Desa Ujung Gagak terletak di Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Ujung Gagak merupakan desa yang berada di kawasan Segara Anakan dimana desa tersebut merupakan desa yang paling ujung di Kecamatan Kampung Laut yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat. Karena wilayah di Desa Ujung Gagak berada di tengah laut sehingga masyarakatnya sebagian besar bermata pencaharian di sana adalah nelayan. Namun, sebagian masyarakatnya juga ada yang bermata pencaharian sebagai pedagang, PNS, kuli bangunan, dan lain-lain.
Masyarakat Desa Ujung Gagak memiliki keberagaman seperti tradisi, suku, adat istiadat, agama, mata pencaharian, dan kepercayaan. Adanya keberagaman tersebut diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Meskipun banyak perbedaan, namun terdapat toleransi di dalam masyarakat. dari adanya perbedaan tersebut sangat menarik jika kita akan membahas mengenai pluraliras masyarakat di Desa Ujung Gagak. Definisi pluralitas sendiri menurut wikipedia bahasa Inggris merupakan suatu kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (Firdaus Syam, 2011 : 259). Jadi, pluralitas merupakan sikap saling menghargai dan saling menghormati dalam memandang perbedaan, sehingga tercipta suatu toleransi yang dapat mengantarkan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan harmonis tanpa adanya konflik dalam berinteraksi satu sama lain di dalam keberagaman.
Pada masyarakat desa Ujung Gagak ditemukan keberagaman suku dan agama. Dengan adanya keberagaman suku dan agama tersebut, masyarakat desa Ujung Gagak juga mempunyai sikap dalam menghadapi keberagaman tersebut. Selain itu, masyarakat desa Ujung Gagak juga mempunyai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi sebagai akibat dari adanya keberagaman tersebut. Berikut akan dijelaskan mengenai bentuk, sikap, dan solusi yang ada di masyarakat desa Ujung Gagak:
BENTUK – BENTUK PLURALITAS PADA MASYARAKAT DESA UJUNG GAGAK
Di desa Ujung Gagak terdapat keberagaman dalam masyarakat yaitu dapat dilihat dari aspek suku dan agama. Pada aspek suku terdapat dua suku yaitu suku jawa dan suku sunda sedangkan pada aspek agama terdapat agama kristen, islam dan katholik yang dapat Peneliti uraikan sebagai berikut
Suku
Di desa Ujung Gagak terdapat dua suku, yaitu suku Jawa dan suku Sunda. Mayoritas masyarakat desa tersebut bersuku bangsa Jawa. Suku Jawa merupakan masyarakat yang telah tinggal di desa tersebut, sedangkan suku Sunda merupakan suku minoritas seperti masyarakat pendatang di desa tersebut. Masyarakat yang dianggap sebagai masyarakat lokal adalah masyarakat yang bersuku bangsa Jawa, hal ini dikarenakan desa Ujung Gagak terletak di Jawa Tengah yang secara kultural masih termasuk ke dalam daerah persebaran suku Jawa. Selain itu, yang dianggap masyarakat lokal yaitu masyarakat yang lahir di desa Ujung Gagak, berbahasa Jawa, serta memegang nilai – nilai dalam kebudayaan Jawa. Sedangkan yang dianggap sebagai masyarakat pendatang secara kultural yaitu masyarakat yang datang dari tanah Pasundan. Masyarakat pendatang tersebut sudah tidak melakukan ritual-ritual yang biasa mereka lakukan di daerah asal. Mereka sudah mulai berpartisipasi dalam berbagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat Suku Jawa seperti pada ritual sedekah laut, masyarakat Sunda ikut berpartisipasi didalamnya dengan ikut membayar iuran walaupun tidak ikut langsung dalam proses ritual sedekah laut.
Dalam keberagaman tersebut, interaksi sosial di dalamnya terlihat membaur satu sama lain sehingga keberagaman tersebut menjadi lebur. Berdasarkan hasil penelitian, suku Sunda memegang teguh tradisi yang mereka miliki seperti dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya.
Di desa Ujung Gagak terdapat dua bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Jawa Banyumasan (Ngapak) dan bahasa Sunda. Adanya dua bahasa tersebut disebabkan karena wilayah Kampung Laut terletak di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat sehingga banyak para pendatang berasal dari Jawa Barat yang tinggal di Desa Ujung Gagak. Dalam berinteraksi, masyarakat Ujung Gagak menggunakan bahasa Jawa Ngapak, namun beberapa warga pendatang yang berasal dari Jawa Barat masih menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi seperti pedagang di pasar. Misalnya, yaitu yang dilakukan oleh penjual tahu sumedang yang berkeliling desa untuk menjajakkan jualannya. Di dalam transaksi jual beli pun para pedangang dari Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, namun ketika pembeli tidak mengerti bahasa Sunda maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia agar tidak terjadi kesalahpahaman satu sama lain. Pedagang tersebut mengerti ketika warga setempat berbicara bermasyarakatnya.
Perbedaan dalam menggunakan bahasa Jawa namun mereka belum dapat berbicara secara lancar dengan menggunakan bahasa Jawa. Setelah berada dalam waktu yang cukup lama di Desa Ujung Gagak, para pendatang yang berasal dari Jawa Barat tersebut dapat beradaptasi dengan menggunakan bahasa Jawa untuk berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam memaknai sebuah bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi akan mengakibatkan adanya kesalahan komunikasi. Sehingga dalam hal ini peneliti hendaknya berhati – hati ketika berbahasa dengan masyarakat, apalagi ketika kita berada di dalam kehidupan masyarakat dimana ada keberagaman bahasa. Sehingga peneliti menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan warga setempat. Akan tetapi masih ada beberapa ibu rumah tangga yang kira – kira usianya 60 tahunan tidak mengerti bahasa Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut salah satunya adalah faktor pendidikan dimana kebanyakan orang tua di sana berpendidikan rendah mayoritas lulusan sekolah dasar.
Ketika berada di desa Ujung Gagak peneliti disarankan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, karena dengan menggunakan bahasa Indonesia akan lebih mudah untuk memahami dan melakukan komunikasi dengan masyarakat di desa Ujung Gagak. Meskipun mereka sering berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari – hari, namun ketika ada orang asing yang datang dengan berbahasa Indonesia mereka juga mampu mengikuti dan menyesuaikan percakapan dengan bahasa Indonesia. Di desa Ujung Gagak ditemukan beberapa anggota masyarakat yang kurang mahir dan lancar dalam menggunakan bahasa Indonesia, mereka lebih memilih menggunakan bahasa daerah mereka sendiri yaitu bahasa Jawa ngapak. Namun kebanyakan masyarakat yang ditemui telah mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan benar.
Anak – anak kecil di desa Ujung Gagak ketika diajak berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia mereka juga mampu menyesuaikan dan kata – kata yang mereka ucapkan pun terdengar sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari – hari. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor pendidikan yang ada di desa Ujung Gagak. Berbagai jenjang sekolah di daerah tersebut telah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar maupun bahasa komunikasi antara guru dengan siswa ketika berada di luar kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Agama
Mayoritas masyarakat desa Ujung Gagak beragama Islam. Meskipun demikian, terdapat juga masyarakat yang memeluk agama Kristen dan Katolik, namun hanya sedikit masyarakat yang menganut agama tersebut. Terdapat beberapa organisasi Islam yang terdapat di desa Ujung Gagak, yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Agama Islam disana memiliki beberapa aliran, yaitu Islam kejawen dan Islam Salafi.
Islam kejawen merupakan suatu aliran dimana seseorang mengakui bahwa dirinya beragama Islam namun juga menjalankan ritual – ritual yang sesuai dengan kepercayaannya sebagai orang Jawa. Islam kejawen sendiri merupakan hasil akulturasi antara budaya Jawa dan nilai – nilai agama Islam. Hal yang menjadi ciri khas aliran ini adalah doa – doa yang diawali dengan bacaan basmalah yang dilanjutkan dengan kalimat berbahasa Jawa serta diakhiri dengan kalimat syahadat. Selain itu, ritual – ritual dalam budaya Jawa masih dilakukan dalam kehidupan sehari – hari, contohnya seperti mencari hari baik ketika akan melaksanakan sebuah acara, atau melakukan acara tujuh bulanan pada wanita hamil. Pemimpin dalam ritual – ritual yang dilakukan oleh masyarakat pengikut aliran Islam kejawen yaitu pemangku adat setempat.
Mayoritas masyarakat yang beragama Islam di desa Ujung Gagak menganut aliran Islam kejawen, hal ini terlihat ketika banyak anggota masyarakat desa tersebut yang beragama Islam turut berpartisipasi dalam ritual Sedekah Laut dan Sedekah Bumi yang merupakan kebudayaan Jawa.
Aliran Salafi merupakan aliran agama yang dianut oleh sebagian masyarakat yang beragama Islam di desa Ujung Gagak. Menurut informan, aliran Salafi merupakan suatu aliran yang memurnikan Islam kembali seperti pada zaman Rasulullah. Sedangkan menurut penganut aliran Salafi, yang dimaksud dengan memurnikan Islam kembali seperti pada zaman Rasulullah yaitu :
- Menghindari Bid’ah
Masyarakat penganut Salafi tidak mau mengikuti kebudayaan lain di sekitarnya. Adanya ritual atau tradisi Jawa seperti Sedekah Laut dan Sedekah Bumi dianggap mubadzir oleh masyarakat pengikut aliran Salafi. Selain itu, ketika ada seseorang yang meninggal lalu diadakan selamatan untuk memperingati tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari setelah meninggalnya orang tersebut. Masyarakat penganut aliran Salafi menganggap bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah, hal ini ditunjukkan dengan anggapan anggota masyarakat penganut aliran Salafi yang berkata “ada orang meninggal kok malah pada pesta, seharusnya justru merasa berduka, selama ini kan juga nggak ada dalil atau hadist yang nunjukin kalo ada orang meninggal harus dislameti kan”.
- Penampilan
Yang menjadi ciri khas penampilan masyarakat penganut aliran Salafi untuk perempuan yaitu menggunakan kerudung dan cadar yang tujuannya adalah untuk menutupi aurat. Sedangkan untuk yang berjenis kelamin laki – laki menggunakan celana cingkrang, peci, baju koko, serta jubah. Hal ini menunjukkan bahwa ada penafsiran tersendiri oleh orang Salafi mengenai penampilan yang disesuaikan dengan tampilan seperti orang Arab yang menggambarkan keadaan Islam yang sama pada zaman Rasulullah. Masyarakat penganut aliran Salafi memahami bahwa budaya Arab merupakan budaya Islam yang sudah mengikuti tuntunan Rasulullah.
- Perilaku
Ketika bertemu dengan orang lain, masyarakat penganut aliran Salafi menundukkan kepalanya, bahkan tidak hanya pada lawan jenisnya saja, namun kepada sesama jenis mereka masih tetap menunduk.Masyarakat penganut aliran salafi menyekolahkan anaknya di pondok pesantren di luar desa Ujung Gagak agar dapat memperdalam ilmu tentang Islam.
- Interaksi
Daripada mengikuti acara ritual atau tradisi kebudayaan di daerah sekitarnya, penganut aliran Salafi lebih memilih untuk tetap di rumah. Karena menurut mereka, adanya ritual dan tradisi dianggap tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Sehingga menimbulkan kurangnya interaksi antara penganut aliran Salafi dengan masyarakat lain di sekitarnya.
Pada awalnya, aliran Salafi dibawa oleh masyarakat desa Ujung Gagak yang merantau ke luar negeri, seperti Arab, Mesir, dan lain – lain. Masyarakat yang merantau tersebut pulang kembali ke desa Ujung Gagak dengan penampilan yang berbeda beserta aliran Salafi yang dibawanya. Mereka menyebarkan aliran Salafi ini dengan cara berdakwah dengan mengajak masyarakat desa Ujung Gagak agar mengikuti aliran tersebut maupun dengan jalan menikahi laki – laki atau perempuan lokal di desa Ujung Gagak.
Menurut beberapa informan, selama ini belum pernah terjadi konflik fisik di antara umat beragama. Konflik yang terjadi berupa konflik laten, dimana konflik tersebut berwujud konflik yang tersembunyi . Konflik laten tersebut tersembunyi di dalam batin atau hati masing – masing individu di dalam masyarakat tersebut. Konflik tersebut berupa persepsi – persepsi masyarakat yang berada pada hati atau batin dari masing – masing individu, konflik tersebut juga berupa gunjingan – gunjingan yang dilakukan oleh mayarakat yang dilakukan tanpa sepengetahuan individu yang sedang digungjingkan. Selain itu, masyarakat juga membicarakan individu tersebut apabila individu tersebut sedang tidak bersama dengan mereka.
Konflik laten tersebut merupakan salah satu cara masyarakat untuk menghindari adanya konflik fisik yang dapat menyebabkan adanya keretakan hubungan antara sesama umat beragama di Desa Ujung Gagak atau di antara satu kelompok dengan yang lain di desa Ujung Gagak tersebut. Besarnya toleransi antar umat beragama yang ada di desa Ujung Gagak merupakan hasil komunikasi yang dibangun oleh masyarakat, komunikasi tersebut berbentuk seperti ketua adat atau kepala desa Ujung Gagak yang selalu memberikan informasi kepada masyarakat yang beraliran Salafi apabila terdapat suatu kegiatan atau acara yang akan diselenggarakan oleh penganut aliran Islam kejawen ataupun kegiatan yang diadakan masyarakat desa lainnya. Selain komunikasi, terbentuknya toleransi di dalam masyarakat juga disebabkan oleh adanya rasa kekeluargaan yang kuat pada setiap anggota masyarakat desa Ujung Gagak. Meskipun kebanyakan penganut aliran Islam Salafi merupakan pendatang dari luar desa Ujung Gagak, namun masyarakat setempat menganggap para pendatang tersebut sebagai keluarga, sehingga jarang sekali ditemui adanya konflik fisik yang terjadi di desa Ujung Gagak. Kuatnya toleransi antar umat beragama yang ada di dalam masyarakat desa Ujung Gagak menyebabkan timbulnya kerukunan dalam kehidupan masyarakat sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan meskipun mereka berbeda agama maupun aliran agama .
SIKAP MASYARAKAT DESA UJUNG GAGAK DENGAN ADANYA KEBERAGAMAN
Sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat desa Ujung Gagak terhadap keberagaman suku yaitu pertama, masyarakat menerima adanya keberagaman suku. Namun dalam penerimaan keberagaman tersebut terdapat suatu syarat yaitu dimana anggota masyarakat yang berbeda suku tersebut biasanya adalah para pendatang dan mereka harus bisa beradaptasi dengan segala sesuatu yang ada di desa Ujung Gagak. Kedua, masyarakat lokal tidak mempermasalahkan adanya perbedaan suku tersebut. Mereka tidak mempermasalahkan pilihan masyarakat pendatang. Ketiga, mereka menganggap bahwa semua anggota masyarakat desa Ujung Gagak adalah keluarga.
Sedangkan dalam keberagaman agama, sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat yaitu tetap menghormati apa yang diyakini oleh masyarakat yang lain tetapi bagi agama yang mayoritas diharapkan tetap menghormati yang beragama minoritas. Selain itu, sikap bagi masyarakat yang memiliki agama minoritas tetap menghargai dengan apa yang diyakini oleh agama mayoritas namun tidak ikut berpartisipasi dalam acara yang dilaksanakan oleh agama mayoritas tersebut. Ada juga masyarakat yang bersikap tetap melaksanakan kepentingan beribadah sesuai dengan komunitas masing – masing dan tidak akan menganggu atau merusak kegiatan komunitas lain. Karena semuanya pada dasarnya didasari oleh rasa toleransi yang tinggi di antara masayarakat sehingga meskipun ada berbagai keberagaman, hal tersebut tidak menjadikan keberagaman tersebut menjadi pemicu timbulnya konflik dan perpecahan di Desa Ujung Gagak.
