Review Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-nilai dan Etika Masyarakat Jawa

Tulisan ini merupakan Tugas Mata Kuliah Sosiologi Politik semester 5

Dalam jurnal yang ditulis Nugroho Trisnu Brata dijelaskan bahwa Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta  sebagai simbol kebudayaan Jawa yang identik dengan kebudayaan yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis, dan aristokratis. Citra sebagai masyarakat Jawa sering digambarkan lemah gemulai dengan perilaku dan bahasanya yang halus. Tari-tarian dari kedua Kraton Jawa sering menjadi potret atau gambaran budaya Jawa yang halus dan penuh tata karma. Tetapi pada masa lalu  masyarakat Jawa adalah etnis yang keras dan menjadi “bangsa” penakluk. Budaya memiliki peran atau fungsi sebagai penuntun, pengarah, atau pemaksa bagi masyarakat. Nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa diintegrasikan ke dalam 3 prinsip oleh Frans Magnis Suseno (1993) yaitu hormat, rukun, dan isin.

Hadirnya VOC ke dalam lingkaran kekuasaan Mataram dengan membantu Mataram mengusir pemberontakan pasukan Trunojoyo, maka Mataram memasuki babak baru. Kekuatan asing VOC selalu mewarnai setiap konflik di istana dan setiap pengangkatan raja baru. Termasuk perjanjian Giyanti tahun 1755 M yang membelah kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Masuknya kekuasaan kolonial Hindia Belanda merusak sistem kekuasaan Mataram. Tanah Jawa kembali diwarnai kekerasan dan peperangan setelah adanya Perjanjian Giyanti yaitu Perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1825 M, yang kemudian diikuti oleh suatu perubahan lagi. Setelah perang itu padam yang dibantu oleh Belanda, seluruh Jawa berada di bawah kontrol Belanda sebagai imbalan karena telah membantu memadamkan pemberontakan.

Pada tahun 1998 terjadi dua peristiwa di Jalan Solo dan di jalan sekitar Wirobrajan Kota Yogyakarta, menjadi saksi munculnya Sultan HB X dalam pentas gerakan masa mewujudkan reformasi. Dengan munculnya Sultan HB X pada peristiwa reformasi itu dapat mencegah kekerasan dan amok masa di Yogyakarta. Ketika arus reformasi mengalami stagnasi , jalan buntu, para aktivis gerakan reformasi di Yogyakarta memutar otak untuk menyiasati gerakan masa 20 Mei 1998 yang juga akan diselenggarakan di Yogyakarta agar berlangsung sukses dan damai.

Brata (2003) mengatakan bahwa, ketika sudah terjadi kesepakatan antara pihak Kraton dengan Sebagian elemen gerakan masa bahwa tempat berlangsungnya gerakan masa 20 Mei 1998 adalah Kraton Yogyakarta dan akan dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono X, muncul istilah pisowanan ageng untuk menamai gerakan masa itu.

Hadirnya simbol-simbol bermakna dalam gerakan pisowanan ageng dapat dikaitkan dengan konteks alus dan kasar. Menurut James T. Siegel kategori alus dan kasar merupakan salah satu hierarki dalam masyarakat Jawa yang dapat terwujud dalam bahasa dan perilaku. Tentang alus dan kasar ini penulis mengkaitkan dengan cerita wayang  dan mengisahkan pertarungan antara Arjuna dan Buto Cakil. Dimana perang tersebut ternyata adalah simbol kekerasan yang berujung pertarungan antara dua kutub yang tidak pernah akrab, yaitu kutub  alus dan kasar. Arjuna adalah simbol watak dan perilaku alus, sedangkan Cakil adalah simbol watak dan perilaku kasar.

Watak alus adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, tapa brata, dan usaha yang sungguh-sungguh dan serius. Sedangkan watak kasar adalah watak dasar manusia sehingga untuk memilikinya tidak perlu usaha apa pun. Secara hierarki maka alus itu derajatnya lebih tinggi daripada kasar. Watak alus identik dengan para satria, bangsawan, dan priyayi. Sedangkan watak kasar identik dengan wong cilik, anak muda, dan wong sabrang (orang asing).

Hemat kata-kata dan gerak tubuh juga bias dilihat sebagai hirarki dalam kebudayaan Jawa dan terungkap di dalam paribasan (analogi) Jawa. “Dupak bujang, semu mantra, esem bupati”. Ungkapan dupak bujang yaitu harus memakai “tendangan kaki” digunakan oleh pemuda atau wong cilik dalam berkomunikasi dengan menggunakan kekerasan atau kekasaran fisik. Semu mantra, yaitu komunikasi yang dilakukan oleh seorang mantra atau priyayi menengah. Di mana dia harus nyemoni atau menyindir kepada orang lain maka komunikasi baru akan berjalan. Selanjutnya esem bupati, komunikasi yang paling tinggi yang dilakukan oleh seorang bupati. Priyayi tinggi yang posisinya di bawah Raja untuk berkomunikasi dia cukup mesem.

Kemenangan abadi watak alus terhadap watak kasar, satria atas buto, terekspresikan dalam jargon Jawa “suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti”. Artinya sampai kapan pun sifat angakara murka, kejahatan, kasar, buto atau kekuatan fisik pasti bias dikalahkan oleh pangastuti yaitu keluhuran budi, kebaikan alus, satria, dan kuasa atau kesaktian.

Kedatangan masa yang berbondong-bondong melewati jalan raya kota Yogyakarta untuk mendatangi pisowanan ageng 20 Mei 1998 di Kraton Yogyakarta, sebenarnya memiliki potensi berbuat kekerasan dan anarki. Potensi bangkitnya nafsu amarah dan perilaku kekerasan kemudian bias diantisipasi atau direndam dan dijinakkan dengan model gunungan garebeg, di mana masa yang dating kepada Sultan diberi kesempatan untuk menggrebeg makanan sebagai hadiah untuk dimakan bersama. Dengan makan bersama dapat menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga tumbuh rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing yang terlibat.

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah SosAnt. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: