Sebagai negara yang masyarakatnya majemuk, setiap daerah di Indonesia mempunyai persamaan dan perbedaan budaya, bahasa, dialek, dan tradisi lisan. Meskipun demikian, tidak menghalangi masyarakat untuk berkomunikasi satu sama lain. Justru dengan adanya persamaan dan perbedaan memberikan manfaat bagi kehidupan yaitu masyarakat dapat mempelajari budaya, bahasa, dialek, dan tradisi lisan masyarakat lainnya melalui pelajaran antropologi. Bahasa, dialek, dan tradisi lisan digunakan untuk menyambung komunikasi dengan masyarakat lain
Persamaan antara bahasa, dialek, tradisi lisan terletak pada daerah masing-masing. Ketiganya sama-sama berasal dari daerah tempat tinggal masing-masing. Selain itu, persamaan antara bahasa, dialek, dan tradisi biasanya juga disebabkan oleh letak geografi suatu daerah yang berdekatan, sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi yang sering antara penutur-penutur dialek tersebut. Biasanya terdapat kata yang sama dalam bahasa antara daerah satu dengan daerah lainnya tetapi mempunyai makna yang berbeda. Contoh : kata “urang”, dalam bahasa jawa memiliki arti udang akan tetapi dalam bahasa sunda kata “urang” memiliki arti aku atau saya. Persamaan kata inilah yang terkadang membuat seseorang salah persepsi. Bahasa, dialek, dan tradisi lisan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia sehari-harinya. Oleh karena itu, ketiganya sama-sama penting di semua daerah karena menjadi ciri khas.
Perbedaan bahasa, dialek, tradisi lisan terletak pada kondisi geografis suatu daerah. Setiap daerah mempunyai kondisi geografis yang berbeda yang menyebabkan munculnya bahasa, dialek, dan tradisi lisan yang berbeda. Sebagai contoh yaitu Perbedaan dialek yang ada dalam Bahasa Jawa. Perbedaan ini dikarenakan adanya kondisi geofisik di Jawa yang berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Di bagian barat Jawa terdapat daerah aliran Sungai Serayu yang berasal dari kompleks Pegunungan Dieng, Sindoro, Sumbing, yang mengalir ke arah barat daya sebelum akhirnya bermuara di Samudra Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa. Orang-orang Jawa yang tinggal di daerah aliran sungai ini mengucapkan suatu dialek Banyumas yang khas, di mana vokal bawah belakang dalam bahasa Jawa umum diucapkan sebagai vokal bawah tengah yang sering kali diakhiri dengan pita suara tutup pada akhir kata.
- Di daerah aliran Sungai Opak, Praga, dan hulu Sungai Bengawan Solo, di tengah-tengah komplek Gunung Merapi-Merbabu-Lawu, dipergunakan dialek Jawa Tengah Solo-Jogja. Daerah ini juga merupakan daerah pusat kebudayaan Jawa – Keraton yang dianggap sebagai daerah sumber dari nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Dengan demikian, dialek Solo – Jogja juga dianggap sebagai “bahasa Jawa yang beradab”. Dalam dialek ini penggunaan bahasa Jawa dengan sistem kesembilan gaya bertingkat itu benar-benar sudah berkembang mencapai kerumitan yang luar biasa.
- Di sebelah utara daerah ini terdapat dialek Jawa pesisir yang dipergunakan di kota-kota daerah pantai utara. Dialek ini tidak jauh berbeda dari dialek Solo-Jogja. Bagian barat daerah subkebudayaan pesisir sangat dipengaruhikebudayaan dan bahasa Sunda yang tampak pada dialek Cirebon, Indramayu, Tegal, dan daerah-daerah sekitarnya.
- Sebelah timur daerah subkebudayaan Jawa Tengah adalah Sungai Brantas yang juga melingkupi daerah-daerah sekitar Madiun dan Kediri di bagian baratnya, dan Kota Malang, Lumajang, dan Jember di bagian timurnya. Logat yang diucapkan di daerah itu sangat dipengaruhi oleh dialek Solo-Jogja dan bahkan mirip sekali, kecuali yang dipakai di delta Sungai Brantas, khususnya Kota Surabaya yang memiliki dialek yang sangat khas pula.
- Bahasa Jawa yang dipakai di daerah pantai Jawa Timur sangat banyak terpengaruh bahasa Madura, yaitu suatu bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa Jawa. Adapun bahasa yang dipergunakan di ujung timur Pulau Jawa, yaitu Banyuwangi dan Blambangan banyak dipengaruhi oleh bahasa Bali.
- Di ujung sebelah barat Pulau Jawa, yaitu di sebelah barat daerah kebudayaan Sunda, terdapat daerah Banten yang menggunakan suatu logat bahasa Jawa yang khas. Daerahnya mencakup daerah sebelah barat Kota Jakarta hingga Kota Merak, dan ke arah selatan berbatasan dengan Kota Bangka Belitung dan Pandeglang. Penduduk di daerah ini berbicara dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Jawa, Banten dan Bahasa Sunda, tetapi di Kota Serang, yang merupakan ibu kota daerah itu, terutama memakai bahasa Sunda.
Contoh lain dari perbedaan bahasa dan dialek adalah pada daerah pegunungan masyarakat cenderung mempunyai sifat yang lembut sesuai kondisi lingkungannya yang dingin,kondisi tersebut menyebabkan seseorang mempunyai gaya bahasa dan dialek lebih halus dalam berbicara. Sedangkan pada daerah pesisir masyarakat cenderung mempunyai sifat yang keras sesuai dengan kondisi lingkungannya yang panas. Sehingga menyebabkan seseorang mempunyai gaya bahasa dan dialek lebih keras dalam berbicara.
Selain bahasa dan dialek seperti disebutkan di atas, tradisi lisan setiap daerah pun mempunyai perbedaan. Hal tersebut dikarenakan cerita rakyat atau legenda berasal dari daerah masing-masing yang memperlihatkan kekhasannya. Sebagai contoh di daerah Jawa Barat terdapat cerita tentang Asal mula Gunung Tangkuban Perahu, yang mana dalam cerita tersebut seorang laki-laki bernama Sangkuriang mencintai seorang perempuan bernama Dayang Sumbi, yang ternyata ibu kandungnya. Cerita rakyat tersebut tidak bisa ditemukan di daerah lain, meskipun di Sumatra terdapat cerita rakyat tentang ibu kandung yaitu Malin Kundang. Hal tersebut dikarenakan cerita Asal mula Gunung Tangkuban Perahu menjadi ciri yang khas bagi masyarakat Jawa Barat. Dari penjelasan materi di atas, harapannya walaupun setiap daerah mempunyai bahasa, dialek, dan tradisi lisan yang berbeda tetapi tidak menurunkan tingkat solidaritas antar sesama masyarakat.
Daftar Pustaka
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.