KEBERADAAN Ahmadiyah sebagai salah satu aliran agama Islam di Indonesia sangat menimbulkan kontroversial. Berbagai kecaman datang dari kalangan pemuka Islam atas dogma-dogma yang diajarkan dianggap yang telah menyimpang dari ajaran agama Islam pada umumnya. Ada yang berusaha membakar masjid yang digunakan penganut Ahmadiyah untuk beribadah, ada yang memboikot untuk dihentikan aktivitas keagamaannya, hingga bahkan kecaman ini memuncak dengan mendesak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai pemimpin bangsa pada saat itu untuk mengeluarkan Kepres yang terkait dengan aliran Ahmadiyah (Koran Merdeka, 2013). Lantas kemudian, dengan berbagai kecaman terhadap aliran yang dianggap ‘sesat’ ini, bagaimana fenomena Ahmadiyah ini jika dilihat dalam perspektif Sosiologi Agama? Apa yang sebenarnya terjadi didalamnya diluar aspek dogma; apakah Ahmadiyah sebenarnya hanya suatu gerakan sparatis yang berkembang di Indonesia sehingga banyak ditentang? Atau sebenarnya berbagai sistem pengelolaan organisasi Ahmadiyah mencoba menawarkan suatu tingkat demokratisasi baru yang lebih ideal dan efisien? Disinilah akan coba dipaparkan suatu analisa mengenai Ahmadiyah dalam perspektif Sosiologi Agama.
Gerakan Ahmadiyah dari Mirza Ghulam Ahmad ini terbagi menjadi dua aliran dalam perkembangannya. Pertama, gerakan Ahmadiyah yang telah berkembang pesat di beberapa negara dengan ‘dogma utama’ bahwa tokoh sentralnya, Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai Al-Masih-ul Mau’ud atau ‘sang juru selamat yang dijanjikan Tuhan’ yang diutus untuk menyelesaikan, menuntaskan tugas Nabi Isa a.s. dalam zaman yang semakin rusak, ketika moral telah sampai pada titik terendah, sedemikian mudah dipermainkan, harga diri tak lebih dari sekadar pengganti sesuap nasi, dan sebagainya. Kedua adalah gerakan Ahmadiyah yang menurut hemat penulis sebagai gerakan ‘radikal’ dari aliran tersebut yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai seorang nabi setelah Nabi Muhammad saw. untuk melanjutkan dakwah sang rasul –yang dianggap belum selesai. Gerakan yang kedua inilah yang berkembang di Indonesia sehingga mendapat berbagai kecaman dari pemuka Islam karena dianggap telah menyimpang dari syariat agama Islam yang telah disempurnakan Muhammad saw. sebagai Khotamul Anbiya’ atau penutup dari era para nabi dan rasul.
Salah satu bentuk penolakan adanya gerakan Ahmadiyah adalah penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik. Penyerangan dilakukan oleh warga setempat secara massal yang terpusat di rumah Suparman, salahsatu pengikut aliran keagamaan ini (Republika, 2011). Penyerangan terhadap aliran Ahmadiyah ini tidak hanya terjadi di Cikeusik, melainkan di Temanggung, Tebet, Lombok, dan berbagai daerah lainnya di Indonesia. Sebenarnya, jika dilihat dalam kerangka negara, aliran Ahmadiyah memiliki hak untuk berkembang karena undang-undang telah mengatur bahwasanya setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama[1] – sehingga penyerangan yang terjadi di Cikeusik pun seharusnya mendapat perlindungan dari negara. Meskipun sebenarnya konflik ini juga dipengaruhi oleh beberapa pengikut Ahmadiyah yang turut memprovokasi aparat kepolisian yang ditugaskan memeriksanya sebelum hari penyerangan terjadi, namun pihak kepolisian yang ditugaskan untuk menengahi dan mencegah jatuhnya korban tetap patut untuk diragukan ke-netral-annya – sebagai bentuk keterlibatan negara dalam menyikapi persoalan ini. Dalam beberapa hal, aparat kepolisian seakan cenderung mendukung adanya penyerangan tersebut. Hal ini terlihat dari tidak adanya tindakan tegas dari aparat kepolisian untuk membubarkan penyerangan tersebut. Disini dapat dikatakan telah terjadi dominasi salah satu faktor antara bagaimana pengaruh individu dengan sosialisasi nilai spiritual yang telah diterimanya dengan pengaruh hak dan kewajiban individu pada tingkat kelas sosial tertentu (seperti aparat kepolisian). Hal demikian yang menjadikan tidak adanya ketegasan sesuai hukum dari pihak kepolisian. Seharusnya, secara filosofis – dalam kerangka negara – Ahmadiyah bersifat bebas beragama, baik dan bijak (dalam konteks membantu negara pada aspek pembangunan baik fiskal maupun mental), serta berkedudukan sejajar dengan aliran-aliran keagamaan yang lain.
Dengan adanya kebebasan beragama pada Ahmadiyah dalam kerangka negara, secara otomatis aliran ini pun juga terikat dengan hak dan kewajibannya pada negara. Kewajiban ikut serta dalam pembangunan nasional misalnya, harus dikerjakan pula gerakan aliran keagamaan yang secara dogma sangat kontroversial ini. Dalam kaitannya dengan pembangunan, aliran Ahmadiyah termasuk memiliki kontribusi cukup besar dalam sektor ekonomi. Menurut Zuhairi dalam pengantarnya pada terbitan tulisan Ian Adamson (2008), pesatnya perkembangan Ahmadiyah dengan pengikutnya sekitar 200 juta orang di 193 negara dikarenakan semua anggotanya tersebut tercatat dan terorganisir dengan sangat baik. Jaringan dan keanggotaan tersebut dibangun diatas swadaya setiap pengikutnya. Mereka memiliki sistem filantropi yang terbilang sukses, yang dikenal dengan sistem candah[2] dari kesukarelaan anggotanya sehingga menghasilkan tidak hanya jalannya roda internal jemaat mereka, tetapi juga membantu sejumlah rakyat miskin, bahkan negara-negara miskin sekalipun. Kekuatan-kekuatan semacam ini seolah sejalan dalam asumsi Weber mengenai Calvinisme dan Semangat Kapitalisme bahwa:
“Tuhan Calvinisme meminta orang beriman tidak hanya melakukan pekerjaan baik yang tunggal, tetapi kehidupan dengan pekerjaan-pekerjaan yang digabungkan kedalam suatu sistem terpadu” (Weber, 1904-1905/1958: 117).
Perkembangan Ahmadiyah yang pesat dalam kurun beberapa dekade terakhir jika meminjam asumsi Weber, terjadi karena semangat Calvin juga terdapat dalam gerakan Ahmadiyah. Jika Weber memandang Calvinism sebagai semangat peningkatan etos kerja, dalam Ahmadiyah muncullah Mirza Ghulam Ahmad dengan segala keyakinannya atas dirinya yang mendapat wahyu Tuhan, yang kemudian berimplikasi kepada tingkat solidaritas dan kesukarelaan diantara para anggotanya, para pengikutnya. Sehingga, dalam hal ini Ahmadiyah telah menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari keragaman agama beserta aliran-alirannya, kebebasan berpikir yang menuju pada pembangunan negara dengan berbagai mekanismenya. Sehingga akan lebih arif kiranya jika intensitas dilakukan dialogis yang sehat dapat menjadikan problematika menemu pada jalan tengahnya –demi menghindari perpecahan sesama saudara sebangsa.
Sebagai penutup, jika dilihat dalam kerangka negara, gerakan Ahmadiyah seharusnya secara konsisten dibebaskan dalam menjalankan kehidupan beragama, disikapi dengan baik dan bijak (demokratis), dan sejajar dengan aliran agama lainnya. Jika pada tahap aksiologisnya tidak demikian, maka variabel-variabel antara negara yang (seharusnya) netral dapat diindikasikan telah larut dalam kepentingan sekelompok pengikut agama tertentu (baca: Islam secara garis besar) serta turut berpengaruh terhadap segi epistemologisnya — yang masuk kepada epistemologis subjektif, yaitu pembubaran aliran Ahmadiyah dari Indonesia. Atau paling tidak, keharusan pada ‘pembekuan’ hingga aksi kekerasan terhadap aliran Ahmadiyah menjadi konsekuensi atas dominasi pengikut agama Islam mayoritas –baik penguasa maupun buruh– terhadap aliran minoritas yang mencoba bernegosiasi untuk dapat berkembang di negara dengan dasar Pancasila ini. []
***
[1] Lihat dalam kitab UU No.12 tahun 2005 pasal 18 ayat 1, 2, dan 3.
[2] Lihat Adamson, Ian. 2010. Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian dalam pengantarnya.