KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM KOGNITIF DAN KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM SIMBOLIK

Postingan ini merupakan tugas mata kuliah Teori Budaya pada semester 4. Didalamnya berisi tentang kebudayaan sebagai sistem kognitif dan kebudayan sebagi sistem simbolik.

Pemahaman mengenai konsep kebudayaan sangat beraneka ragam. Keanekaragaman konsep kebudayaan di kalangan ahli antropologi seolah-olah menunjukkan tidak adanya kesamaan pemahaman atau pemikiran dasar yang menjadi pegangan bersama. Anggapan itu nampaknya tidak sepenuhnya benar, mengingat permasalahan kebudayaan yang sangat beraneka ragam, dan usaha menetapkan kesamaan pemahaman atau pemikiran hanyalah merupakan salah satu permasalahan itu. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa  kebudayaan memang bersifat fenomenal, karena kebudayaan tampak sebagai suatu mosaik yang beraneka warna, sesuai dengan keanekaragaman  masyarakat  manusia sebagai  pendukung  kebudayaan. Apabila kebudayaan dipelajari secara ilmiah, maka  akan nampak sifat kebudayaan yang fenomenal berkaitan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Hasil-hasil penelitian lapangan ahli-ahli antropologi mengenai kebudayaan telah melahirkan berbagai pandangan dan kesimpulan yang memperkaya perkembangan teori kebudayaan. Oleh karena itu adanya perbedaan pandangan mengenai makna kebudayaan dalam kehidupan masyarakat yang dinamis, yang telah menimbulkan pertentangan ilmiah di kalangan ahli-ahli antropologi, tidak akan pernah hilang.

Salah satu golongan atau aliran teori kebudayaan yang sangat besar pengaruhnya dalam teori antropologi adalah  idealisme, dengan beberapa cabang alirannya, antara lain  kognitif  dan  simbolik.  Ward Goodenough, sebagai tokoh antropologi pengemuka aliran kognitif, melihat kebudayaan sebagai suatu sistem yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang ada dalam pikiran individu-individu dalam suatu masyarakat. Bagi  Clifford Geertz, kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik. Seperti halnya bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotik yang memuat simbol-simbol, dan yang berfungsi mengkomunikasikan dan mengisyaratkan makna-makna dari pikiran antar individu. Oleh karena itu, bagi Geertz, kebudayaan merupakan obyek, tindakan, atau peristiwa dalam masyarakat yang fenomenal dan yang dapat diamati, dirasakan, serta dipahami.

Kebudayaan Sebagai Sistem Kognitif

Budaya dipandang sebagai sistem pengetahuan, menurut Ward Goodenough kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu fenomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan fenomena material di atas.

Goodenough mempertentangkan pandangan ideasionalnya tentang kebudayaan dengan pandangan yang digunakan oleh orang-orang adaptionist, yang melihat kebudayaan sebagai “pola kehidupan dalam satu komuniti, yaitu: kegiatan yang terjadi berulang kali secara ajeg dan susunan materi dan sosial. Goodenough memandang budaya secara epistemology berada dalam alam yang sama dengan bahasa, sebagai aturan-aturan ideasional yang berada di luar bidang yang dapat diamati dan diraba. Dengan konsep yang seperti ini, bahasa adalah suatu subsistem dari budaya, dan peneliti antropologi kognitif berharap atau menduga bahwa metode-metode dan model-model linguistic (seperti : yaitu analisa komponential, emic lawan etic. Kerangka eliticing, dan lain-lain) juga memadai untuk digunakan terhadap bidang budaya yang lain.

Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlampau jauh di luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah semantik yang terikat secara terbatas dan ketat. Antropologi kognitif bahkan hanya menghasilkan beberapa  sketsa tentatif tentang struktur dan organisasi budaya sebagai sistem kognitif menyeluruh.

Asumsi dasar kebudayaan sebagai sistem kognitif adalah memandang kebudayaan sebagai kognisi manusia atau melihat kaitan antara bahasa, kebudayaan dan kognisi manusia. Kajian Antropologi kognitif adalah bagaimana manusia memandang benda, kejadian, dan makna dari dunianya sendiri. Goodenough memandang bahwa kebudayaan bukanlah fenomena material (benda, perilaku, emosi), namun lebih menjadi bagaimana cara pengaturan hal-hal tersebut. Dalam kajiannya, Antropologi kognitif membagi menjadi 2 bahasan yaitu:

  1. Bahasa sebagai bahan mentah kebudayaan, artinya kemunculan tiap kebudayaan material dalam kehidupan manusia didahului oleh lahirnya persepsi, naluri, fikiran manusia yang dapat dilihat dari bahasa mereka.
  2. Kebudayaan adalah kognisi manusia. Artinya seluruh kebudayaan material yang dihasilkan manusia pada dasarnya hanyalah akibat dari kemampuan pikiran manusia dalam berkreasi.

Penelitian Antropologi kognitif atau cara pandang antropologi kognitif dititikberatkan pada Bahasa, Budaya, dan Kepribadian dan Budaya→ Analisa kosa kata dan analisis karakter manusia→ Perubahan kebudayaan. Misalnya, cara berpikir masyarakat tradisional berbeda dengan cara berpikir masyarakat modern. Cara berpikir masyarakat tradisional banyak mengandalkan analogi-analogi, sedangkan cara berpikir masyarakat modern lebih banyak mengandalkan cara berpikir ilmiah yang memerlukan bukti-bukti untuk mendukungnya.

