Materi Antropologi Kelas XII BAB 3 :Relativitas, Ketahanan, Inovasi Dan Asimilasi Budaya


       Bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keberagaman multi etnis yang tinggi dan terpencar di tiap jengkal daratan ribuan pulau. Lebih dari lima ratus bahasa daerah dijadikan bahasa pengantar masyarakat di Indonesia yang membuktikan, bahwa tingkat pluralitas etnis sangatlah tingg. Pluralitas etnis menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang kompleks. Masing-masing etnis memiliki karakteristik budaya berbeda. Karakteristik sistem lingkungan masyarakat Indonesia yang mayoritas terpencar di pulau-pulau dengan tipologi daratan berupa bukit dan pegunungan yang dipisahkan oleh hutan belantara menyebabkan terjadinya diversitas budaya. Kondisi geografis tersebut memungkinkan intensitas interaksi antar masyarakat rendah, sehingga kebudayaan masyarakat berkembang mandiri dengan karakteristik budaya yang berlainan.

      Diversitas budaya di antara etnis yang tinggal di kepulauan Indonesia menandai, bahwa masing-masing masyarakat etnis mempunyai sistem tata nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat yang berbeda. Perbedaan sistem tata nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat masyarakat menyebabkan penerapan suatu budaya luar belum tentu sesuai dengan budaya lokal masyarakat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sistem budaya yang dianut masing-masing masyarakat berlainan. Sistem tata nilai budaya yang dianggap baik di suatu daerah, belum tentu di daerah lain akan dianggap baik. Realita ini memunculkan suatu teori yang disebut relativisme budaya.

Berdasar teori relativisme budaya pemahaman mendalam terhadap kultur masyarakat merupakan persyaratan mutlak sebelum ditarik suatu penilaian budaya. Hal ini berlaku pula bagi identifikasi gejala sosial budaya, penentuan program pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat yang memiliki karakteristik sistem nilai, norma, adat isitiadat dan hukum adat yang berbeda. Khususnya, masyarakat desa hutan yang tinggal di dalam dan sekitar belantara hutan.

Identifikasi gejala sosial secara mendalam berdasar karakteristik budaya setempat merupakan langkah arif untuk mencapai tujuan program pembangunan ataupun pemberdayaan masyarakat. Program pembangunan masyarakat diharapkan tepat sasaran dan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dengan berdasar pada sistem nilai, norma, adat isitiadat, dan hukum adat masyarakat. Jangan sampai program pembangunan yang dihasilkan merupakan refleksi program pembangunaan budaya masyarakat lain ataupun berdasar dari kultur si perencana program, sehingga tidak aplikatif di masyarakat yang menjadi sasaran. Hal ini untuk menghindari terjadinya suatu pola penetapan program pembangunan yang didasarkan pada sikap etnosentris pihak perencana pogram. Sikapetnosentris adalah suatu sikap yang melihat suatu persoalan dari sudut pandang satu pihak (baca: perencana program). Sikap yang didasarkan pada satu sudut pandang akan menggiring pada sikap stereotip yang menilai budaya masyarakat dari kebiasaan secara umum (general). Akibatnya obyektifitas gejala sosial budaya akan terbengkelai, sebab gejala sosial budaya masyarakat hanya dipandang melalui pemahaman satu sisi dan tidak dikaji secara menyeluruh (holistik). Pemahaman budaya masyarakat secara umum akan menghasilkan suatu program pembangunan yang bersifat bias, sehingga yang dihasilkan penyeragaman (uniformitas) program yang hanya sesuai bagi perencana program. Dalam kajian ilmu sosial penyeragaman program sering dimaknai sebagai cultural imperalism yang memaksa suatu masyarakat mengikuti budaya masyarakat luar yang tidak sesuai dengan sistem nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat yang dianut. Akibatnya, terjadi marginalisasi budaya lokal. Budaya lokal terkalahkan oleh dominasi kekuasaan budaya luar. Masyarakat desa hutan sebagai pemegang kendali budaya lokal dalam program pembangunan hanya menjadi kelinci percobaan yang lambat laun keteraturan tata budaya lokalnya terpinggirkan atau bahkan punah.

Pemahaman relativitas budaya suatu masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan cara mendengar, mengamati aktifitas budaya masyarakat, dan melakukan dialog wawancara dengan pihak masyarakat. Jika dari proses identifikasi gejala sosial budaya sudah terpahami, maka dilanjutkan penentuan program pembangunan yang sesuai untuk diterapkan di masyarakat. Pemahaman teori relativitas budaya sangat penting bagi para ahli kehutanan sosial untuk menyusun program pembangunan masyarakat desa hutan. Seorang ahli kehutanan sosial sebaiknya belajar (learning) sistem tata nilai, norma, adat isitiadat, dan hukum adat masyarakat yang dijadikan sasaran program agar memahami (understanding) karakteristik budaya masyarakat, sehingga mampu memaknai (meaning) dan menentukan program pembangunan yang layak terap untuk kebaikan hidup masyarakat desa hutan.

Jikalau, konsep relativitas budaya ini dapat dipahami dan dimaknai secara benar oleh ahli kehutanan sosial tentunya program pembangunan yang dicetuskan akan mampu mewujudkan suatu integrasi kultural dengan sistem tata nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat masyarakat desa hutan. Akulturasi program pembangunan yang bersendi pada budaya masyarakat akan mendorong terciptanya keberhasilan program dan integrasi program yang harmonis. Relativitas program pembangunan yang didasarkan oleh karakteristik budaya masyarakat akan lebih tepat sasaran dengan tataran hasil yang memuaskan. Masyarakat desa hutan merasa diakui dan diberi kesempatan partisipasinya, sehingga timbul rasa tanggung jawab untuk menjaga dan menyukseskan program pembangunan.

 sumber :

Relativitas Budaya

Zaidan. 2015. Relativitas, ketahanan, inovasi dan asimilasi budaya. (https://blog.unnes.ac.id/zaidanfahmi/category/pendidikan-antropologi-sma/ Diakses 16 desember 2015 pada 20:50)

 

  1. Belum dikomentari.
(tidak akan di tunjuk-tunjukan)


Lewat ke baris perkakas