Juli, 2014
Adzan Dhuhur mulai terdengar di tengah riuh kami bersiap-siap untuk KKL yang pertama: Kajian Masyarakat dan Kebudayaan Etnis Tengger. Mulai berangkat dengan bus yang mengantarkan kami ke lokasi pukul 12:46 WIB. Kami bercanda dalam bus hingga satu persatu dari kami mulai terlelap karena melihat perjalanan yang panjang.
Aku terbangun pukul 17:58 WIB. Kulihat keluar jendela bus dan melihat pemandangan yang mengagumkan. Setelah melewati daerah Lasem (tepatnya sekitar daerah Sarang), kami melintasi jalan perbatasan daratan dengan lautan. Seperti tak ada jarak lagi dua dimensi penunjang kehidupan itu. Lautan itu terlihat tanpa ujung. Tidak terbayang ditengah-tengah sana, sendirian, terapung diatasnya. Sepertinya tidak ada yang bisa diperbuat selain memohon pertolongan dari Tuhan. Dan yang lebih menabjubkan lagi, aku menyaksikan langsung pemandangan yang luar biasa indahnya. Diatas lautan tak bertepi itu, saya melihat kemegahan gunung yang menjulang tinggi ke langit. Dan dengan ukuran yang sedemikian besar itu, dia seperti mengapung diatas lautan. Sungguh indah ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna.
Pemandangan itu mulai lenyap seiring dengan bus yang terus melaju dengan semangatnya. Aku pun kembali terlelap.
***
Mataku mulai menangkap cahaya dalam keremangan senja yang jingga ketika terdengar bus berhenti dengan cukup mendadak. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 18:58. sesuai jadwal perjalanan, Saatnya makan malam. Makan malam petang itu berlokasi di Rumah Makan yang letaknya persis di perbatasan provinsi, antara provinsi jawa tengah dan jawa timur. Kembali aku tersenyum kagum karena hanya dengan beberapa langkah aku sudah dapat dikatakan telah berpindah provinsi. Antara satu dengan yang lain, hehe.
Setelah selesai makan malam dan beribadah menurut keyakinan masing-masing, perjalanan pun kembali dilanjutkan. Kali ini meluncur menuju lokasi utama, yaitu Bromo.
Akhirnya perjalanan dengan bus berakhir di terminal Stasiun Sukapura. tempat akhir pemberhentian bus ketika akan menuju daerah wisata Pananjakan, sebuah tempat di bromo yang strategis untuk melihat sun rise/matahari terbit.
Aku masih ingat kala itu masih sangat pagi. Perjalanan dengan bus tadi berakhir di sini yang kemudian dilanjutkan menggunakan kendaraan Jeep. Jarak stasiun dengan lokasi Pananjakan tersebut sekitar 20 km. Mungkin sekitar pukul setengah dua pagi ketika memulai perjalanan menggunakan Jeep. Sambutan khas udara gunung langsung menyapa tulang-tulang menembus pori-pori kulit. Sekujur tubuh mendadak dingin menggigil. Perjalanan ke atas menjadi semakin menegangkan ketika medan perjalanan sangat curam. Seolah-olah salah perhitungan sedikit saja dalam menginjak rem, tamatlah riwayat kami di genggaman sebuah jeep tua ini.
***
Saat itu pukul 05:31, aku dan teman-teman telah standby di Pananjakan, tempat dimana dapat menyaksikan secara langsung bagaimana sang surya itu bangun dari rehatnya semalaman. Suhu ditempat berkisar 5 derajat. Cukup dingin untuk ukuranku sebagai orang yang terbiasa berada di daerah pantai.
Detik demi detik mulai terlalui dan saat yang ditunggu pun tiba. Panorama yang luarbiasa. Aku menyaksikan sinarnya mulai menerangi sekitarku secara perlahan, hingga terlihat aku yang sedang berpijak di bumi, namun terasa sangat dekat dengan langit. Bahkan awan pun bersanding dengan kami. Tak kusangka sekarang ibarat menyaksikan pantai dengan riak gelombang tercipta dari awan yang berada di ketinggian + 2100m.
Setelah cukup puas menyaksikan pemandangan yang sangat memanjakan mata itu, aku kembali turun mencari musholla terdekat. Tak kutemukan satupun hingga terlihat musholla dengan lokasi cukup sederhana menyudut di tebing, dan sayangnya.. masih terkunci rapi dan aman. Kucoba mencari lagi dan akhirnya kulihat kerumunan orang-orang yang ingin sholat subuh disana. Aku bergegas kesana.
Ternyata, tempat sholat subuh tersebut merupakan lahan kosong milik suatu penduduk desa sana. Yang disampingnya merupakan toilet yang sekaligus tempat berwudlu. Kulihat pemilik lahan sedang santai menunggui disana dengan sebatang rokok sambil menerima sedekah dari jasa toilet dan wudlu tersebut. Dan ketika sedikit wawancara dengannya, ternyata beliau beragama hindhu. Dia mengatakan bahwa untuk sholat di daerah sana memang cukup sulit karena mayoritas bukan muslim. Hanya saja, beliau memiliki persepsi tersendiri untuk menghargai muslim melaksanakan ritual ibadahnya.
***
Hari pertama │ 1 April 2014 Desa Ngadas, Bromo.
Sesuai jadwal, kegiatan pagi ini adalah Sarasehan dan Diskusi dengan Kepala Desa Ngadas dan Dukun Adat disana. Hari masih sangat pagi buta. Suasana udaranya masih cukup mengagetkanku. Iya, dingin. Sebagai orang pantai, aku memang tidak cukup tahan dengan hawa dingin yang langsung menembus pori-pori hingga tulang-tulang beserta per-sendi-annya. Ku awali langkah kakiku menuju tempat wudlu untuk melaksanakan sholat shubuh. Tetesan pertama air keran yang mengenai kulit jari-jari ini mengikat kedalam hawa bekunya. Sekujur tubuh bergetar, bahkan tanganku seperti seolah mati rasa. Kubulatkan tekad yang kuat untuk tetap sholat subuh. Setelah selesai, suasana menjadi cukup bersahabat. Mungkin air yang kugunakan wudlu tadi merupakan sapaan alam untuk menghangatkanku dengan udara sekitar. Sekarang giliran saatnya untuk mandi. Dan lagi-lagi, masih ragu. Tapi perasaan itu sirna seketika tatkala teman-teman yang selesai mandi mengatakan di kamar mandi airnya hangat. Segera saja aku meluncur ke pemandian air hangat tersebut.
***
Setelah mandi, semua aktifitas perjalanan yang panjang kemarin seolah tidak terasa sama sekali. Semua luntur dengan siraman air hangat itu di tengah suhu yang cukup dingin. Badan pun menjadi lebih ringan dari yang kemarin. Didepan cermin aku hanya tersenyum karena tidak terasa aku hari ini di kaki gunung bromo, yang cukup dekat dengan gunung semeru seperti yang tergambarkan di film 5cm dengan berbagai keindahan dan kepolosan alam tanpa modifikasi dari tangan-tangan jahil manusia. Semua masih alami, Masih damai, airnya tenang dengan aktifitasnya menyatu kedalam harmoni lokal yang terangkai dalam aktifitas bumi, bahkan alam semesta ini. Setelah cukup rapi, kulangkahkan kaki ini menuju balai desa ngadas, tempat untuk melakukan Sarahsehan dan Diskusi dengan Kepala Desa Ngadas dan Dukun Adat.
Semua berkumpul di aula utama. Dosen pembimbing juga dihadirkan dalam forum tersebut. Begitu pun Kepala Desa Ngadas beserta Dukun Adat yang sekaligus guru agama disana. Terdengar microphone yang sudah mulai berbunyi. Semua menghentikan interaksi mereka satu dengan yang lain. Suasana hening sejenak. Terhenyak oleh penampilan fisik Dukun Adat yang sederhana, sedikit terlihat tua, memakai baju jawa, kain batik yang di ikat kepala, tapi sangat terasa aura bijaksananya dalam segala dimensi kehidupan Desa Ngadas.
Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari ketua panitia, dan yang lainnya.
Kemudian tiba saatnya sang moderator mempersilahkan Kepala Desa memaparkan seluk beluk seputar desanya.
“Komobulon basuki langgeng, hom swastiastu… (sambil menangkupkan tangan ke dada.)
Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh…
Terima kasih kepada adik-adik dari Universitas Negeri Semarang, yang telah bertamu disini.
Disini saya (baca:kepala desa) seringnya dipanggil pak tinggi, pak ampung, atau kamituo..
Jumlah penduduk di desa ini tidak terlalu padat. hanya 682 penduduk dimana 335 diantaranya laki-laki, sisanya itu perempuan.
Desa ini terletak di ketinggian 1700m diatas laut, jadi jangan heran kalau suasana disini dijajah oleh hawa dingin”. Tutur beliau diselingi candaannya. Semua tertawa mendengar celetukan pak tinggi itu.
