dianggap tak berarti. Selepas menndengarkan ceramah yang disampaikan oleh ustad maulana di televisi hati ini semakin bergejolak aku mulai memproses loading di otak ku memutar membalikkan otak bagaimana seharusnya aku berbuat. Aku takut jantung ku semakin berdegup kencang jika mengatakan masalah solat pada ibuku. Suara lembut yang biasa ia haturkan pada ku belaian tangan mulusnya tak lagi aku rasakan jikalau aku menyinggung masalah sholat. Mukanya langsung berubah matanya berbinar menatap tajam seperti yang ia tanpakkan pada ayah ku.
Hari semakin berlalu sejak aku mendengarkan ceramah dari televisi. Hati ku serasa ingin berontak tapi seakan ada pagar yang menghalanginya. Aku hanya bisa meminta pada sang pencipta yang maha membalikan hati manusia untuk memberikan hidayah bagi ibuku. Doa itu selalu sama seperti apa yang aku panjatkan sejak dulu aku duduk di bangku sekolah dasar namun sampai sekarang belum terkabulkan hingga usiaku semakin beranjak dewasa. Aku hanya husnudzon saja kepada Allah. Linangan air mata selalu menyertai lantunan doa yang aku panjatkan entah saat pertengahan malam ataupun saat metari sepenggalah selalu tak luapa aku panjatkan.
Besok lusa adalah satu ramadhan dengan suka cita aku menyambutnya perasaan sedih sejenak menjadi riang, bagaimana tidak saat inilah doa-doa menjadi mustajab dan berharap doa yang aku tanam selama ini menjadi bunga yang mekar dengan berbagai warna cantik dimana semua orang tertarik untuk memetik dan menanamnya sendiri dalam kepribadian mereka. Saat itu jarum jam menunjukan pukul 2:00 dini hari tak sengaja aku melihat dari balik korden ibu sedang berlinang air mata. Aku langsung menghampirinya sebab kamarku dengan ibu hanya dibatasi oleh selembar korden bekas dari kota metropolitan tempat ayah bekerja. Aku langsung menciumnya dan mendekapkan tanganku ketubuh gemuknya itu.
Ada apa bu?…(dengan suara lirih aku bertanya)
Tak apa ibu hanya bermimpi kurang baik saja. Sana kalau kamu mau sholat..(memerintah)
Kita jamaah yuk bu,..(merayu)
Aggrh..nanti kalau sudah waktunya ibu juga tahu sendiri, ibu itu capek dari pagi cari uang. Kamu tidak tahu kan..( sembari tidur kembali)
Sudah ku duga jawabannya pasti sama. Berkali kali saat aku mengatakan itu selalu jawabannya sama. Tapi entah mengapa aku merasa ada yang beda dari apa yang ia katakan semalam. Dari balik korden aku melahit mata ibu berbinar seakan sedang sedih. Aku mulai bertanya mimpi apa yang ibuku dapatkan semalam namun, seperti biasa aku tak berani bercap apa-apa. Sudah seminggu ayah tidak menelpon biasanya setiap hari aku mendengar suaranya yang menentramkan itu aku hanya berpikiran positif saja bahwa ayah sehat dan hanya sibuk dengan pekerjaannya.
bersambung…