- Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural
1. Terjadi segmentasi, yaitu masyarakat yang terbentuk oleh bermacam-macam suku,ras,dll tapi masih memiliki pemisah. Yang biasanya pemisah itu adalah suatu konsep yang di sebut primordial. Contohnya, di Jakarta terdiri dari berbagai suku dan ras, baik itu suku dan ras dari daerah dalam negri maupun luar negri, dalam kenyataannya mereka memiliki segmen berupa ikatan primordial kedaerahaannya.
2. Memilki struktur dalam lembaga yang non komplementer, maksudnya adalah dalam masyarakat majemuk suatu lembaga akam mengalami kesulitan dalam menjalankan atau mengatur masyarakatnya alias karena kurang lengkapnya persatuan tyang terpisah oleh segmen-segmen tertentu.
3. Konsesnsus rendah, maksudnya adalah dalam kelembagaan pastinya perlu adany asuatu kebijakan dan keputusan. Keputusan berdasarkan kesepakatan bersama itulah yang dimaksud konsensus, berarti dalam suatu masyarakat majemuk sulit sekali dalam penganbilan keputusan.
4. Relatif potensi ada konflik, dalam suatu masyarakat majemuk pastinya terdiri dari berbagai macam suku adat dankebiasaan masing-masing. Dalam teorinya semakin banyak perbedaan dalam suatu masyarakat, kemungkinan akan terjadinya konflik itu sangatlah tinggi dan proses peng-integrasianya juga susah
5. Integrasi dapat tumbuh dengan paksaan, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa dalam masyarakat multikultural itu susah sekali terjadi pengintegrasian, maka jalan alternatifnya adalah dengan cara paksaan, walaupun dengan cara seperti ini integrasi itu tidak bertahan lama.
6. Adanya dominasi politik terhadap kelompok lain, karena dalam masyarakat multikultural terdapat segmen-segmen yang berakibat pada ingroup fiiling tinggi maka bila suaru ras atau suku memiliki suatu kekuasaan atas masyarakat itu maka dia akan mengedapankan kepentingan suku atau rasnya.“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
Category: Uncategorized
Perang Suksesi Jawa
- PERANG SUKSESI I (1704-1709)
a. Latar Belakang
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat dan digantikan oleh puteranya, Amangkurat III. Namun sepertinya terjadi perselisihan antara Amangkurat III dengan pamannya, Pangeran Puger dan keluarganya. Hal ini yang akhirnya menyebabkan Pangeran Puger lari meninggalkan istana. Ia kemudian pergi ke Semarang dan memberi tahu VOC bahwa Amangkurat III adalah musuh bersama dan merupakan sekutu Surapati. Pangeran Puger juga mengatakan bahwa kebanyakan pembesar Jawa mendukung dirinya menjadi raja yang baru, dan meminta agar VOC bersedia mengakui sebagai raja. Pada Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan Pakubuwana I (1704-1709), dan meletuslah konflik yang terkenal sebagai Perang Suksesi Jawa I (1704-1708).
b. Jalannya Perang
– Oktober-November 1704: Perlawanan utama wilayah pesisir terhadap Pakubuwana I yang datang dari Demak berhasil ditaklukkan.
– Agustus 1705: Suatu kekuatan yang terdiri dari oaring-orang Jawa dan Madura serta serdadu-serdadu VOC bergerak menuju Kertasura. Pada peprangan ini, Amangkurat III melarikan diri dari Kartasura dan bergabung dengan Surapati di timur.
– September 1705: Pakubuwana I memasuki Kartasura tanpa mendapatkan perlawanan dan menduduki singgasana
– Oktober 1705: Pakubuwana I dan VOC mencapai suatu perjanjian baru. Pihak Belanda menghapuskan segala utang dinasti tersebut sebelum tahun 1705, sebagai imbalan atas konsensi besar yang diberikan Pakubuwana I kepada VOC.
– 1706, 1707, 1708: Pasukan VOC, Madura, dan Kartasura melancarkan serangan besar-besaran di Jawa Timur.
– 1706: Surapati terbunuh di Bangil.
– 1707: Pasuruan berhasil ditaklukkan. Amangkurat III dan putra-putra Surapati melarikan diri ke Malang.
– Amangkurat III menyerahkan diri kepada VOC berdasarkan kesepakatan bahwa dia diperbolehkan memerintah sebagian Jawa dan tidak harus tunduk pada Pakubuwana I. Tapi Amangkurat III ditawan dan dibuang ke Sri Lanka dan wafat disana pada tahun 1734.
2. PERANG SUKSESI II (1719-1723)
a. Latar Belakang
Pada saat Pakubuwana I wafat pada februari 1719. dia digantikan oleh puteranya, Amangkurat IV (1719-1726) yang pada masa awal pemerintahannya, hampir seluruh dunia Jawa memusuhinya, termasuk adik-adiknya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang melancarkan serangan terhadap istana pada tahun 1719. Begitu juga paman mereka, Arya Mataram yang juga tidak menyukai Amangkurat IV, namun ia tidak ikut serta dalam pemberontakan awal ini. Kemudian Arya Mataram meninggalkan istana menuju pesisir utara dan memproklamasikan dirinya sebagai raja tandingan. Dengan demikian, dimulailah perang suksesi II.
b. Jalannya Perang
– Juni 1719: Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya melancarkan serangan terhadap istana.
– Oktober 1719: Pangeran Arya Mataram menyerah dan dicekik di Jepara
– November 1719: VOC melakukan serangan dan berhasil menghalau serangan dari tokoh-tokoh pemberontak dari kubu pertahanan mereka di Mataram.
– 1720: Mereka (para pemberontak) melarikan diri ke arah timur.
– Mei-Juni 1723: sisa-sisa pemberontak menyerah, termasuk beberapa keturunan Surapati, Surengrana dari Surabaya, Pangeran Purbaya, serta Pangeran Dipanegara.
3. PERANG SUKSESI III (1746-1757)
a. Latar Belakang
Pada saat Pakubuwana II meninggalkan istana Kartasura yang sudah kacau, ia kemudian mendirikan sebuah istana baru di tepi sungai Sala. Ternyata, istana baru tersebut sama tidak stabilnya dengan istana lama. Mas Said, Pangeran Singasari dan sedikitnya empat pangeran lainnya masih memberontak. Untuk meredam pemberontakan, akhirnya Raja mengumumkan akan memberikan bahwa siapapun yang dapat mengusir mereka dari Sukowati aka diberi hadiah berupa tanah sejumlah 3.000 cacah. Pangeran Mangkubumi menerima tantangan tersebut dan pada tahun 1746, ia berhasil mengalahkan Mas Said dan menuntut hadiahnya. Akan tetapi, musuh lamanya di istana, Patih Pringgalaya (1742-1755) membujuk Pakubuwana II untuk menahan hadiah tersebut. Ditengah situasi sulit semacam itu, gubernur jenderal Van Imhoff datang ke istana untuk menangani masalah pesisir. Menurut perjanjian tahun 1743, VOC mempunyai hak atas daerah yang sempit disepanjang wilayah pesisir dan semua sungai yang mengalir ke laut. Van Imhoff ingin agar semua daerah pesisir beserta wilayah pedalaman diserahkan kepadanya. Karena tak mampu melawan tekanan Van Imhoff, Raja akhirnya menyetujui hal itu dan meminta sewa 20.000 real pertahun. Ketika hal tersebut diberitahukan kepada para penasehatnya, Mangkubumi merasa keberatan karena menurutnya jumlah 20.000 real terlalu sedikit jika dibandingkan pendapatan ketika wilayah tersebut disewakan kepada para saudagar. Mangkubumi merasa tindakan Raja terlalu gegabah dengan mengambil keputusan sepenting ini tanpa mengkonsultasikannya terlebih dahulu kepada para pembesar keraton. Kemarahan Mangkubumi semakin bertambah ketika Van Imhoff ikut campur dalam percekcokan mengenai hadiahnya yang berjumlah 3.000 cacah. Gubernur Jenderal meyakinkan Raja bahwa hadiah tersebut akan memberikan mangkubumi kekuatan terlalu besar dan mendesak agar hadiah tersebut tidak diserahkan. Bahkan, disebuah pertemuan di istana, van Imhoff menegur Mangkubumi terlalu ambisius. Mangkubumi merasa sangat terpukul atas kejadian itu dan pada bulan Mei 1746, dia melancarkan pemberontakan, dan meletuslah Perang Suksesi Jawa III (1746-1757).