Kebudayaan Sebagai Sistem Simbolik

Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang ditunjang satu aliran kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. Geertz berada pada puncak pemikirannya ketika dia menciptakan grand theory dalam menafsirkan bahan-bahan etnografi yang khusus. Dia menemukan kekhususan tersebut dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya: dalam satu persabungan ayam, dalam satu upacara kematian, dalam satu peristiwa pencurian biri-biri. Bahan analisisnya terikat dengan manusia-manusia di dalam tingkah laku simbolik mereka.

Bagi Geertz, makna tidak terletak di “dalam kepala seseorang”. Simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Symbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private).

Kata Geertz, budaya adalah seperti kota tua. Kota yang biasanya dikaji oleh orang-orang antropologi. Tidak seperti kota modern, kota ini hanya punya sedikit kota-kota satelit yang terencana dan itu kata Geertz, membuat usaha orang antropologi untuk menemukan sektor-sektor yang sama dengan kota sateliy filsafat, hukum dan ilmu pengetahuan yang terencana dengan rapi di kota ideasional tersebut menjadi sedikit semu. Di tempat lain Geertz mengingatkan mengenai bahaya dari penganalisa yang membuat peta satu budaya dengan cara tertentu sedemikian rupa melebih-lebihkan dan merapi-rapikan integrasi dan konsistensi internalnya— di mana nyatanya hanya integrasi kecil dan seringkali yang ada hanyalah ketidakadaan hubungan dan kontradiksi internal.

Bagi Clifford Geertz, kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik. Seperti halnya bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotic yang memuat symbol-simbol, dan yang berfungsi mengkomunikasikan dan mengisyaratkan makna-makna dari pikiran dari pikiran antar individu. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama.

Seperti Geertz, Schneider mulai dengan satu kerangka kerja aliran Parsons, tetapi ia juga telah mengembangkannya dalam satu cara tersendiri (lebih banyak mendekati pandangan Dumont). Budaya menurut Schneider adalah satu sistem symbol dan makna. Budaya merangkum kategori-kategori atau “unit-unit”, dan “aturan-aturan” tentang hubungan sosial dan perilaku. Kedudukan epistemologi unit-unit kultural atau “things” tidak tergantung pada sifatnya yang dapat di observasi. Baik hantu  maupun orang mati adalah kategori kultural.

Sebagaimana diperjelas oleh analisis kekerabatan Schneider, dia percaya bahwa analisis tentang budaya sebagai sistem symbol dapat menguntungkan kalau dilakukan secara bebas di luar “bentuk-bentuk peristiwa yang actual” yang dapat diamati oleh seseorang sebagai kejadian dan tingkah laku. Katanya ada pertanyaan-pertanyaan penting yang harus diajukan tentang hubungan bidang symbol kultural dan bidang kejadian yang dapat diamati sehingga seseorang dapat “menemukan bagaimana bangunan-bangunan kultural muncul, hukum-hukum yang mengatur perubahan mereka, dan dalam cara-cara apa saja mereka dihubungkan secara sistematis dengan bentuk-bentuk peristiwa kehidupan yang actual”.

Schneider membandingkan pendekatannta kepada analisis kebudayaan dengan Geertz. Ia memandang yang terakhir sebagai terikat—sebagaimana Parsons sendiri oleh asumsi Weber: suatu bidang “sistem sosial” (hubungan persaudaraan atau agama atau ekonomi atau politik) dipahat, dan bidang kebudayaan yang berkaitan dianalisis. Suatu analisis yang benar-benar bersifat kebudayaan dapat menelusuri antarhubungan antara lambing, dasar pemikiran dan azas dengan baik bilamana mereka memimpin; dan sebuah peta sistem kebudayaan sebagai tingkat terpisah.

Clifford Geertz mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

Kebudayaan sebagai sistem simbolik misalnya bendera kematian, setiap daerah berbeda-beda. Ada yang disimbolkan dengan warna kuning, putih, hijau, tergantung dengan kebudayaan daerah tersebut. Bagaikan suatu kalimat, suatu symbol langsung dapat dibaca maknanya, atau karena sebab akibat, akan tetapi adakalanya suatu symbol tidak berdiri sendiri sehingga maknanya bida di baca ketika ia muncul bersama dengan symbol-simbol lain atau sesuai konvesi masyarakatnya (lambang).

Geertz memfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.

Menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal uatama, yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh symbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah symbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.

Sumber           :

https://antromedan.blogspot.co.id/2011/04/interpretivisme-simbolik.html (diunduh tanggal 1 Juli 2017)

https://charlie-muhammad.blogspot.co.id/2011/10/budaya-sebagai-sistem-simbol.html(diunduh tanggal 30 Juni 2017)

https://gdeandip.wordpress.com/2013/03/06/antropologi-simbolik/(diunduh tanggal 1 Juli 2017)

https://www.kitaju.ga/2012/04/bidang-ilmu-antropologi.html(diunduh tanggal 30 Juni 2017)

Keesing, M.Roger. Teori-Teori Tentang Budaya. Antropologi. No. 52

Tri, Nurcahyo A. Bahan Ajar Etnografi Indonesia. 2012. Departemen Antropologi FISIP Unair.

Tugiman, Hero. Teori Budaya. 1998. Bandung

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah SosAnt. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: