Nov 22

 

Individu-individu beraneka ragam yang berkumpul di suatu wilayah akan menjadi masyarakat. Terbentuknya individu yang berkumpul hingga menjadi suatu masyarakat bukan tanpa sebab. (Kimbal Young dan Raymond, W : 1959) mengutarakan bahwa interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.[1]  Interaksi yang terjadi dalam masyarakat meliputi beberapa bidang kehidupan seperti  sosial, agama, ekonomi dan lainnya. Dalam bidang ekonomi secara umum dikenal dua pola kegiatan ekonomi yaitu kegiatan ekonomi pasar dan non pasar. Kegiatan ekonomi pasar sederhananya dapat dikatan kegiatan tukar-menukar/jual-beli yang di dalamnya menitik beratkan pada permintaan dan penawaran yang disertai alat tukar seperti uang.

Sedangkan menurut Karl Polanyi pada beberapa masyarakat terdapat juga kegiatan ekonomi non-pasar yakni kegiatan tukar-menukar barang atau jasa yang di dalamnya menitikberatkan pada aspek sosial-ekonomi. Polanyi (1968) mengklasifikasi kegiatan ekonomi terbagi menjadi resiprositas, redistribusi dan pertukaran pasar.

Sahlins membagi jenis resiprositas menjadi tiga macam: resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), resiprositas negatif (negative reciprocity). Klasifikasi ini didasarkan pada harapan atau motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transmisinya Dalam pembahasan ini hanya akan mengulas resiprositas umum beserta sedikit ulasan mengenai transformasi bentuknya saat ini.

Kegiatan ekonomi non-pasar berupa resiprositas sampai saat ini masih dapat ditemukan dalam tipe masyarakat baik kota, desa, industri, tradisional atau kesukuan (tribal) dalam bentuk yang berbeda-beda. Pada masyarakat pedesaan khususnya daerah Jawa Timur (bagian tengah) dikenal dengan istilah rewang/biodo yang dapat dijadikan contoh bentuk resiprositas. Rewang adalah kegiatan membantu tetangga ketika tetangga tersebut sedang melaksanakan hajatan atau acara keluarga seperti selamatan, kenduri, khitanan (sunatan) atau pernikahan. Biasanya para tetangga mempunyai kesadaran sosial untuk membantu orang yang berhajat tadi. Biasanya beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan si empunya hajat akan berdatangan ke rumahnya untuk membantu memasak atau membuat kue beberapa hari sebelum hari H. Tetangga yang rewang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Untuk para laki-laki membantu menata perabotan (menata kursi, meja, menebangi pohon), untuk para wanitanya membantu memasak, membuat kue dan lain sebagainya. Rewang secara lebih spesifik dapat digolongkan ke dalam resiprositas umum. Hal ini dikarenakan dalam rewang terdapat beberapa unsur yang masuk dalam karakteristik resiprositas umum. Pertama, motif rewang bersifat moralis karena berdasar pada kewajiban, keterikatan jiwa dan menjaga solidaritas sosial. Jika ada salah satu tetangga yang tidak rewang maka akan merasa bersalah karena tidak bisa melaksanakan kewajiban sosianyal, selain itu akan timbul rasa sungkan pada tetangganya yang memiliki hajat. Selain itu ketentuan membalas jasa hanya pada waktu tetangga memiliki hajat. Kedua, balas jasa rewang terjadi dalam periodisasi yang lama, tetangga yang pernah rewang akan menunggu balas jasa rewang tetangga yang dulu pernah dibantu, begitu pula sebaliknya. Ketiga, hubungan antar tetangga di desa terjalin secara lebih personal meskipun biasanya tidak mempunyai hubungan darah. Beberapa penyebab ini terjadi karena mereka sering berinteraksi langsung, bangunan rumah tidak terhalang pagar mati, sering bertukar makanan dan komunikasi verbal lain.

Resiprositas umum di masyarakat pedesaan menjadi kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Hal ini berarti jika ada tetangga yang tidak bisa rewang atau membalas jasa rewang yang pernah diterima maka gunjingan atau omongan dari tetangga sekitar akan memainkan fungsi kontrol sosialnya dalam masyarakat tersebut. Namun, yang perlu dijadikan catatan tidak ada sanksi hukum jika seseorang tidak dapat melakukan timbal balik dengan baik dalam resiprositas umum ini.

Rewang, saat ini sudah mengalami perubahan pola dari sebelumnya.

Setahun lalu saya melihat seorang ibu di desa saya yang akan mengadakan hajat khitan putranya mendatangi beberapa tetangga yang rumahnya masih tergolong dekat. Kedatangan ibu tersebut bermaksud meminta tolong agar nanti saat akan melangsungkan hajatnya dibantu di bagian dapur untuk menanak nasi dan membuat kue. Setelah terlaksana dan acara berakhir tetangga yang tadi rewang diberi uang sebesar Rp. 50.000,-.

Fenomena seperti ini menggambarkan dengan jelas bahwa resiprositas umum mengalami transformasi pola. Jasa yang disumbangkan dalam rewang sudah dihargai tidak hanya dengan balas jasa tapi juga dengan materi berupa uang. Adanya transformasi pola itu tentu disebabkan masuknya pengaruh pasar (uang) dalam masyarakat pedesaan. Masyarakat sudah mengenal budaya materi berupa uang. Pengaruh uang menjadi tangan rahasia (invisible hand) yang tidak disadari pengaruhnya oleh masyarakat. Uang menjadi hal yang paling krusial dalam kehidupan saat ini. Sehingga rasa empati pembalas jasa seperti rewang juga dirupakan uang. Meskipun faktor uang tidak secara drastis mengubah pola tapi terdapat beberapa karakteristik resiprositas umum yang bergeser dari sebelumnya

One Response to “RESIPROSITAS UMUM DALAM MASYARAKAT DESA”

  1. masuk dalam kategori apa mba?

Leave a Reply