Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-nilai dan Etika Masyarakat Jawa

Budaya kekerasan adalah sesuatu yang dianggap bersimpangan dengan budaya adiluhung yang dimiliki masyarakat Jawa, namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kekrasan tersebut justru telah mengakar pada mada masyarakat sejak masa penjelahan dimulai. Lalu bagaimana selanjutnya nilai dan etika melihatnya? Budaya kekerasan ini seolah-olah dilegitimasi oleh masyarakat dengan cara mengaggumi bagaimana sikap yang ditunjukan para panglima perang jaman dahulu serta bagaimana populernya pertunjukan wayang kulit yang menunjukkan peperangan antara pandawa dan kurawa. Untuk memahami budaya kekerasan ini nilai dan etika Jawa merangkumnya dalam tiga prinsip budaya yaitu hormat, rukun, dan isin. Hormat adalah sikap dapat menghormati setiap orang berdasarkan kedudukannya, rukun adalah menjaga kehidupan sosial selalu selaras, sementara isin adalah merasa malu jika melakukan perilaku yang tidak seharusnya ditunjukkan.

Secara hierarkhi watak alus lebih tinggi derajatnya dari watak kasar. Karena watak alus merupakan kodisi ideal manusia Jawa yang diperoleh melalui usaha yang keras, sementara watak kasar dimiliki setiap manusia sebagai sifat dasar. Selamanya sifat angkara murka akan dapat dikalahkan oleh pangastuti. Hierarkhi dalam budaya Jawa tergambar pula dari peribahasa ”Dupak bujang, semu mantri, esem bupati” tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan seorang pemuda atau wong ciliki adalah menggunakan kekrasan fisik, sementara itu untuk priyayi menengah adalah dengan menyindir kepada orang lain, dan komunikasi dengan priyayi tinggi yang posisinya di bawah raja cukup dengan tersenyum orang lain sudah mengerti maksudnya.

Dalam menjinakkan watak kasar ini harus dengan watak alus yang senantiasa mengayomi dan memberikan jalan keluar yang terbaik. Contohnya pada fenomena orde baru dimana terdapat banyak kekerasan yang terjadi oleh karena itu sultan menjinakannya dengan makan bersama gunungan garebeg sehingga tidak ada perilaku anarkhi yang akan timbul.

10 komentar pada “Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-nilai dan Etika Masyarakat Jawa

  1. kata mbak fatma ditulisan tsb kan di masa orde baru banyak kekerasan, itu kekerasan dalam bentuk apa saja? o ya, kalau masa reformasi gimana? masih banyak kekerasan tidak ya kira-kira? hehe mksh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: