Nov 28

Parsons menunjukan disini terdapat keharusan,sehingga agama merupakan suatu lembaga yang perlu didalam suatu masyarakat.Ketakutan akan mati,pemisahan antara cita-cita dan aktualisasinya,ketakutan yang tidak beralasan dan kejahatan yang tidak dihukum,merupakan sebagian kecil kondisi-kondisi tersebut yang membuat agama itu sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi.Dalam pengalaman di Uni Soviet sebagai bukti dimana lembaga sosial semacam itu dibatasi dan tatkala masyarakat berusaha melakukan opercobaan-percobaan diujung pembatasan itu atau diluarnya dan mereka mengalami kegagalan.Parsons mengatakan agama komunisme telah menggunakan tekanan namun didalam kenyataannya penggunaan itu telah melemahkan agama jadi gerakan komunisme telah menguatkan dan memenangkannya.

Sementara Talcott Parsons melihat agama sebagai sesuatu yang melekat pada sistem dan struktur sosial dan penafsiran masing-masing individu, atau yang dikenal dengan Religiusitas. Religiusitas berakar pada kesadaran individu dan kesadaran kolektif.

Pendekatan Parsons lebih dekat pada pendekatan yang digunakan Weber, yakni dengan melakukan pemahaman atau interpretasi atas tindakan sosial individu. Karena inti tindakan sosial bagi Parsons adalah adanya tujuan dan sebagai alat individu untuk bertindak dalam sebuah situasi sosial agama setempat.

Pendekatan sisntesis Parsons dan Berger dapat dilihat dalam teori Dualistik Positivisme. Dualistik positivisme melihat masyarakat dan individu terbentuk secara sendiri-sendiri secara sekaligus. Dualistik positivisme adalah bentuk sinergitas dari teori obyektifisme Emile Durkheim dan teori subyektifisme Max Weber.

Baiklah, kini kita masuk pada pembicaraan seputar fungsi-fungsi sosial agama dan identifiksi sosiologis agama. Fungsi-fungsi sosial agama diantaranya : 1). Fungsi Ganda, fungsi ini dapat mengahsilkan efek positip dan negatif. Positifnya adalah agama dapat membentuk persaudaraan yang lebih erat diantara pemeluk-pemeluknya (integrasi), dan dampak negatifnya adalah agama dapat membentuk konflik diantara penganut-penganutnya. Konflik agama dapat berbentuk konflik teologi, konflik ekonomi-politik (agama tampil untuk menjstifikasi), konflik kpentingan subyektif, dan konflik norma-norma lokal. 2). Fungsi pembentukan dunia, agama menempati tempat tersendiri dalam usaha pembentukan dunia, namun dapat ditemukan pada tiga ddialektik fundamental masyarakat-seperti yang sudah dijelaskan diatas- yakni internalisasi, eksternalisasi, dan obyektivasi. 3). Fungsi transformatif, agama dapat mengubah hakikat sesuatu menjadi sesuatu yang baru. 4). Fungsi kontrol sosial, dalam hal ini agama berfungsi menyaring nilai-nilai yang ada dan kemudian para pengikutnya bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dipilih. 5). Fungsi kritik atau nubuwah, agama mampu mengkritisi kekurangan-kekurangan dunia sosial melalui perspektif agamis. 6). Fungsi stratifikasi sosial, agama lahir karena adanya penghargaan orang terhadap suatu niali. 7). Fungsi pembentukan, agama menagmbil tempat sebuah ideologi.

Identifikasi sosiologis agama atau cara mengenali tanda-tanda adanya agama, diantaranya : a). Agama sebgai pengalaman pribadi (subyektif); kepercayaan manusia kepada hal-hala yang supranatural (mitos, kosmos,dsb). b). Agama sebagai masyarakat (komunitas); agama dapat berbentuk comunity (sektoral) dan socity (universal). c). Agama sebagai peranata sosial; agama sebagai norma-norma yang dapat menjadi pedoman, pemersatu, dan pengontrol kehidupan. d). Agama sebagai ritual; tatkala agama sangat nampak dalam proses-prose ibadah atau upacara. e.) agama sebagai ideologi.

Kemudian yang terakhir adalah analisis sosial terhadap agama. Ada lima pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisa agama melalui perspektif sosial, diantaranya : pertama, pendekatan struktural-fungsional. Pendekatan struktural fungsional pendekatan ini mengatakan bahwa agama memiliki norma-norma yang kuat (konformitas), dan bercirikan stabil, tidak ada perubahan (statis), organik, dan adanya equilibrium (keseimbangan). Kedua, pendekatan konflik marxian-struktural (non marxian). Pendekatan konflik marxian dikenal sebagai konflik vertikal yakni adanya kelas-kelas sosial (kelas kuasa dan kelas yang dikuasai) dalam masyarakat, sementara pendekatan non marxian dikenal sebagai konflik horizontal yakni adanya kepentingan-kepentingan kelopmpok dalam masyarakat.

Ketiga, pendekatan posmo dan kritik sosial. pendekatan ini melihat adanya dominasi dan hegemoni dalam masyarakat, dan bercirikan adanya kharismatik, adanya proses dominasi dan hegemonni, serta mengajak kearah pemebebasan (empowering/libration). Keempat, pendekatan interpretasi-hermenuitik. Pendekatan interpretatif- hermenuiti melihat pada persoalan yang nyata (manifest) dan laten (fkta). Kelima, pendekatan sintesis-dialektis. Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai teori sintesis, bahwa pendekatan ini dipelopori oleh Tlacott Parsons dan Peter L berger. Parsons menekankan pandangannya pada persoalan tindakan sosial sementara Berger menekankan pandangannya pada persoalan mitos. Pendekatan sintesis-dialektis melihat individu tidak dapat terpisahkan dari sistem dan struktur sosial, sehingga hal ini lah yang dalam pandangan sintesa berfungsi membentuk agama (religiusitas). Secara definitif, Religiusitas sendiri merupakan agama sebagai hasil dari produksi sosial (sistem dan struktur sosial).

Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.

Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia mementaskan dan menolakan kegiatannya menurut norma yang berlaku umum, peranan serta statusnya.

Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang beriteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat teta kelakuan, bersifat konkret terjadi di sekeliling. Dalam hal ini kebudayaan menentukan situasi dan kondisi bertindak, mengatur dengan sistem sosial berada dalam batasan sarana dan tujuan, yang dibenarkan dan yang dilarang. Kemudian agama dengan referensi transendensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan sehingga timbul pertanyaan, apakah posisi lembaga agama terhadap kebudayaan merupakan suatu sistem.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana masalah fungsional dalam konteks teori fungsional kepribadian, dan sejauh mana agama mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Kepribadian dalam hal ini merupakan suatu dorongan, kebutuhan yang kompleks, kecenderungan, memberikan tanggapan serta nilai dsb yang sistematis. Kepribadian sudah terpola melalui proses belajar dan atas otonominya sendiri. Sebagai ilustrasi sistem kepribadian adalah Id, Ego dan Superego yang ada dalam situasi yang terstruktur secara sosial.

Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama dan termasuk konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapitidakmenguntikhakikatapa yang ada di luarataureferensitransendental (istilah Talcott parsons).

Aksioma teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi.

Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifatsakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supra manusiawi dan rukhrowi.

Fungsi agama dibidang sosial adalah fungsi penentu, dimana agama  menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.

One Response to “AGAMA DAN MASALAH MAKNA TALCOT PARSONS”

  1. talcot parson itu siapa ya?

Leave a Reply