Ayah, ibu, sebelumnya aku ingin meminta maaf kepadamu yang telah mengecewakan perasaanmu.
Ini semua salahku ibu, awalnya setelah hampir 3 tahun aku memutuskan tak ingin berpacaran, aku ingin berta’aruf. Tak disangka aku bertemu teman lamaku waktu SMA, dan berkomunikasi via bbm.
Awalnya semua berjalan biasa saja, seperti teman biasa, bahkan aku mencoba untuk menjodohkannya dengan salah satu sahabatku. Tetapi, semakin lama dia sering menghubungiku, dan aku masih menganggapnya biasa saja, meresponpun dengan biasa saja.
Saat bulan Ramadhan di tahun 2015, teman-teman SMA-ku mengadakan reuni di salah satu resto. Nah, di saat itulah semuanya dimulai. Aku tidak boleh membawa kendaraan waktu itu, dan sahabatku tidak bisa menjemputku karena dia sibuk dengan pekerjaanya. Sore itu dia menghubungiku dan menawarkan diri untuk menjemputku, akhirnya aku pergi dan pulang bersamanya. Di saat itu aku masih menganggapnya teman biasa, bahkan aku takut mantan pacarku sewaktu SMA melihat dia mendekatiku, karena aku masih memiliki perasaan terhadap mantanku.
Pertemuan di acara reuni itu adalah awal mula aku bertemu setelah lama kami tidak bertemu, dan setelah itu pula dia terus berusaha mendekatiku. Aku masih ragu untuk menerima dia, karena dia adalah mantan salah satu sahabatku waktu SMA, tapi dia tetap berusaha Akhirnya, aku bilang padanya untuk meminta restu ke dua orang sahabatku, K dan V, karena mereka sangat memahamiku, dan merekalah tempatku bersandar selain orang tuaku.
Dia berkomunikasi dengan kedua sahabatku, dan akhirnya merekapun merestui dia untuk mendekatiku, dengan syarat agar tidak mengecewakan perasaanku, dan memberitahunya bahwa aku bukanlah mencari pacar melainkan mencari pendamping hidup. Dia menyetujui dan menyanggupi semuanya. Hingga akhirnya, akupun mencoba membuka diri padanya, dan aku pun berdoa “ya Allah jika dia jodohku dekatkanlah, jika tidak jauhkanlah sebelum cinta ini benar-benar tumbuh.
Hari berganti hari dia terus berusaha menghibungiku, menanyakan rutinitasku, dan menceritakan keluh kesahnya padaku, hubungan kamipun semakin dekat. Dia mempertemukan ku dengan kedua orangtua dan keluarganya. Diapun semakin dekat dengan kedua orangtuaku, serta kakak dan adikku. Akhirnya kedua orangtuaku dan keluargaku menerima dia sebagai pacarku. Kamipun semakin dekat bahkan sangat dekat. Hingga akhirnya, dia harus pergi karena pekerjaannya, selama 40 hari. Kami tidak bisa berkomunikasi karena memang itu peraturannya, mungkin sesekali dia akan menghubungiku, pada jam istirahatnya.
Yah, aku tidak pernah menampakkan kalau aku sudah mulai menyukainya, aku hanya menjawab seadanya. Bahkan dengan candaan dariku, sebelum pergi dia berpesan untuk mengatakan kepada orang tuaku bahwa ia akan serius dengan menikahiku. Sekali lagi aku hanya mengangguk dan menjawab dengan candaanku, tapi sesungguhnya aku sangat senang mendengarkan itu.
Minggu ke-3 setelah dia pergi, dia menghubungiku dan menayakan pesan yang dia amanatkan padaku, aku tidak mengataakan kalau aku sudah mengataakannya kepada orangtuaku. Aku hanya menjawab dengan candaan dan memalingkan kepembicaraan yang lain. Entah apa yg ada dipikiranku, padahal aku sangat senang dia menyakaan itu padaku. Akhirnya 40 haripun berakhir, dia meneleponku saat akan berangkat, dan saat sampai ke bandara. aku memberitahu ibuku kalau dia pulang hari ini dan ibu menyuruhku untuk menyiapkan masakkan untuknya. Akupun menunggu kepulangannya, jam 4 sore dia juga belum sampai. Aku mencoba menghubunginya, ternyata dia baru berangkat karena menunngu temannya. Membutuhkan waktu 2 jam dari bandara ke rumahku, di situlah awal mula masalah kami.
Aku mengahrapkan dia berhenti di rumahku, seperti biasanya setelah dia pulang dia akan berhenti di rumahku, aku dan kedua orangtuaku menunggunya. Saat magrib tiba, dia menghubungiku kalau dia langsung pulang ke kosnya karena ibunya telah menunggunya di sana. Aku pun merespon dengan baik, dan menyuruhnya untuk beristirahat.
Keesokkan harinya aku berharap dia mengunjungi rumahku, begitupun dengan kedua orangtuaku, tetapi dia menghubungiku kalau dia harus langsung ke kantor, akupun mencoba memahaminya. Setelah dua hari dia pulang, dia menghubungiku untuk mengajaku makan di luar, aku tidak bisa karena ada orangtuaku, dan diapun tahu kalau aku tidak sebebas wanita lain untuk pergi keluar malam. Mungkin dia kecewa, tapi sebenarnya akupun mau menemuinya, tak dapat dipungkiri akupun merindukkannya.
Hari berganti hari, diapun belum juga menemui orangtuaku semenjak kepulangannya, akupun mulai merasa kesal dan marah padanya, terlebih lagi orangtuaku yang selalu menanyakannya. Sebelumnya, orang tuaku tidak pernah seperti ini terhadap pacarku, mungkin karena aku telah menyampaikan bahwa dia ingin serius dengan menikahiku.
Di sinilah emosiku memuncak, aku berpikir sesibuk apun dia, apa salahnya untuk menemuiku, mengunjungi orangtuaku sekedar waktu 5 menit meluangkan waktu untuk menyapa orang tuaku. Tetapi, itu hanya angan-anganku. Hari semakin berganti dan diapun tidak muncul, hingga percekcokan itu pun muncul dan diapun lebih memilih mundur. Aku masih berjuang untuk menghubinginya dan menyelesaikan masalah ini, tapi dia tetap memilih mundur. Sakit, bahkan sangat sakit, di saat aku mencoba membuka hati dan menerima, dan juga memberi harapan pada orangtuaku, semua itu pergi begitu saja.
Aku tidak menyalahkan siapun, aku menyalahkan diriku sendiri karena keegosinku, dan karena aku yang telah mengecewakan orangtuaku, memberi harapan palsu pada mereka. Maafkan aku, maafkan aku ibu, ayah maafkan aku. Bahkan semua terasa lebih sakit di saat aku mulai mencintainya dan diapun memilih pergi, sekali lagi maafkan aku ibu, ayah maafkan aku. Aku hanya berdoa untuk kesehatan kalian, suapaya kalian bisa melihatku menikah suatu saat nanti dengan pria terbaik untuk menjadi menantu terbaikmu. Bersabarlah ibu, ayah. Bersabarlah.