SOLUSI YANG DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT DALAM MENGATASI KEBERAGAMAN
Dalam menghadapi keberagaman suku dan agama, maka solusi yang dilakukan oleh masyarakat desa Ujung Gagak untuk mengatasinya keberagaman tersebut yaitu :
- Masyarakat tetap bergaul atau berinteraksi dengan masyarakat yang tidak sealiran atau sepaham dengan mereka. Masyarakat tetap menjaga pergaulan dan interaksi dengan masyarakat golongan lain maupun masyarakat minoritas dengan saling berbaur dan melakukan interaksi-interaksi lain sebagaimana metinya. Dengan adanya pergaulan yang baik antar masyarakat desa Ujung Gagak yang meskipun berbeda aliran agama ataupun suku tersebut, menyebabkan timbulnya kerukunan yang sangat erat pada masyarakat sehingga dapat menghindarkan mereka dari adanya kemungkinan diskriminasi sosial terhadap masyarakat minoritas yang terdapat pada masyarakat desa Ujung Gagak.
- Toleransi pada agama dan masyarakat yang tinggi menyebabkan masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai, meskipun adanya konflik tidak dapat terhindarkan. Namun dengan tingginya toleransi tersebut membuat masyarakat dengan tetap terjaga kerukurananya . toleransi tersebut sudah menjadi jati diri dari masyarakat desa Ujung Gagak itu sendiri, dimana masyarakat menyadari mengenai bagaimana pentignya toleransi dan kerukunan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan tentram di desa Ujung Gagak.
- Masyarakat menganggap bahwa semua masyarakat desa Ujung Gagak merupakan keluarga. Meskipun banyak dari masyarakat desa Ujung Gagak yang merupakan pendatang dari suku dan agama lain, namun masyarakat setempat menganggap mereka sebagai keluarga sendiri sebagaimana penduduk yang sejak awal menempati desa Ujung Gagak tersebut. Tingginya kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat desa Ujung Gagak menciptakan kenyamana bagi masyarakat pendatang yang berada di desa tersebut. Begitu pula dengan mayarakat minoritas yang menempati desa tersebut. Adanya rasa kekeluargaan yang tinggi membuat masyarakat terhindar dari konflik, baik itu bagi masyarakat yang menganut agama mayoritas dengan penganut agama minoritas, begitu pula yang terjadi dengan masyarakat suku mayoritas dengan masyarakat suku minoritas.
Nah, sebelum membaca tulisan ini kalian mungkin berfikir bahwa Desa Ujung Gagak merupakan desa yang terpencil karena jauh dari pusat kota dengan masyarakat yang homogen, namun faktanya masyarakat di desa tersebut plural pada suku dan agama yang menyebabkan masyarakat menjadi heterogen. Desa ujung gagak memiliki dua suku yaitu suku Jawa dan Suku Sunda. Suku jawa merupakan suku penduduk lokal yang kesehariannya menggunakan bahasa jawa ngapak dari golongan muda hingga tua. Suku Sunda sebagai suku dari pedatang dimana salah satunya adalah seorang pedagang yang menjajakan dagangannya menggunakan bahasa Sunda. Namun dengan sikap toleransi yang suku minoritas terapkan, mereka mulai beradaptasi untuk menggunakan bahasa sesuai dengan lingkungannya. Masyarakat dalam beragama terdapat tiga agama yaitu Kristen, Katholik dan Islam. Agama Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu Islam Kejawen yang masih memegang teguh tradisi tradisi Jawa dan Islam Salafi yang berpedoman pada Al Qur’an dan Haditz. Desa Ujung Gagak yang jauh dari pusat Kota ternyata memiliki keberagaman serta masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya tidak memiliki hambatan.
Sumber Pustaka :
Syam, F. (2011). “Dilema Pluralitas: Hambatan atau Penguatan Demokrasi Bangsa Indonesia?”. 14 (2), 256 – 275.
2 comments
tulisannya ada yang berukuran besar ada juga yang kecil, alangkah baiknya bila ukuran tulisan itu disamakan
hai raras, postingan sangat informatif dan menambah pengetahuan saya tentang pluralitas masyarakat
untuk mendukung tulisan bisa ditambahkan foto-foto agar lebih menarik
tetap semangat menulis, ditunggu postingan selanjutnya