Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Jagung Dan Hubungan Patron-Klien di Desa Ngaliyan Kecamatan Bejen Kabupaten Temanggung

Postingan ini merupakan tugas mata kuliah Sosiologi Politik pada semester 5. Berisi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat petani jagung dan hubungan patron-klien di Desa Ngaliyan.

Desa Ngaliyan merupakan sebuah desa di Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kendal. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani lahan basah dan lahan kering. Kebanyakan masyarakatnya menanam jagung. Lahan kering yang digarap oleh petani sebagian besar milik perhutani.

Komersialisasi pertanian menyebabkan timbulnya ketimpangan sosial-ekonomi di kalangan masyarakat petani pedesaan dan berkembangnya kelas agraris (Scott 1976). Lebih lanjut dikatakan Scott bahwa intensifikasi pertanian dan pasar memarginalkan petani miskin. Mellor (1985), modernisasi pertanian meningkatkan produksi pertanian dan memunculkan peluang kegiatan ekonomi di luar pertanian seperti berdagang. Kelompok petani-pedagang biasanya menjadi petani maju di desa dan umumnya mempunyai kegiatan ekonomi di luar pertanian.

Pola hubungan patron klien terjadi antara petani kaya dan petani miskin, petani dan investor dari luar desa, petani dan pembeli hasil pertanian. Hubungan patron klien karena untuk mendapatkan keamanan subsisteni, mengakses pasar, mendapatkan pekerjaan dan modal. Di sisi lain, patron mengharapkan ketersediaan tenaga kerja, suplai hasil pertanian, dan mengembangkan kegiatan ekonomi.

Hubungan patron klien antara petani dan pembeli hasil pertanian umumnya kuat dan berlangsung lama, sementara hubungan patron klien antara petani kaya dan miskin tidak kuat karena klien berusaha untuk mandiri. Fenomena hubungan patron klien dapat di pandang sebagai eksploitasi karena ada kewajiban jkien untuk memberikan komisi penjualan hasil pertanian. Patron mempunyai peranan besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi di  pedesaan karena memberikan subsistensi, capital, membuka kesempatan kerja di desa, dan mendistribusikan hasil pertanian.

Persoalan petani umunya bagaikan mata rantai yang tidak ada putusnya, terperangkap dan kesulitan yang memerlukan pertolongan. Di sisi lain sejumlah persoalan petani dipandang sebagai peluang yang menguntungkan individu tertentu dengan memposisikan sebagai penolong. Adanya ketimpangan dalam sosial-ekonomi, pasar, dan modal menyebabkan timbulnya hubungan patron-klien di kalangan petani Desa Ngaliyan.

Menurut Scott (1972) patron-klien adalah hubungan khusus antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, seorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dia miliki untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukan sosialnya (klien). Hubungan patron-klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal pribadinya, dan saling mempercayai. Ciri-ciri hubungan patron-klien, menurut Scott (1972) adalah (1) terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran; (2) bersifat tatap muka; dan (3) bersifat luwes dan meluas.

Popkin (1979), pola hubungan patron-klien merupakan tindakan monopoli dan eksploitasi karena patron menghalangi kliennya berhubungan dengan pasar. Hubungan patron-klien di Desa Ngaliyan dapat dilihat pada kehidupan petani jagung. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar petani jagung berasal dari ekonomi lemah, tidak memiliki spesialisasi keterampilan, untuk mendapatkan jaminan subsistensi, mengatasi kelangkaan uang tunai saat krisis, mengakses pasar, modal, dan kebutuhan tenaga kerja secara kontinyu.

Pola hubungan patron-klien yang terjadi antara petani dan pemberi modal dapat digambarkan pada bentuk-bentuk hubungan kerja sama yang terjadi saat proses penanaman dan pemasaran. Pada kenyataannya petani kecil hanya memiliki modal terbatas, dan dalam proses penanaman dan kelangsungan pemasaran jagung petani membutuhkan bantuan patron berupa modal dan pemasaran sebagai imbalan telah memberikan modal kepada petani. Hal ini terjadi karena faktor kekuasaan dan modal yang dimiliki oleh patron. Kondisi inilah yang menjebak petani kecil untuk membuat kompensasi dengan menjual hasil panennya kepada pemberi modal yang akhirnya memposisikan pemberi modal sebagai patron.

Relasi patron-klien ini bersifat timbal balik. Jika salah satu pihak merasa pihak lain tidak memberikan seperti yang diharapkan, ia dapat menarik diri dari relasi patron-klien tanpa ada sanksi. Dalam hal ini, di Desa Ngaliyan jika penerima modal (klien) tidak menjual hasil panennya kepada pemberi modal (patron) maka bisa jadi untuk modal selanjutnya tidak diberikan, sebaliknya jika pemberi modal membeli hasil panen tidak sesuai dengan yang diharapkan maka penerima modal dapat beralih pemberi modal lainnya.

Dengan adanya hubungan patron-klien tersebut mengakibatkan pemasaran hasil panen pada masyarakat petani jagung tidak luas, karena betapa sulitnya para petani untuk menjual hasil panennya. Dimana petani harus menjual hasil panen kepada pemberi modal. Dalam membeli hasil panen para petani umumnya lebih murah dari harga di pasar, padahal jika hasil panen di jual di pasar maka keuntungannya akan lebih banyak dibanding dijual di patron itu. Pernah ada juga patron yang menahan hasil panen para petani karena harga pasar turun, padahal petani membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya.

Daftar Pustaka

Nurcahyany, Nia Arifin. 2012. Hubungan Patron Klien Petani-Blandang di Wilayah          Maesan (Studi Deskriptif Petani Tembakau di Wilayah Maesan, Kabupaten             Bondowoso). Skripsi: Universitas Jember.

Rustinsyah. 2011. Hubungan Patron-Klien di Kalangan Petani Desa Kebonrejo. Vol 4, No           2

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah SosAnt. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: