Mayoritas masyarakat Kabupaten Kudus dan sekitarnya tentulah mengenal tradisi “Dandangan”. Tradisi tersebut konon ada sejak jaman walisongo atau jaman Raden Ja’far Shodiq yang lebih dikenal dengan Sunan Kudus (yang juga menjabat sebagai qadli utusan kerajaan Demak) .
Pada masa itu masyarakat Kudus berkumpul di depan Menara Masjid Al Aqsha (atau disebut Masjid Menara Kudus) menunggu pengumuman awal Ramadhan dari Sunan Kudus. Setelah keputusan awal Ramadan itu disampaikan, maka dipukullah bedug di masjid berbunyi “dang-dang-dang”. Dari suara bedug itulah muncul istilah “dandangan”. Mengingat bahwa Sunan Kudus adalah seorang imam yang alim (terutama fiqih dan falak) maka masyarakat di sekitar Kudus (seperti Rembang, Pati, Jepara, Demak, Tuban) turut berkumpul di lokasi tersebut serta menginap berhari-hari. Karena banyaknya orang berkumpul, kesempatan itu kemudian dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu.
Masjid menara kudus yang dijadikan lokasi tradisi dandangan
Seiring perkembangannya, Dandangan yang dulu berupa acara penyampaian informasi resmi awal Ramadan yang ditandai dengan tabuh bedug, sekarang menjelma menjadi acara layaknya pasar malam. Para pedagang itu tidak hanya berasal dari Kudus dan sekitarnya, namun juga dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka biasanya berjualan mulai dua minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang puasa. Tradisi ini ternyata mampu merangsang kegembiraan masyarakat (terutama remaja dan anak-anak) dalam menyambut datangnya bulan Ramadan.
Tradisi dandangan sekurang-kurangnya mengandung tiga unsur (substansi) pokok, antara lain:
1. Memberikan pemahaman sederhana kepada masyarakat tentang metodologi penentuan awal ramadhan secara singkat, mengingat selama ini Kudus dikenal memiliki banyak ahli di bidang falak. Pemahaman mengenai kapan mulai dan berakhirnya bulan Ramadan adalah sangat perlu mengingat firman Allah SWT:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu menjumpai bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa…”.(al-Baqarah:185)
2. Dandangan yang digelar merupakan tradisi bernuansa keislaman sekaligus sebagai syiar islam kepada masyarakat muslim. Meski dalam perkembangannya, tradisi ini kian kehilangan ruhnya, namun dandangan sesungguhnya adalah momentum dakwah yang merupakan karya besar walisongo. Lewat momentum dandangan mampu memadukan dakwah dan budaya, sehingga masyarakat larut dalam suka cita menyambut datangnya bulan Ramadan. Jadi, esensi dandangan adalah perpaduan antara dakwah dan budaya masyarakat yang diharapkan mampu menggugah kegembiraan akan datangnya bulan suci Ramadan.
Sudah selayaknya ulama terus berupaya mencari strategi agar umatnya tergerak hati menyambut Ramadan dengan suka ria, riang gembira. Dengan penyambutan Ramadlan yang riang gembira diharapkan umat nantinya akan termotivasi mengisi bulan Ramadhan dengan berbagai amal shaleh
3. Dandangan merupakan event yang sangat lekat dengan masyarakat (semua lapisan). Sehingga, penyelenggaraan pasar malam sebagai agenda tahunan yang bernuansa relegius ini ternyata mampu menjadi salah satu kekuatan ekonomi. Perayaan dandangan ditandai dengan aneka pameran produk lokal terutama barang keperluan selama bulan Ramadan dan Idulfitri.
Dari uraian diatas, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tradisi dandangan memuat unsur budaya, syiar dan dakwah Islam yang cukup penting bagi masyarakat Kudus khususnya, terutama dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan sukacita dan kegembiraan. Marhaban ya Ramadhan. (wallahu a’lamu bissawab)