b. Jalannya Perang
– Mei 1746: Mangkubumi melancarkan pemberontakan.
– 1747: Mangkubumi memimpin pasukan yang diperkirakan berjumlah 13.000 prajurit.
– 1748: Mangkubumi dan Mas Said menyerang Surakarta dan untuk beberapa waktu malah mengancam istana.
– 1749: Pakubuwana II jatuh sakit dan atas usulnya kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada Von Hohendorff, seorang Gubernur VOC untuk wilayah timur laut. Pada tanggal 11 Desember 1749 ditandatanganilah sebuah kesepakatan yang isinya menyerahkan seluruh kedaulatan kerajaan kepada VOC.
– 15 Desember 1749: Van Hohendroff mengumumkan pengangkatan putra mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788).
– 12 Desember 1749: di markas besarnya di Yogyakarta, Mataram, Mangkubumi juga memakai gelar Susuhunan Pakubuwana (1749-1792). Tapi kemudiamn Mangkunegara memakai gelar Hamengkubuwana (I), yang kemudian dipakai oleh semua penerusnya. Dengan demikian, sejak akhir 1749, Jawa sekali lagi terbagi antara seorang orang raja pemberontak dan seorang raja yang disukung oleh VOC.
– 1750: Mas Said, yang kini menjabat sebagai patih Mangkubumi menyerang Surakarta dan menimbulkan kerugian yang besar dipihak VOC.
– 1752: Timbul perpecahan antara Mangkubumi dan Mas Said
– 1753: Putra mahkota Surakarta bergabung dengan pihak pemberontak.
– 1754 : Mangkubumi mengusahakan perundingan-perundingan
Gubernur baru untuk wilayah pesisir timur laut, Nicolas Hartingh, diberi wewenang menenangkan Mangkubumi dengan menawarkan sebagian Jawa kepadaya.
– 13 Februari 1755: Ditandatangani Perjanjian Gianti, dan VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.
– 1755: Hamengkubuwono I pindah ke yogya dan mendirikan sebuah istana disana pada tahun 1756, dan memberikan nama baru kepada kota ini, Yogyakarta.
– Oktober 1755: Mas Said berhasil mengalahkan satu pasukan VOC.
– Februari 1756: Mas Said hampir berhasil membakar istana baru di Yogyakarta.
– Feruari 1757: Mas Said menyerah kepada Pakubuwana III.
– Maret 1757: Mas Said mengucapkan sumpah setia pada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai “Aluk To Dolo”, yang telah diakui pemerintah Indonesia sebagai bagian Agama Hindu Dharma . Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, “to riaja”, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Suku Toraja terkenal dengan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris. Orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.
Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Anak mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki social. System kekerabatan suku Toraja terbagi atas keluarga inti. Ayah sebagai penanggung jawab keluarga dan apabila meninggal digantikan oleh anak laki – laki. Sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat toraja menggariskan keturunanya berdasarkan garis dari ayah atu ibu ( bilateral ). Tetapi Kelas sosial diturunkan melalui ibu.
Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut “aluk”, atau “jalan” (biasa diartikan sebagai “hukum”). Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga), dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan”. Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya “Pa’ssura” (atau “tulisan”). Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama.Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau (manusia=”tau” dalam bahasa toraja) .Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain:Sugi’ (Kaya), Barani (Berani), Manarang (Pintar) , Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana).
