Student of Life

Category Archives: Uncategorized

“Kuliah di luar negeri itu enak, benarkah?”

Posted on January 5, 2020 by Sandy Arief Posted in Uncategorized Leave a comment

Beberapa waktu yang lalu saya diminta oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia untuk menulis sesuatu yang ringan tentang studi di luar negeri dan pernak-perniknya. Berikut adalah tulisan saya, semoga bermanfaat.

Ketika mendengar tentang kuliah di luar negeri, pasti yang terbayang langsung hal-hal keren dan membanggakan ya. Bagaimana tidak, lihat saja foto-foto dan cerita mereka. Bisa jalan-jalan ke tempat keren, belajar di universitas ternama dunia, bisa melebarkan jejaring ke dunia internasional yang pasti akan berguna untuk masa depan, hingga kesempatan bekerja lebih baik yang akan lebih besar. Tapi, tahukah kita dibalik semua foto dan cerita itu ada hal yang sangat jarang diungkap?.

Dalam tulisan ini saya tidak akan berpanjang lebar membahas bagaimana tips dan trik untuk mendapatkan beasiswa karena itu sudah banyak diulas di berbagai blog, website dan media. Apalagi bagi yang sedang berusaha untuk meraih kursi di kampus luar negeri idaman pasti sudah banyak informasi yang kalian pahami tentang ini semua.

Saya ingin bercerita tentang sisi lain kuliah di luar negeri yang jarang dibahas. Tentang perjuangan berat baik disisi akademis maupun kehidupan sehari-hari yang mungkin belum banyak terpikirkan oleh mereka yang belum merasakannya. Dari perspektif saya sebagai HDR Mentor Macquarie University saya katakan bahwa kuliah di luar negeri itu penuh tantangan. Kuliah di luar negeri memaksa kita untuk segera menyesuaikan diri dengan banyak hal yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang biasa kita hadapi di negeri sendiri. Dari budaya, makanan, hingga kondisi lingkungan yang jauh berbeda.

Pada awalnya, segala sesuatu di tempat baru di luar negeri memang terasa indah. Jalanan yang lebih bersih dan tertata, bangunan-bangunan yang cantik dan sebagainya. Pokoknya semua terasa indah apalagi ketika difoto lalu posting ke media sosial. Lama-kelamaan, saat mulai beradaptasi, kita akan mulai bisa merasakan adanya ketidakcocokan dengan situasi baru. Disetiap negara pasti ada saja budaya yang “unik” dan mungkin tidak cocok bagi kami. Ketidakcocokan itulah yang bisa membuat kami untuk rindu kampung halaman atau parahnya bisa menjadi depresi. Begitu banyak hal yang biasa dilakukan di Indonesia, kini tidak bisa lagi. Ada banyak kemudahan di Indonesia yang kini menjadi sulit di luar negeri. Ditambah kangen dengan orang tersayang, sehingga harus mulai lebih berhati-hati ketika memilih makanan, misalnya. Tapi tenang saja, bagi teman-teman muslim kalau soal makanan pasti tetap ada yang menjual makanan halal atau bahan makanan yang halal. Homesick sebenarnya adalah hal yang wajar bagi mahasiswa perantauan. Tapi ketika kuliah di luar negeri mungkin akan lebih parah rasanya. Jelas saja, kalau homesick masih antar pulau mungkin bisa pulang, kalau antar negara dan jauh pula? Kata pulang menjadi sesuatu yang tidak murah (secara waktu dan biaya) untuk bisa didapat ketika kita kuliah di luar negeri.

