Pro dan kontra soal penurunan biaya interkoneksi terus bergulir. Padahal pemerintah telah mengeluarkan surat edaran (SE) mengenai implementasi dari penetapan tarif tersebut.
Sejatinya, kebijakan ini dapat dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) setiap tahunnya. Namun, tidak dipungkiri perubahan aturan akan selalu menimbulkan polemik.
“Tidak hanya regulasi interkoneksi, tetapi regulasi yang berhubungan dengan telekomunikasi. Di semua negara pasti akan terjadi pro dan kontra dari munculnya satu regulasi,” ujar, pemerhati telekomunikasi yang berbasis di Eropa, Ibrahim kholilul Rohman
Menurutnya, kasus penurunan tarif interkoneksi memunculkan kondisi “zero sum game”. Dalam kasus interkoneksi, kondisi ini bisa dicontohkan dengan pendapatan interkoneksi yang diperoleh turun bersamaan dengan turunnya beban interkoneksi.
Turunnya pendapatan dan beban memunculkan kondisi yang bisa dikatakan seimbang atau nol, seperti istilah zero sum game yang dikatakan Ibrahim di awal.
Sebagai ilustrasi, Ibrahim pun memaparkan contoh penerapan interkoneksi di negara lain. Misalnya, operator seluler Vodacom di Afrika Selatan saat sebelum penurunan interkoneksi pada 2011 dan setelah penurunan pada 2012.
Pada 2011, pendapatan interkoneksi mereka mencapai USD936 juta, dengan beban interkoneksi mereka USD787 juta. Dari kedua komponen, operator itu mendapatkan net interconnect profitmencapai USD149 juta.
Sementara di 2012, atau setahun setelah penerapan interkoneksi, pendapatan interkoneksinya mencapai USD840 juta, sementara sisi beban interkoneksi USD682 juta.
“Bagaimana dengan net interconnect profit? Operator itu malah menikmati kenaikan menjadi USD158 juta. Itu artinya, mereka malah untung,” kata Ibrahim.
Berangkat dari kasus itu, ia pun menjelaskan, dalam jangka panjang penurunan biaya interkoneksi bisa memberi dampak positif, yakni menstimulasi investasi.
“Maka, operator besar harus lebih concern sama on-net (trafik di jaringan operator yang sama) dan tidak perlu lagi khawatir sama off-net (trafik lintas operator). Kalau digarap dengan benar, tarif on-net, maka tetap bisa untung,” jelasnya.
Selain itu, pakar itu mengungkapkan, para operator telekomunikasi pun tidak perlu takut dengan turunnya tarif interkoneksi, karena Indonesia memiliki pasar yang sensitif terhadap harga.
Ibrahim juga menyarankan agar pemerintah sebagai regulator, dapat menengahi kedua kubu yang bertolak belakang tersebut. “Pemerintah dalam kasus ini harus bisa memitigasi reaksi operator seluler dengan memberikan pengertian,” ujarnya.
Misalnya, seperti penurunan tarif interkoneksi 1% akan berpengaruh terhadap kenaikan net usage atau penggunaan telepon yang meningkat sebesar 40%.
“Di samping itu, tarif interkoneksi merupakan natural monopoly sehingga memang harus diatur oleh pemerintah,” tegas Ibrahim lebih lanjut.
Terlepas dari itu semua, kebijakan pemerintah terkait dengan biaya interkoneksi harus tetap mengakomodasi seluruh stakeholder industri itu.