Hai, Apa kareba? Terima kasih sudah berkunjung di Galeri Pengetahuan. Postingan kali ini berisi tentang tugas mata kuliah Kajian Etnografi semester 3. Didalamnya membahas tentang hasilreview artikel “Bergaya di Mall:Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon” karya Hatib Abdul Kadir, “Babi: Ternak Kesayangan Orang Mentawai” karya Syaiful Kasman, dan “Kebudayaan Masyarakat Ambon” karya Subyakto.
REVIEW ARTIKEL BERGAYA DI MALL : STUDI ETNOGRAFI GAYA ANAK MUDA PASCA KONFLIK DI AMBON KARYA HATIB ABDUL KADIR
Ambon Plaza atau Amplaz merupakan satu – satunya mall (ruang modern) yang terdapat di Ambon. Melimpahnya barang, iklan yang merayu dan berubah-ubah wujud menggerakkan tubuh untuk melakukan repetition (pengulangan), disciplined (disiplin) dan techniques of the body yang mewajibkan tubuh untuk berkonsumsi secara periodik dan teratur. Plaza sering didatangi secara periodic dan repetitive. Di dalamnya hanya ada anak muda yang “itu – itu saja” mencandu pada tempat yang paling bergaya di Ambon.
Pasca konflik keagamaan pada tahun 2003, telah banyak terjadi perubahan. Pasca konflik keagamaan, ekspresi gaya dan berpakaian cenderung dimunculkan secara mencolok di ruang publik maupun semi publik seperti Mall. Ambon Plaza sebagai satu-satunya mall di kota Ambon yang ampuh untuk membujuk anak muda kota Ambon melakukan pengalaman mencampurkan diri mereka kembali ke kesatuan yang tidak didasarkan identitas primordial apapun. Pengunjung mengonsepsikan pusat perbelanjaan sebagai tempat bermalas-malasan. Aktivitas utama yang dilakukan oleh pengunjung di dalam pusat perbelanjaan adalah “mengaduk” sebuah komoditi dan juga menjumpai orang asing.
Pusat perbelanjaan ini mulai ramai sekitar pukul sepuluh. Dibagian depan bangunan bertuliskan “Ambon Plaza, tempat hiburan keluarga dan rekreasi”. Plaza ini tutup ketika maghrib. Hanya tersisa sebuah stan pakaian, Matahari dilantai dua buka hingga jam Sembilan malam. Selanjutnya terdapat tempat permainan bilyar dilantai empat yang buka hingga jam duabelas malam. Di setiap sudt mall menghadirkan kepadatan yang tidak teratur. Teras bagian lantai dasar mall ini dikelilingi pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai macam sepatu, alat pakaian, dan ikat pinggang, disini terdapat pula para pedagang VCD bajakan. Memasuki lantai dasar, tidak membawa perubahan mendasar dengan keberadaan mall dibagian luar. Lantai dasar merupakan pasar tradisional. Dua pintu utama yang berada di dalam mall ini menjual perangkat busana muslim dan kopiah. Dibagian tengah anak-anak muda menjual jasa pelayanan yang berhubungan dengan dunia seluler, sten ponsel merupakan tempat yang paling sering ditunggu oleh anak muda dengan lama. Beberapa anak muda melakukan penawaran di stan-stan sepatu dan tas. Mereka tidak malu melakukan penawaran.Pencapaian gengsi tidak didapat dengan tanpa pengorbanan. Tujuannya agar barang yang dikenakan mereka akan dikontestasikan diruang public dan antara sesame rekanan. Barang yang telah diinginkan dipercayai akan sangat menambah kepercayaan diri pada pemakaianny, lebih-lebih jika produk perangkat tubuh tersebut didapat dengan harga murah. Anak-anak muda yang telah melakukan transaksi dilantai satu tidak langsung pulang. Melainkan akan naik langsung ke lantai dua. Beberapa anak muda yang membeli minuman dan makanan ringan, dipastikan mengusungnya kelantai dua hingga empat. Mereka yang mengusung kelantai empat bermain game dan membawa minuman sebagai teman yang menyenanngkan dan penuh gaya.
Gaya di ruang publik menjadi penting karena tubuh mereka selalu merasa diawasi. Bagi yang tidak menarik atau berdandan biasa saja, maka pandangan mata dari beberapa anak muda yang memang bertujuan hanya nongkrong di mall ini tidak akan terkonsentrasi pada mereka. Menyadari tidak dilihat benar-benar berada dalam posisi yang menyakitkan.Sebaliknya mereka yang menjadi pusat perhatian berada dalam keadaan yang membanggakan. Perempuan yang termasuk kategori ini adalah mereka yang mempunyai kulit yang lebih terang dibandingkan beberapa rombongannya atau mereka yang berambut keriting tapi mempunyai air muka yang manis. Sedangkan anak muda lelaki berpakaian rapi, menunjukkan kaos yang berharga mahal. Untuk menunjang penampilan tersebut, maka minuman ringan yang disandang juga sebagai objek untuk meningkatkan gaya mereka.
Ambon plaza merupakan cerminan dari kota ambon. Keadaannya yang kumuh menandakan jejak dari kerusuhan yang baru terjadi lalu. Terusirnya keturunan Tionghoa di pertengahan kota, tampak pula di mall ini. Hanya ditemui beberapa gelintir orang keturunan tionghoa yang masuk ke mall. Sangat sedikit mereka yang menguasai stan – stan dilantai satu hingga lantai empat. Pasca kerusuhan, anak-anak muda Kristen sekarang mempunyai gerak mobilitas yang sangat terbatas. Gaya tetap saling mempertahankan kondisi gengsi untuk dikoreksi secara positif menempatkan perilaku konsumsi pada posisi sector yang nyaris tidak mempunyai hubungan erat dengan kerentanan ekonomi. Meski baru dilanda krisis dan kerusuhan, ratusan bahkan ribuan anak muda Ambon berbondong memasuki Ambon Plaza.
Kesan :
Setelah membaca artikel karya Hatib Abdul Kadir ini, saya tertarik dengan perkembangan tren mode pakaian pasca konflik Ambon. Seperti perkembangan tren mode pakaian muslim serta gaya berjilbab muslim di sana menandakan bahwa Islam di Ambon telah mulai berkembang pula. Bahkan dengan derasnya arus globalisasi, hingga sekarang mall menjadi tren dan menjadi tempat publik yang tidak akan pernah sepi dikunjungi oleh masyarakat dari semua golongan. Gaya penulisan penulis yang sistematis dan terbagi dalam bagian – bagian yang memudahkan saya untuk memahami apa yang dimaksud oleh penulis.
REVIEW ARTIKEL BABI : TERNAK KESAYANGAN ORANG MENTAWAI KARYA SYAIFUL KASMAN
Bagi masyarakat Mentawai, khususnya masyarakat sarereiket, babi merupakan harta milik terpenting serta merupakan hewan ternak yang selalu diperlukan dalam setiap punen atau upacara adat. Babi merupakan hidangan hidangan penting yang selalu ada pada saat upacara adat (punen). Mulai dari punen pernikahan, kematian, peresmian uma baru, kelahiran anak, dan sebagainya. Dalam upacara punen pernikahan, babi digunakan sebagai alat pembayaran mahar atau maskawin yang dilakukan oleh pengantin pria kepada pihak pengantin wanita.
Dalam berternak babi, ada beberapa proses yang harus dijalani dan beberapa gaut atau mantra, serta pelanggaran atas kekei (pantangan) yang sudah ditentukan. Dimana jika semua itu tidak dilakukan, akan berakibat pada kegagalan peternakan babi tersebut. Kegagalan tersebut dapat meliputi babi yang dimangsa oleh ular saba, kematian babi secara massal karena sesuatu yang bernama oiluk, serta babi yang tidak kembali lagi ke kandang setelah dilepaskan dari kandang. Lokasi peternakan babi sendiri terpisah dengan pemukiman penduduk. Kedua daratan itu dipisahkan oleh sungai besar yang bernama sungai Rereiket. Tempat peternakan babi itu disebut dengan istilah silak atau disilak yang berarti di seberang. Di lokasi peternakan babi, banyak terdapat pondok – pondok (sapou sainak) yang digunakan untuk tempat istirahat peternak babi. Selain itu disana juga banyak terdapat pohon sagu untuk pakan babi (surappik). Babi – babi yang dipelihara tidak dikandangkan. Babi hanya dikandangkan pada masa penjinakan, yaitu selama satu sampai tiga minggu. Peternak babi memanggil babinya dengan memukul loloklok.
Ada beberapa proses yang harus dilakukan oleh seorang peternak babi yang memulai dari awal. Proses yang pertama yaitu mendirikan Sapou Sainak yang dibuat berbentuk panggung dimana bagian bawahnya digunakan sebagai tempat penjinakan babi. Proses yang kedua yaitu Pasiuggu Sainak atau proses penjinakan babi. Penjinakan dilakukan dengan cara memasukkan dan mengurung babi ke dalam kandang selama tiga minggu (tergantung cepat tidaknya babi dijinakkan). Proses yang ketiga yaitu Pasibukak atau tahap melepaskan babi dari kandangnya setelah babi jinak yang dilakukan pada sore hari pukul 18.00 dengan tujuan agar babi tidak pergi terlalu jauh. Proses yang terakhir yaitu Sipubalut atau pemberian bekal kepada babi yang akan dilepas pada proses pasibukak berupa makanan yang spesial seperti udang dan ikan yang dicari di sungai oleh istri peternak.
Pantangan atau kekei yang tidak boleh dilanggar oleh peternak selama proses pasiuggu sainak hingga proses pasibukak diantaranya yaitu dilarang berhubungan badan, dilarang melakukan kegiatan yang berat, dilarang menyisir rambut, dilarang makan lojo, dilarang makan shokcak, dilarang menangkap ikan.
Gaut merupakan ramuan yang dimantrai. Masyarakat Mentawai mempercayai bahwa perkembangan peternakan babi juga ditentukan oleh gaut yang dipakai oleh peternak. Jika gautnya bagus, maka peternakan babi akan sukses serta babi akan berkembang biak dengan baik dan cepat. Sedangkan jika gautnya kurang bagus, maka peternakan babi itu akan mengalami kegagalan. Tidak menutup kemungkinan gaut yang dipakai oleh masing – masing peternak itu berbeda.
Masyarakat sarereiket memberikan surappik atau pakan ternak babi yang berupa sagu. Intensitas pemberian pakan babi ini tergantung oleh pemiliknya sendiri. Sagu yang digunakan untuk pakan ternak babi yaitu sagu yang sudah berbuah (berisi tepung sagu) yang sudah dipotong menjadi beberapa bagian yang memudahkan babi untuk memakan sagu tersebut.
Fungsi babi bagi masyarakat sarereiket yaitu untuk konsumsi dalam punen, mahar atau maskawin (alak toga), untuk prosesi pengobatan yang dilakukan oleh sikerei (upah untuk sikerei yang melakukan pengobatan), pembayaran denda adat (tulou), serta dapat menghasilkan rupiah dengan menjualnya.
Kesan :
Pada saat membaca artikel karya Syaiful Kasman ini saya merasa tertarik dengan kepercayaan masyarakat Mentawai, khususnya masyarakat sarereiket yang menganggap bahwa babi merupakan harta yang terpenting. Pasalnya di lingkungan sekitar saya, babi bukan merupakan hal yang istimewa. Saya menemukan hal – hal unik seperti pentingnya ramuan dan mantra yang bagus dalam penentuan sukses tidaknya peternakan babi. Selain itu, kosakata dalam bahasa daerah Mentawai yang disajikan penulis menjadi daya tarik tersendiri. Dalam artikel tersebut, penulis menyajikan tulisan yang disusun secara sistematis sehingga mudah untuk dipahami berdasarkan urutan – urutan tertentu.
