RITUAL PROTES GAYA JAWA-YOGYA, SEBUAH ANALISIS ANTROPOLOGI-STRUKTURAL

Pengertian masyarakat Jawa-Yogya berasal dari asumsi bahwa kultur Jawa itu homogen tetapi sebenarnya kultur Jawa itu heterogen. Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan Kraton Yogyakarta sebagai simbolnya yang identik dengan kebudayaan yang halus, adiluhung, klasik dak kepriyayian.

Pada bulan Mei 1998 terjadi aksi protes di Kota Yogyakarta yaitu di Kampus Universitas Gadjah Mada dan Kraton Yogyakarta sebagai setting sosial. Ritual protes yang dimaksud pada saat itu untuk menuntut pelaksanaan reformasi yang pada saat itu identik dengan penggantian presiden Suharto. Aksi protes ini di lakukan oleh mahasiswa, Rektor UGM dan rakyat Yogyakarta.

 Relasi mahasiswa dengan Presiden Suharto adalah relasi oposisi, begitu juga relasi rektor dengan Presiden Suharto juga sebagai oposisi, sedangkan relasi mahasiswa dengan rector adalah relasi sinergi.

            Pisowanan Ageng adalah istilah yang dimunculkan oleh Koran KR (Kedaulatan Rakyat) untuk menamai ritual protes tersebut. Secara tradisi Kraton Yogya, Raja dan rakyat mempunyai ruang yang berbeda. Raja adalah penguasa dan rakyat adalah yang dikuasai. Ruang interaksi rakyat dengan raja adalah ritual pepe dan mbalela. Ritual pepe atau berjemur di alun-alun utara Kraton Yogyakarta agar mendapatkan perhatian dari raja. Sedangkan mbalela adalah ruang interaksi rakyat kepada pejabat kerajaan yang sudah tidak sudi lagi bertemu dengan raja karena rasa benci, atau kecewa kepada raja. Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Suharto adalah sasaran protes dari mahasiswa, rakyat, rektor, sultan Hamengkubuwono) dimana posisi presiden lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku protes.