Setelah dulu pernah divonis sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan dinyatakan terlarang, pengikut-pengikut agama Syi’ah kini kembali menggeliat dan semakin gencar menyebarkan paham-paham sesat mereka di tengah-tengah masyarakat muslim. Dan diantara cara yang mereka tempuh saat ini adalah menyerukan pendekatan antara Sunni dan Syi’ah. Padahal, perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan dalam hal akidah, pokok-pokok keimanan.
Banyak orang-orang muslim yang tertipu oleh Syi’ah, karena buku-buku yang mereka baca tentang Syi’ah adalah buku-buku yang telah diterjemahkan dan diberikan perubahan-perubahan oleh orang-orang Syi’ah, bukan kembali kepada kitab-kitab referensi utama Syi’ah.
Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedangkan dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang muncul sejak pemerintahan Utsman bin Affan t yang dikomandoi oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan t, Abdullah bin Saba’ mulai memperkenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (baca: imamah) sesudah Nabi r sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib t. Namun, menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman y telah mengambil alih kedudukan itu.
Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian mereka melarikan diri ke Madain.
Aliran Syi’ah pada abad pertama Hijriyah belum merupakan aliran yang solid sebagai tren yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke-2 Hijriyah dan abad-abad berikutnya.
Pokok-Pokok Penyimpangan Syi’ah pada Periode Pertama:
1. Keyakinan bahwa imam sesudah Rasulullah r adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi r. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib t.
2. Keyakinan bahwa imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari Kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah y dan lain-lain.
4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia gaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan para Imam.
5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib t karena keyakinan tersebut.
6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut
7. Keyakinan anjuran mencaci maki para sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasaat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql hal. 237)
Pada abad ke-2 hijriyah, perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Shofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomeini dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Pokok-Pokok Penyimpangan Syi’ah Secara Umum:
1. Pada Rukun Iman:
Syi’ah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qadha dan Qadar, yaitu: 1. Tauhid (keesaan Allah), 2. Al-‘Adl (keadilan Allah) 3.Nubuwwah (kenabian), 4. Imamah (kepemimpinan Imam), 5. Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan). (Lihat ‘Aqa-idul Imamiyah oleh Muhammad Ridha Mudhoffar, dan lain-lain).
2. Pada Rukum Islam:
Syi’ah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu: 1. Shalat, 2. Zakat, 3. Puasa, 4. Haji, 5.Wilayah (perwalian). (lihat Al-Kafie juz II hal. 18).
3. Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang ini telah diubah, ditambahi atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti:
} وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا “فِيْ عَلِيٍّ” فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِه ِ{
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami “Ali”, buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu.” (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan “fii ‘Aliyyin” dari teks asli Al-Qur’an yang berbunyi:
﴿ وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِه ِ﴾
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu.” (QS. Al-Baqarah:23).
Karena itu mereka meyakini bahwa: Abu Abdillah Ja’far Ash Shodiq a.s berkata, “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril u kepada Nabi Muhammad r adalah 17.000 ayat (Al-Kafi fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi’ah Al-Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan An-Nuri Ath-Thibrisy).
4. Syi’ah meyakini bahwa para Sahabat sepeninggal Nabi r telah murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal.245, Al-Ushul minal Kafi juz II hal 244) .
5. Syi’ah menggunakan senjata “taqiyyah” yaitu berbohong, dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabui (Al Kafi fil Ushul Juz II hal.217).
6. Syi’ah percaya kepada Ar-Raj’ah yaitu kembalinya roh-roh ke jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum kiamat di kala imam gaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.
7. Syi’ah percaya kepada Al-Bada’, yakni tampak bagi Allah dalam hal keimamahan Ismail (yang telah dinobatkan keimamahannya oleh ayahnya, Ja’far As-Shadiq, tetapi kemudian meninggal di saat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka, Allah U boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga).
8. Syi’ah membolehkan “nikah mut’ah”, yaitu nikah kontrak dengan jangka waktu tertentu Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulullah r sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib t sendiri.
Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas
yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Enam perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni (syar’i):
1. Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
2. Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah Sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia
3. Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah Sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
4. Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah istri, nikah Sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
5. Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah Sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
6. Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah Sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
Dalil-Dalil Haramnya Nikah Mut’ah
Haramnya nikah mut’ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi r juga kesepakatan para ulama dari 4 madzhab.
Dalil dari hadits Nabi r. Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhaini t, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah r dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata, “Ada selimut seperti selimut”. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, tiba-tiba aku melihat Rasulullah r sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai Hari Kiamat.” (Shahih Muslim II/1024).
Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib t, ia berkata kepada Ibnu Abbas t bahwa Nabi r melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
– Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan, “Nikah mut’ah ini bathil menurut madzhab kami. – Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, “Hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat mutawatir.” Sementara itu Imam Malik bin Anas dalam kitabnya Al-Mudawwanah Al-Kubra(II/130) mengatakan, “Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”
– Dari Madzhab Syafi’, Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan.” Sementara itu Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ (XVII/356) mengatakan, “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu akad yang bersifat mutlak, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
– Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, “Nikah Mut’ah ini adalah nikah yang bathil.” Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Dan masih banyak lagi kesesatan dan penyimpangan Syi’ah.
Kami ingatkan kepada kaum muslimin agar waspada terhadap ajakan para propagandis Syi’ah yang biasanya mereka berkedok dengan nama “Wajib mengikuti madzhab Ahlul Bait”, sementara pada hakikatnya Ahlul Bait berlepas diri dari mereka. Itulah manipulasi mereka. Semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan yang lurus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih. Wallahul Haadi ilaa Aqwamith Thoriq
Sumber: Buletin LPPI. Masjid Al-Ihsan Lt. III Proyek Pasar Rumput Jakarta 12970 Telp/Fax. (021)8281606
Sumber : https://id-id.facebook.com/notes/qamus-mustamin/waspadai-syiah-begini-pokok-pokok-ajarannya/432309160130372