REVIEW KEBUDAYAAN MASYARAKAT AMBON OLEH SUBYAKTO
Pulau Ambon merupakan pulau yang terdapat di Kepulauan Maluku dengan penduduknya mencapai 80.364 jiwa terhitung pada tahun 1959. Adapun agama yang terdapat di Ambon yaitu Islam dan Kristen. Bentuk desa di Ambon ini biasanya merupakan sekelompok rumah yang didirikan di sepanjang jalan utama, serta ada pula perkampungan dengan bentuk rumah yang berjauhan atau cenderung terpisah satu sama lain yang disebut aman. Rumah penduduk lokal Ambon umumnya merupakan rumah bertiang, berbentuk segi empat dengan serambi muka yang kecil dan terbuka atau dego – dego, rangka rumah dan atap tersebut dibuat dari potongan batang dan daun pohon sagu. Bangunan yang menjadi pusat desadisebut juga dengan boeileu (balai desa) yang letaknya berdekatan dengan masjid, rumah pendeta, gereja, dan warung. Dalam sistem mata pencaharian, masyarakat Ambon pada umumnya bertani di ladang. Salah satu hasil pertaniannya adalah sagu. Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Ambon, walaupun pada saat ini sagu mulai dapat digantikan dengan beras. Pada daerah lereng gunung masyarakat menanam kentang, kopi, serta tumbuhan lainnya, hal tersebut tidak terlepas dari pengalaman penjajahan di Indonesia oleh Belanda. Selain bertani, masyarakat Ambon juga terkadang meramu di hutan, serta mencari ikan. Sistem kekerabatan di Ambon didasarkan pada hubungan patrilineal, dengan pola menetap patrilokal. Perkawinan di Ambon sendiri bersifat eksogami. Dalam kebudayaan masyarakat Ambon, kawin lari atau kawin bini merupakan sistem perkawinan yang lazim dilakukan, hal ini telah menjadi tradisi karena adanya suatu pertentangan dari salah satu pihak atau bertujuan untuk menyingkat waktu dan biaya. Selain itu, ada pula perkawinan dengan meminta persetujuan dari kedua belah pihak keluarga calon pengantin serta melakukan upacara adat perkawinan yang sewajarnya. Masyarakat Ambon dipimpin oleh raja atau kepala desa yang saat ini dipilih melalui jalur demokrasi, namun dapat juga dengan keturunan. Maluku memiliki banyak organisasi, diantaranya ada jojaro, pela, muhabet, serta patasiwa dan patalima dari Seram Barat yang merupakan himpunan kekuatan politik militer. Serta kemajuan di Ambon sendiri pada saat ini telah mengalami pembangunan dengan adanya modernisasi yang masuk, hal ini terbukti adanya dengan berdirinya sekolah – sekolah dan penggunaan peralatan pada sistem mata pencaharian masyarakat.
Kesan :
Dalam artikel karya Subyakto ini, penulis membagi kebudayaan masyarakat Ambon ke dalam sub bab – sub bab dalam mengkaji fenomena, sehingga ketika saya membaca artikel ini lebih mudah dipahami dan memudahkan saya dalam mencari fenomena di Ambon tersebut. Hal yang membuat saya tertarik dengan kebudayaan masyarakat Ambon berdasarkan artikel ini adalah tradisi perkawinannya, seperti kawin lari yang lazim terjadi di sana namun tidak lazim di lingkungan saya.
Kritik :
Ada beberapa kata – kata yang dituliskan dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Ambon, sebaiknya dituliskan dan dijelaskan dengan catatan kaki agar pembaca dapat lebih memahami kosa kata tersebut.
PERBANDINGAN KETIGA ARTIKEL
Pada artikel yang berjudul Bergaya di Mall : Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik Ambon karya Hatib Abdul Kadir, membahas mengenai gaya hidup anak muda di Ambon yang saling berkomunikasi dalam sebuah ruang publik yaitu Ambon Plaza. Pada artikel ini, penulis membagi menjadi beberapa sub bab, serta membandingkan gaya hidup anak muda di Ambon sebelum dan pasca konflik Ambon.
Pada artikel yang berjudul Babi : Ternak Kesayangan Orang Mentawai karya Syaiful Kasman memaparkan tentang babi yang dianggap sebagai harta milik terpenting yang harus selalu ada dalam setiap upacara adat oleh masyarakat Mentawai, khususnya masyarakat sarereiket. Dalam artikel ini, penulis membahas mengenai kebudayaan mengenai tradisi serta kepercayaan masyarakat Mentawai dalam merawat atau berternak babi.
Pada chapter Kebudayaan Masyarakat Ambon karya Subyakto dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia oleh Koentjaraningrat, penulis lebih menfokuskan pada Kebudayaan yang ada di Ambon. Chapter ini membahas tentang masyarakat dan kebudayaan pada masyarakat Ambon yang bersifat fisik. Kebudayaan – kebudayaan tersebut telah diklasifikasikan atau telah di bagi menjadi sub bab – sub bab oleh penulis, yang diantaranya membahas tentang demografis dan bentuk desa, mata pencaharian, sistem kekerabatan dan kemasyarakatan, religi, serta membahas mengenai permasalahan pembangunan dan modernisasi pada masyarakat Ambon. Secara garis besar, yang dibahas dalam chapter ini adalah mengenai kebudayaan pada masyarakat Ambon.
Recent Comments