( Untuk lembar penilaian observasi, komponen sikap yang harus dinilai oleh guru adalah tanggung jawab, jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Guru harus mengamati tujuh sikap agar dapat mengisi setiap kolom penilaian. Apabila dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, berarti ada 210 kolom yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa. Mungkinkah guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap ini dalam dua atau tiga jam tatap muka ?
Persoalannya bukanlah apakah guru mampu atau tidak menilai sikap siswa. Akan tetapi, kecenderungan memasukkan penilaian spiritual dan sikap dalam setiap tatap muka melalui indikator-indikator yang tidak dapat dikuantifikasi inilah yang membuat proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya, yaitu akuisisi ilmu pengetahuan.
Ada dua kemungkinan sikap guru terkait proses penilaian sikap. Guru lebih mengutamakan proses pembelajaran untuk penguasaan materi pelajaran dan mengesampingkan proses penilaian spiritual dan sikap, atau jika ingin mengutamakan keduanya, akhirnya pendalaman materi pembelajaran yang terabaikan.
Banyak guru memilih mengutamakan pembelajaran ketimbang sibuk mengamati perilaku spiritual dan sosial siswa. Akibatnya, penilaian sikap spiritual dan sosial yang dianggap sebagai kekuatan Kurikulum 2013 hanya menjadi formalitas tanpa isi. )
( Penilaian kompetensi spiritual dalam Kurikulum 2013 sering kali ditandai indikator yang sangat ritualistik dan reduktif, seperti siswa berdoa sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran, atau indikator aneh, seperti siswa dapat bersyukur atas anugerah bahasa Indonesia. Bagaimana menilai rasa syukur seperti ini ? )
Kekacauan dalam implementasi Kurikulum 2013 bukanlah semata-mata persoalan teknis, seperti masalah percetakan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan guru, melainkan karena pijakan teoretis-konseptual Kurikulum 2013 tidak kokoh dan secara praksis pun bermasalah.
Akibatnya, pendidikan hanya menjadi bahan kampanye politisi, entah mengatasnamakan revolusi mental atau apa pun. Namun, ketika tiba waktunya untuk mengoreksi kekeliruan fundamental ini, mereka tak berani mengambil sikap. Alih-alih mencoba memahami mengapa implementasi Kurikulum 2013 gagal, ‘mereka’ lebih suka memilih zona aman dengan argumentasi pinggiran yang jauh dari persoalan utama Kurikulum 2013