Goresan Tinta Merah

kala itu, sang mentari meredup. Warna cerah tak lagi terlihat oleh mata indahku. Apa yang ada disekelilingku tak lagi nampak jelas dihadapanku. Jemari tanganku tak lagi mampu menggenggam apapun. Tiada dayaku untuk berdiri tegak kembali. Hanya bisa terdiam, diatas ranjam putih di sebuah ruang sunyi. Sungguh semua ini menyiksaku.
Seorang wanita paruh baya datang menghampiri diriku yang tak berdaya, dengan sebuah mangkuk kecil ditangannnya. Dialah ibuku, yang tak pernah berhenti menyayangiku seperti apapun keadaanku. Dia duduk di kursi kusam di samping ranjamku, sesuap bubur dia berikan padaku. Ku rasakan begitu besar kasih sayang yang dia berikan padaku. Tak terasa mangkuk kecil yang ada di tangannya kini telah kosong tak berisi. Dia pun memintaku untuk beristirahat kembali. Kulihat dia beranjak meninggalkanku bersama kesunyian.
Kini aku hanya berteman dengan kusam, dan sunyi. Terlintas dibenakku kejadian dua minggu lalu yang menjadi sebab aku seperti saat ini. Siang yang begitu terik, dan mentari terasa tepat berada diatas kepalaku membuatku merasa pusing. Mataku tak lagi bisa memandang jelas hingga sebuah mobil melintas dan menabrak diriku hingga tersungkur di badan jalan. Darah pun bercucuran dari anggota tubuhku. Sebendel kertas tugas putih bersih dengan tulisan tanganku kini ternoda dengan merahnya darah itu.Tinta hitampun berganti warna merah olehnya.
Sungguh semua itu tak pernah terhapuskan dari ingatanku.