“Oiya, sebelum saya berbicara panjang lebar, perkenalkan nama saya Sumartono. Menjabat mulai tahun 2008-2014 dan juni nanti jabatan saya berakhir.
Mengenai salam saya diawal, itu merupakan salam yang diturunkan oleh nenek moyang desa ini dan sudah berlangsung secara turun-temurun.
Untuk hal kualitas SDM, Penduduk sini tergolong masih rendah. Karena rata-rata hanya lulusan SD.
Saya dalam menjalankan peran saya sebagai Kepala Desa dibantu oleh tiga kaur; Keuangan, Umum, dan Perencanaan.
Maaf sebelumnya, agama di desa ini 99% hindu. Ada yang islam di desa ini tetapi hanya 1%. Walaupun hanya satu persen, tetapi kami tidak semena-mena terhadap mereka. Kami juga menjaga mereka, mengayomi mereka. karena menurut kami itu tidak ada masalah asalkan semua bisa menyesuaikan dengan alam, semua sama.
Warga desa sini mayoritas merupakan petani holtikultura. Hasil panen berupa; 60% kentang, kol/kubis, brambang/bawang prei.
Dalam 1 tahun, warga saya dapat panen sebanyak dua kali, ketika di musim penghujan.
Ketika musim kemarau, suhu menjadi sangat dingin. Dan selama itu warga tidak bercocok tanam. Tapi tidak usah khawatir, waktu luang itu dimanfaatkan oleh warga saya untuk hal lain diluar bercocok tanam, seperti; memelihara kambing, kuda, sapi, dll.
Kerukunan disini juga cukup terjaga. Mulai dari warganya sampai kepada Kepala Desanya. Disini sebulan sekali, setiap kepala desa di 6 desa berkumpul untuk bermusyawarah mengenai kondisi yang sedang terjadi. Mengkoordinir bersih-bersih desa, dan lain-lain.” Terangnya panjang lebar.
Penjelasan dari Pak Sumartono cukup luas cakupannya, hingga tiba saatnya beliau mengakhiri pembicaraan karena ada urusan lain dalam dinasnya.
“Maaf saya sekarang harus menghadiri rapat di pendopo desa tetangga, jika adik-adik masih ada yang ingin ditanyakan/disampaikan nanti pukul 17.00 saya siap melanjutkan sesi ini di rumah saya” sambung pak tinggi tersebut sebelum ijin pergi.
Kemudian disambung sesi selanjutnya yaitu penjelasan dari Dukun Adat Desa Ngadas untuk memberikan penjelasan seputar ritual adat, kebudayaan masyarakat tengger di Desa Ngadas.
(Bersambung)
***
Nb:
- Catatan ini berdasarkan poin-poin dalam catatan kecil, jadi maaf jika isi kurang kompeherensif. 😀 sekian.
- Tulisan ini juga telah dipublikasikan di catatan Facebook Abdurrahman.
lebih baik lagi diedit lagi, supaya blognya lebih indah.
tambah lagi post.
oke2 makasih. semoga lancar tugasnya. Amin.
lebih baik postingnya ditambah lagi, dan ditambahkan dengan kategori serta menu yang lain 🙂
terima kasih atas masukannya……..
postnya kurang diberikan kategori, lalu juga artikelnya yg diperbanyak ya
terima kasih atas masukannya…….
saya bingung bang mau komen apa, postnya cuma satu, ditambah lagi bang 😀
terima kasih atas masukannya……
tulisannya di rapikan lagi ya, dan kenapa postingannya sama semua?padahal sudah dikategorikan. terimakasih
terima kasih atas masukannya…..
Diperbaiki lagi biar mendapatkan hasil yang maksimal,lanjutkan menulis!
terima kasih atas masukannya…
font tulisannya terlalu kecil kurang nyaman untuk dibaca,mungkin bisa di edit lg kakak.
terima kasih atas masukannya..
sepertinya harus ditambahkan foto masyarakat Tengger untuk mempermudah dan memperjelas gambaran kami tentang masyarakatnya .
terima kasih atas masukannya.
sudah ditambahkan (meskipun hanya beberapa), haha. terima kasih atas masukannya.. ^^
Pemilihan Tema yang bagus juga… Tidak salah, saya mengajari anda. Wahahahaha
haha.. iya lah. (wahahaha, padahal tema-ne ga jelas, ukuran font e terlalu kecil).. ayokk ajari saya lagi, ajari mengubah font untuk lebih besar..
dirapikan lagi ya penulisannya 😀
Bagus lebih bagus lagi kalo tulisannya dirapikan kak 🙂
terima kasih atas masukannya…