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
Membangun Rumah Ilmu Untuk Mewujudkan Universitas Konservasi #2
Untuk membangun rumah ilmu untuk bisa mewujudkan universitas konservasi harus ada perantara nya. Salah satunya adalah dengan adanya pendidikan konservasi. Pendidikan konservasi adalah sebuah proses pembelajaran untuk membangun semangat para mahasiswa tentang lingkungan untuk pembangunan berwawasan masa kini dan memerhatikan generasi masa mendatang. Tujuan dari pendidikan konservasi sendiri adalah untuk mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyrakat tentang nilai – nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk bisa berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
Mengutip laporan dari UNESCO , Jacques delors, et. Al. ( 1998) mengatakan bahwa peran perguruan tinggi di negara berkembang sangatlah sentral. Perguruan tinggi merupakan tempat penyiapan sumber daya manusia untuk mendukung pembangunan nasional, baik dari tenaga media yang terampil ,aupun para pemikir dan ilmuwan peneliti yang handal. Perguruan tinggi merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang tidak lepas dari nilai – nilai historis sebagai sumber identitas dan kesatuan nasional. Unnes sebagai universitaas konservaasi jelas mengusung pendidikan konservasi bagi mahasiswa baik program studi kependidikan dan non kependidikan. Kegiatan ini merupakan pembinaan sekaligus pendidikan yang sangat nyata. Aspek penting yang diterapkan adalah kognitif, afektif, dan psikomotrik. Aspek kognitif meliputi proses pemahaman dan menjaga keseimbangan lingkungan. Aspek afektif yang dapat diterapkan melalui pendidikan konservasi meliputi sikap, nilai, dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Aspek pikomotrik yang diterapkan dalam pendidikan konservasi meliputi perilaku dan keterampilan mahasiswa dalam mengelola lingkungan. Universitas Negeri Semarang adalah salah satu universitas yang mengedepankan pentingnya konservasi. Dalam peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 27 tahun 2012tentang Tata Kelola Kampus Berbasis Konservasi di Universitas Negeri Semarang pada pasal 2 disebutkan bahwa tata kelola berbasis konservasi bertujuan mewujudkan suasan kampus yang mendukung perlindungan , pengawetan, dan pemanfaatan lingkungan hidup secara bijaksana melalui pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dan partisipasi penuh dari warga Unnes. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa tata kelola kampus berbasis konservasi diwujudkan melalui 7 pilar utama universitas konservasi , yaitu :
- Konservasi keanekaragaman hayati
- Arsitektur hijau dan sistem tranportasi internal
- Pengelolaan limbah
- Kebijakan nirkertas
- Energi bersih
- Konservasi etika , seni dan budaya
- Kaderisasi konservasi
Masing – masing pilar utama tersebut harus diimplementasikan dalam program – program yang dilaksanakan oleh unit kerja. Pilar konservasi kenakeragaman hayati bertujuan melakukan perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan pengembangan secara arif dan berkelanjutan terhadap lingkungan hidup, floran dan fauna di Unnes dan sekitarnya. Pilar arsitektur hijau dan transportasi internal bertujuan mengembangkan dan mngelola bangunan dan lingkungan yang mendukung visi konservasai, serta mewujudkan sistem transportasi internal yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Pilar pengelolaan limbah bertujuan melakukan pengurangan, pengelolaan, pengawasan terhadap produksi sampah dan limbah dan perbaikan kondisi terhadap lingkungan di kampus Unnes untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat.
Pilar kebijakan nirkertas bertujuan menerapkan administrasi dan ketatausahaan berwawasan konservasi secara efisien. Program kebijakan nirkertas diterapkan melalui optimalisasi sistem berbasis teknologi informasi, efisien penggunaan kertas , pemanfaatan kertas daur ulang , dan penggunaan kertas ramah lingkungan. Pilar energi bersih bertujuan untuk melakukan penghematan energi melalui serangkaian kebijakan dan tindakan dalam memanfaatkan energi secara bijak, serta pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Program pilar energi bersih diterapkan dengan cara – cara sebagai berikut :
- Melakukan penghematan pemakaian alat – alat berbasis energi listrik dan bahan bakar fossil sesuai dengan strategi perguruan tinggi .
- Mengembangkan fasilitas kampus yang menunjang penghematan penggunaan energi.
- Menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Pilar konservasi etika, seni dan budaya bertujuan untuk menjaga , melestarikan dan mengembangkan etika , seni dan budaya lokal untuk menguatkan jati diri bangsa. Program pilar konservasi etika, seni dan budaya lokal melalui pemeliharaan, pendokumentasian, pendidikan, penyebarluasan, dan mempromosikan unsur – unsurnya. Pilar kaderisasi konservasi bertujuan menanamkan nilai – nilai konservasi secara berkelanjutan. Meliputi sosialisasi, pelatihan , pendidikan, dan pelaksanaan kegiatan kepada warga Unnes untuk menguatkan pemahaman, penghayatan, dan tindakan berbasis konservasi.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
Membangun Rumah Ilmu Untuk Mewujudkan Universitas Konservasi #1
Artikel in berisi tentang bagaimana cara membangun rumah ilmu untuk dapat mewujudkan universitas konservasi. Tentu kalian bertanya- tanya apa itu konservasi. Konservasi sendiri adalah upaya pelestarian lingkungan dengan tetap memerhatikan manfaat yang dapat diperoleh dari lingkungan. Konservasi juga bisa dipandang melalui segi ekonomi dan ekologi . konservasi dari segi ekonomi adalah usaha mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang ,sedangkan dari segi ekologi kkonservasi yaitu alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa depan. Konservasi dalam pengertian sekarang sering diterjemahkan sebagai “the wise use of nature resource” atau pemanfaatan sumber daya alam secaara bijaksana. Strategi konservasi nasional sudah dirumuskan menjadi 3 hal yaitu :
- Perlindungan sistem penyangga kehidupan ( PSPK )
- Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
- Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Sebelum bisa mewujudkan universitas konservasi kita harus membangun rumah ilmu. Rumah ilmu itu sendiri berguna untuk menjembatani proses sosialisasi tentang konservasi kepada para mahasiswa. Karena banyak mahasiswa yang selama ini sudah mengenal kata konservasi tapi belum tau apa sebenrnya konservasi itu dan bagaimana saja kegiatanya. Jadi kita harus mengenalkan kepada para mahasiswa apa itu konservasi dan bagaimana cara melaksanakanya dalam kehidupan sehari – hari. Kegiatan konservasi harus dilaksanakan secara komprehensif baik oleh pemerintah , masyarakat , swasta, lembaga swadaya masyarakat , perguruan tinggi dan pihak – pihak lainya. Berdasarkan aspek agama, konservasi juga menjadi tema yang penting, agama – agama besar mengajarkan tentang alam ciptaan Tuhan. Intisari agama juga mengajarkan tanggung jawab moral dari manusia untuk mearwat alam. Di Indonesia kebijakan konservasi diatur ketentuanya dalam UU 5/90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini memiliki beberapa turunan Peraturan pemerintah ( PP ) , diantaranya :
- PP 68/1998 terkait Pengelolaan Kawasan Suaka Alam ( KSA ) dan Kawasan Pelestarian Alam ( KPA )
- PP 7/1999 terkait pengawetan atau perlindungan tumbuhan dan satwa.
- PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar atau TSL
- PP 36/ 2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa ( SM ), taman nasional ( TN ) , taman hutan raya ( tahura ), dan taman wisata alam ( TWA )
Sumber : buku pendidikan konservasi oleh Dr. puji Hardtati M.Si., dkk.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.
Hello world!
Welcome to Jejaring Blog Unnes Sites. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!