Tantangan selanjutnya, kuliah di luar negeri berarti harus siap menghadapi sistem pendidikan yang berbeda dari kuliah di dalam negeri. Disini, sistem pendidikannya lebih memusatkan pada kemandirian mahasiswa. Betul-betul harus mandiri. Tapi justru inilah yang sering membuat mahasiswa Indonesia menjadi stress karena saat di Indonesia kuliah adalah mendengar dosen bicara dan mencatat. Diluar negeri, menghadiri kuliah saja tidak akan cukup. Ada ratusan jam yang harus disiapkan untuk tenggelam di perpustakaan maupun flat demi bisa lulus satu unit mata kuliah. Saya pernah mendengarkan curhatan dari mahasiswa yang depresi karena nilai satu unit mata kuliahnya gagal dan harus mengulang. Kalau mengulang, sudah tau kan, tidak murah untuk bayar tuition fee satu unit apalagi mahasiwa itu adalah penerima beasiswa. Tidak terbayang bagaimana pusingnya untuk bilang ke orang tua, mau curhat ke siapa dan sebagainya. Dari segi personal, bahkan saya pernah dicurhati mahasiswa yang tidak betah karena disini apa-apa harus mandiri. Dia bingung mau masak tidak bisa, mau beli juga mahal. Kalau di Indonesia bisa pesen Go-Food dengan harga terjangkau beres. Disini ada sih Uber Eats tapi berat di ongkos juga. Jadinya cuma bisa makan mie instan tiga kali sehari.

Sampai disini, masih memandang kuliah di luar negeri itu enak?

Peristiwa-peristiwa terhadap keluarga atau orang-orang terdekat juga akan sangat mempengaruhi keadaan kita disini. Saya pernah dicurhati seorang teman mahasiswa internasional otomatis dia harus berpisah jauh dengan keluarga. Suatu ketika, negaranya dilanda musibah gempa, dan hal ini akhirnya memengaruhi performa kuliahnya. Memang saat sedang kuliah di luar negeri dan terjadi hal-hal buruk pada keluarga kita rasanya akan lebih sakit jika dibandingkan ketika kita masih berada di Indonesia. Karena kita jauh dari orang-orang terdekat dan ada beban akademis juga yang harus dipikirkan. Lagi-lagi, mau cerita ke siapa? Pulang tak akan semudah itu. Tapi kan ada video call? Percaya deh, itu tidak akan cukup.

Meskipun sebagai pelajar di luar negeri bisa lebih rentan terhadap depresi, tetapi jangan buru-buru negative thinking sama kuliah di luar negeri ya. Tenang, disetiap kesulitan akan selalu ada kemudahan. Univeristas-universitas di luar negeri terutama di negara maju biasanya punya sistem untuk membantu mahasiswa khususnya mahasiswa internasional untuk menangani masalah-masalah seperti ini.

Lalu bagaimana caranya menghadapi tantangan-tantangan kuliah di luar negeri yang tidak bisa dikatakan mudah itu?

Pertama, untuk menjaga kesehatan, walaupun saya paham betul pasti mahasiswa sibuk sekali dengan tugas dan berbagai aktivitas lainnya, sempatkanlah olahraga. Bisa ikut di pusat kebugaran universitas, tapi harus bayar ya. Kalau mau gratis bisa jogging atau olah raga lainnya yang tidak harus bayar. Misalnya jogging disekitar taman, kos, dan lain-lain. Pasti pernah dengar, ketika kita berolahraga, akan terjadi peningkatan hormon endorphin yang bisa mengurangi rasa sakit dan hormon ini pula yang menjadi kunci olahraga bisa bikin bahagia sekaligus meredakan stress. Jadi untuk menjaga kesehatan dan kebahagiaan, sempatkanlah olah raga.

Kedua, social life. Kita bisa bergabung dan bersosialisasi dengan teman-teman di berbagai kesempatan untuk sekadar bertukar cerita. Karena dengan bertukar cerita kita bisa saling belajar dan saling menguatkan satu sama lain. Berikan kesempatan kepada teman untuk mengerti dan membantu kita. Mereka peduli, dan bisa jadi tahu apa yang harus dilakukan. Selain itu, bisa juga bergabung dengan organisasi kampus untuk mengasah dan mengembangkan potensi diri.

Ketiga, jangan pernah malu untuk meminta tolong apabila memang dirasa mengalami depresi, stress dan semacamnya. Kampus mempunyai pelayanan konseling dimana kita bisa curhat ke psikolog atau bahkan mendapatkan bantuan medis apabila dirasa stress-nya sudah sampai ke ubun-ubun. Tidak akan menyelesaikan 100% masalah kita, memang. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Setidaknya beban akan berkurang.

Akhirnya, memang diperlukan kesiapan mental dan fisik untuk bisa beradaptasi dan kuliah di luar negeri dengan baik. Akan selalu ada tantangan yang menghampiri untuk menguji seberapa kuat dan tahan bantingnya kita. Karena kuliah di luar negeri bukan hanya belajar akademik semata, tetapi belajar tentang kehidupan.

Tulisan ini telah dimuat di laman PPI Australia. Tautan artikel dapat diakses di bawah ini:

https://diary.ppi-australia.org/?p=155

FinTech in Academia: Are We Ready?

Posted on July 23, 2019 by Sandy Arief Posted in Uncategorized Leave a comment

Financial Technology (FinTech) becomes a major driver of financial industry, both for financial and technology sectors. In 2018, FinTech industry is worth nearly $40B globally. While the Industry is increasing job opportunities worldwide, it is also facing uncertainties and major disruptions, and suffering from induced consequences.

The increasing demand for talents in the FinTech industry is being stimulated by the increase in the number of tech-savvy customers and e-commerce activities, and in the aggressive smartphone penetration. In Australia, the 2018 Ernst & Young FinTech Australia census shows that 45% of FinTech companies agreed that attracting qualified or suitable talents was a challenge while 50% of FinTech CEOs and founders agree that Australia lacks experienced startups and FinTech talents. In order to address this global shortage of talents in finance, we need to accommodate FinTech in our teaching learning domains. In the past, universities primarily focused on the conventional subjects. However, with the rapid digital transformation, academic institutions are required to provide alternative options in preparing students to have a broader understanding of the underlying technologies in order to take advantage of the potential FinTech industry to create more opportunities.

According to Linda Kreitzman, the program director of Haas’s Master of Financial Engineering – University of California Berkeley, the expansion of FinTech reflects strong demand for students with a convergence of multidisciplinary skills is known as the ‘full-stack quant’. It refers to multi skills such as Coding, Artificial Intelligence (AI), Blockchain Technology, Finance Intuition, and Statistics that are in demand along with basic knowledge such as Banking, Accounting, and Technology.

It is no wonder that leading business schools are enforced to address the increasing demand for FinTech-related courses. For example, Stanford university provides courses on technologies that promote financial inclusion and the Massachusetts Institute of Technology (MIT) focuses on blockchain technologies. I think we have to do the same as well to catch up with financial revolution. Indonesian universities have to respond comprehensively to the changing financial landscape. Based on my best knowledge, there are very limited Indonesian universities that have courses related to financial technology, even though it is urgently needed to include this financial technology related courses into curriculum in order to adapt to the changes of environment in the finance industry.

Singapore can be the leading example in FinTech education field. The Monetary Authority of Singapore (MAS) has invested $167 million to provide support for creating the top global FinTech hub. This is in alignment with educational objectives. At the university level, Singapore adopts FinTech as a subject in curriculum, builds collaborations with a top technology company to design, and develops a FinTech curriculum to come up with better solutions and incorporate technology into financial education. I firmly believe the Ministry of Research, Technology, and Higher Education has proposed agendas to reinvent and update curriculum to keep pace with the rapid technological and financial development. With the solid cooperation among governments, businesses, and universities, Indonesian students will be more prepared as innovation pioneers that could reshape the future of finance and technology.

« Previous Page

Recent Posts

  • Leading through Complexity
  • Collaboration with BRIDA of Central Java Province
  • Charting My Mentorship Journey: Transformation from HDR Mentor to GRMA Founder
  • Call for Book Chapters – Taylor & Francis
  • Macquarie Graduate Futures Mentoring Program

Recent Comments

    Archives

    • December 2025
    • November 2025
    • October 2025
    • February 2025
    • January 2025
    • September 2024
    • January 2024
    • January 2020
    • July 2019

    Categories

    • Uncategorized

    Meta

    • Register
    • Log in
    • Entries feed
    • Comments feed
    • WordPress.org
    CyberChimps ©2025