Apakah Etnografi itu?
Istilah etnografi berasal dari kata ethnos yang artinya suku bangsa dan graphein/graphic yang artinya gambaran atau lukisan. Jadi, etnografi adalah gambaran tentang suatu suku bangsa atau masyarakat. Etnogarafi pertama kali muncul ketika bangsa Eropa memiliki keingintahuan yang lebih terhadap suku bangsa di luar Eropa yang dianggap unik dan menarik. Bangsa Eropa heran terhadap bangsa tersebut yang berbeda sekali dengan orang Eropa kebanyakan, diamana orang Eropa berkulit putih, hidung mancung, tinggi dan lain-lain sedangkan bangsa-bangsa di luar tersebut ada yang berkulit hitam, sawo matang, hidung pesek, rambut ikal dan pendek.
Etnografi, ditinjau secara harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku-bangsa, yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan, atau sekian tahun (Spradley, James P. 1997:xv). Ernogarfi merupakan cikal bakal dari ilmu antropologi. Tujuan utama dari etnografi adalah mendeskripsikan dan memahami kebudayaan dari sudut pandang penduduk asli atau objek yang diteliti. Etnogarafi tidak hanya belajar dari masyarakat, lebihdari itu etnografi belajar dari masyarakat yang ditelitinya
a. Etnografi Klasik (Awal)
Etnografi klasik berkaitan erat dengan munculnya ilmu antropologi. Antropologi, sebagai sebuah disiplin ilmu baru lahir pada paruh kedua abad ke-20, dengan tokoh-tokoh utama seperti E.B. Taylor, J. Frazer dan L.H. Morgan. Usaha besar para tokoh ini adalah dalam menerapakan teori evolusi biologi terhadap bahan-bahan tulisan, laporan atau kisah perjalanan tentang berbagai suku bangsa di dunia yang dikumpulkan oleh para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah kitab injil dan pegawai pemerintah jajahan. Pada era ini disebut juga etnografi dari balik meja (studi literatur di perpustakaan dan dari bahan-bahan tulisan tadi).
Menjelang akhir abad ke-19, muncul pandangan baru dalam ilmu antropologi. Kerangka tulisan yang disusun oleh para ahli teori terdahulu kini dipandang sebagai tidak realistik, tidak didukung oleh bukti yang nyata. Dari sini muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri kelompok masyarakat yang menjadi objek kajiannya. Teknik etnografi utama pada masa awal ini adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci, yaitu orang-orang tua dalam masyarakat tersebut.
b. Etnografi Modern
Etnografi modern baru muncul pada dasawarsa 1915-1925, dipelopori oleh dua ahli antropologi sosial Inggris, A.R. Radcliffe-Brown dan B. Malinowski. Tokoh ini melahirkan apa yang disebut dengan teori fungsionalisme dan struktural fungsional. Yang membedakan kedua tokoh ini dengan para etnografer awal adalah mereka tidak terlalu memandang penting hal-ihwal yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Perhataian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, yaitu tentang way of life masyarakat tersebut. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, sang peneliti tidak cukup hanya melakuakan wawancara dengan beberapa tokoh tua saja, tapi yang lebih penting lagi adalah melakukan observasi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tersebut.
c. Etnografi Baru
Berkembang sejak tahun 1960-an, seiring dengan perkembangan antropologi kognitif / ethnoscience. Berbeda dari etnografi modern yang memusatkan perhatian pada organisasi internal suatu masyarakat untuk mendapatkan gambaran tentang masyarakat tersebut, maka etnografi ini memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakannya dalam kehidupan. Karena itu, objek kajian antropologi bukanalah fenomena material seperti benda, kejadian dan perilaku, tetapi cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia. Jalan yang paling mudah dan paling tepat untuk menggambarkan budaya adalah melalui bahasa. Studi bahasa suatu masyarakat adalah titik masuk, sekaligus aspek utama dalam antropologi aliran kognitif ini.
Etnografi di Indonesia meliputi 3 kategori yaitu (a). kategori etnogarafi yang bersifat asal deskipsi / Etnografi Awam adalah etnografi yang umumnya ditulis bukan oleh ahli antropologi dan umumnya tidak terdapat analisa ataupun kesimpulan tertentu dari penulis tentang apa yang ditulisnya. (b) etnografi yang berisi deskripsi, baik yang mendalam maupun dangkal, tetapi bersifat kalsifikatif disebut Etnografi Laci. (c) etnografi yang berisi deskripsi namun lebih sistematis atau disebut Etnografi Analitis (Sumber Artikel: Etnografi sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di Indonesia? Oleh: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A. Antropolog UGM
Patrial Truths dalam Etnografi
Patrial truths artinya kebenaran dalam etnografi yang memihak atau tertentu karena sebuah representasi (menghadirkan kembali) peristiwa lampau. Partial thruths menjelaskan perbedaan kebudayaan yang bergam (baik itu sejarah / history, peristiwa) = paticular. Kebenaran yang ditampilkan etnografi dilandasi dan dibatasi oleh motivasi dan ketentuan yang berada di luar masyarakat itu sendiri bahkan berada di luar jangkaun sang peneliti. Kebenaran dalam etnografi juga dapat dibilang tidak sepenuhnya objektif. Kebenaan itu dikatakan benar / bersifat partial hanya dipahami sebagai motivasi dan pembatas-pembatas yang turut dalam pendeskripsian tersebut. Menurut James Clifford (1986), partiality etnografi bisa ditandai dengan 6 cara, yaitu contextually, rhetorically (kaidah-kaidah pengungkapan), institutionally (etnografer menulis dan melawan, tradisi, disiplin), generically (pembedaan etnografi apakah dari novel atau laporan perjalanan), politically (kewenangan mengungkapkan kebenaran kultural), historically (Artikel: GR Lono Lastoro Simatupang: Menuju Antropologi yang Transparan).
Mengapa etnografi bersifat patrial truths? Karena adanya perbedaan-perbedaan etnografi yang kuno (lama) dengan yang etnografi baru, sehingga kebenaran etnografi perlu dipertanyakan (tak utuh). Ada yang menganggap bahwa kebenaran etnografi harus dirombak sesuai dengan zaman ada pula yang berpendapat untuk mempertahankan kebenaran yang lama. Menurut GR Lono Lastoro Simatupang, tidak perlu adanya perombakan terhadap keduanya namun perlu adanya sikap kritis terhadap kebenaran etnografi yang patrial. Maksudnya, ketika kita membaca karya etnografi kita patut waspada adanya faktor-faktor yang turut yang mengkondisikan karya etnografi tersebut. Sesuai dengan ungkapan dalam bahasa Inggris “to read between the lines”(keterampilan membaca secara waspada faktor-faktor tersebut). Dalam hal ini kita harus transparan, memberitahukan kepada pembaca akan kebenaran dari data etnografi yang kita kumpulkan sehingga dapat menjadi pembeda antara etnografi yang “baru” dan “lama”.
Pokok Kajian Etnografi Visual
Pokok etnografi visual adalah ‘penglihatan’ bagaimana kita mengungkapkan kebudayaan baik itu melalui foto, film, video yang sifatnya visual. Etnografi visual ada karena untuk menggambarkan keabsahan suatu tulisan yang dibuat oleh para antropolog, sehingga terdapat bukti bahwa kita pernah ada di sana melakukan penelitian tersebut. Pernah terdapat penolakan terhadap antropologi visual karena dianggap yang ilmiah menjadi bersifat seni. Ada pula kecenderungan yang tampak ketika kita menggunakan antropologi visual, misalnya saja ketika antropolog mengambil gambar (foto), diragukan keaslian dari foto-foto tersebut, bisa saja antropolog mengatur tempat, posisi objek yang diteliti dll, sehingga perlu dikaji keasliannya. Penolakan ini didasari atas kenyataan bahwa kondisi masyarakat selalu berubah dengan cepat, penelitian lapangan menggunakan film dan foto dirasa merepotkan karena harus mempunyai keterampilan khusus, dan biaya yang dianggap mahal dan tersitanya waktu penelitian. Antropologi visual adalah bentuk lain dari antropologi yang lebih tepat untuk menggambarkan tema-tema tertentu, mempunyai metode, teori, bentuk pengetahuan yang dihasilkan, dan sistem validasi tertentu yang tidak bisa ditukar kesahihannya oleh sisitem validasi yang lain (MacDougall, 2006:268).
Analisis data visual fotografi yaitu bagaimana kita menggunakan fotografi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, para antropolog yang menggunakan antropologi visual dalam menyajikan hasil etnografinya dituntut menguasai dasar-dasar penggunaan alat-alat teknologi audio dan visual agar dalam hasil etnografinya unsur audio, visual dan antropologi dapat dirasakan oleh orang yang melihatnya. Subjek foto tidak boleh diatur dan ditata berdasarkan keinginan pemotret. Fotografi menampilkan apa yang kita lihat lebih objektif sehingga dapat dijadikan bukti empiris. Untuk itu, kita harus memilah-milah mana etnografi yang menempatkan diri sebagai fotografi yang naturalistic dan yang bukan.
Cukup simple artikelnya, tapi bagus juga.
mkakasih 😀