, 17 tahun seperti saju jam. Mengapa begitu? Ia karena memang begitu kehidupanku. Senja selalu menjemputku melihat terangnya mentari menyinari bumi pertiwi yang aku pijak, semenit, kemudian senja menyuruh ku pulang lalu ia pergi dengan segala berkah yang telah di tebarkan. Aku mulai melalum lagi mataku seakan kosong, nomer itu selalu aku simpan dalam ponselku. Tak tahu ada apa biasanya sehari sampai 5 kali ponsel pintar ini berbunyi tapi sejak 2 tahun terakhir ini ponsel ku tak memanggilku dengan lantunan ayat suci al- quran yang aku pasang sebagai nada dering. Sedang apa? Sudah pulang belum? Sudah solat belum? Makan sama apa?…ya kalimat itu yang selalu aku tunggu agar keluar dari barang pipih ini. Sesekali mataku melirik kearah nya. Ya asyiqol musthofa…
assalamualaikum..(sapa ku dengan suara lembut)
….tot..tot..tot…
Entah kenapa aku sejenak merasa bodoh, merasa tak sanggup berucap. Ya disaat senja. Tanganku masih tertompang di dahu ku yang panjang itu. Tapi entah mengapa tak berubah posisi sedetikpun bajuku basah seperti ada gerimis yang tak tahu kapan datangnya. Masih banyak hal yang harus aku lakukan mengantri panjang seakan sedang membeli karcis nonton di bioskop dalam pulau kapuk tersimpan semua cerita dan semua hal yang harus aku lakukan. Setidaknya kewajiban utama ku sudah runtuh kini tinggal membangun pondasi yang kuat pada dasarnya.
Kini mudah kembali bagi ku membentangkan lisan merah serta mengerutkan kelopak mata walaupun sebelumnya sulit untuk berpura-pura menampakaan apa yang sebenarnya tidak aku kehendaki. Setiap kali aku masuk kedalam rumah hanya suara keras dari balik korden yang terdengak diceruk telingaku. Umpatan-umpatan selalu dilayangkan oleh orang yang telah melahirkanku pada ayahku. Hanya bisa diam membisu tak berani mengeluarkan suara sedikitpun. Tak salah lagi, sudah ku duga sebelumnya pasti topik debatnya adalah pelaksanaan kewajiban agama.
bersambung…..