Asslamu’alaikum…

Postingan kali ini saya akan membahas tentang drama korea, tapi bukan film atau aktornya ya melainkan dampak dari film kore terhadap pribadi seseorang. Artikel ini merupakan hasil dari mata kuliah teori sosioogi modern. Please sent argumen kamu mengenai artikel ini ke email [email protected] agar ita bisa bertukar pikiran. Selamat membaca…
Beberapa tahun terakhir Indonesia sedang dilanda film-film luar negeri seperti Hollywood, Bollywood, dan drama korea. Sasaranya adalah pada anak-anak hingga remaja. Remaja lebih sering menonton film-film luar negeri dari pada film buatan anak bangsa sendiri. Dalam hal ini drama korea merupakan tontonan favorit remaja. Bahkan remaja zaman sekarang rela berjam-jam di depan computer hanya untuk menonton drama kesukaannya. Bukan tanpa sebab, para remaja ini memilih menonton drama korea karena cerita yang disuguhkan menarik dan susah ditebak, kemudian actor yang beradu acting juga menjadi daya tarik lebih.
Drama korea mulai masuk di perfilman Indonesia sekitar tahun 2000 hal itu merupakan salah satu merambahnya drama korea di Indonesia. Model film yang ditawarkan awal mulanya adalah cerita kerajaan yang rumit. Sehingga para penonton dibuat penasaran dengan kelanjutan dari film tersebut. Kemudian beralih menjadi cerita romantic dan baru-baru ini tentan militer.

Di kalangan pemuda kampus, drama korea merupakan sarana untuk membuang stress kepenatan kuliah. Namun hal itu justru membuat para penontonton drama korea tersebut semakin terlena dengan cerita yang dimainkanya sehingga alasan dasar menonton untuk membuang kepenatan stress menjadi sebuah candu yang sulit diobati. Seorang pecinta drama korea mampu menonton selama berjam-jam tanpa henti. Rasa lapar ataupun kantuk tidak dirasakan, yang diinginkan adalah ingin segera menyelesaikan cerita dramatis dalam film tersebut.

Secara sadar atau tidak menontom drama korea bisa menjadi sebuah kebiasaan atau bahkan kebutuhan. Hal itu membuat ketergantungan yang rumit. Drama korea bahkan mampu menghegemoni pemikiran pemuda dengan mengklaim bahwa serial drama tersebut lebih baik dari pada film Indonesia. Entah itu sebuah strategi pasar dari para pendesain film atau merupakan kebodohan yang tersingkap.

Globalisasi membuat komunikasi dan informasi tidak mengenal batas. Semua dapat diakses menggunakan layanan internet yang saling menghubungkan. Budaya asing atau nilai-nilai asing bebas masuk kedalam negeri, salah satunya adalah film. Indonesia merupakan bangsa penikmat film yang besar terlebih lagi kini film dari korea sudah merajah dipelosok negeri. Anak-anak hingga dewasa menikmati film korea, bahkan ada mahasiswa kampus menjadikan drama korea adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa dipisahkan. Bukan hanya sekedar menonton tapi mereka juga berlatih bahasa korea sambil menonton drama tersebut. Sering dijumpai mahasiswa kampus menggunakan bahasa korea ketika sedang mengobrol apalagi ketika mengobrol dengan sesame pecinta drama korea, obrolan menjadi histeris ketika bercerita tentang alur dan tokoh yang ada didalam drama tersebut.

Eksistensi drama korea menjadi sebuah fenomenal perfilman yang luar biasa. jika dilihat dari awal mulanya drama korea berkembang adalah keinginan dari pihak stasiun televisi untuk meningkatkan rating. Tanpa disadari stasiun televise saling berebut mempertontonkan serial drama korea terbaru. Tujuan komersial ini melupakan bahwa nilai-nilai yang masuk merupakan sebuah ancaman yang besar. Hal ini mampu menghilangkan karakteristik anak bangsa, seakan-akan menghegemoni bahwa drama korea merupakan film terbaik dibandingkan dengan film anak bangsa sendiri. Seperti yang dikatakan Gramsci bahwa hegemoni mempunyai konsep idiologis yaitu dengan memasukan beberapa konsep lain yang saling berkaitan sehingga proses dominasi semakin dominan (Ainur Rahman:2014) hal itu menyebabkan identitas atau nilai anak bangsa menjadi bias.

Bukan hanya dapat dilihat dari sisi eksisnya namun drama korea ini membawa pengaruh besar teradap penontonya. Pemikiran seseorang dapat terpengaruhi oleh serial ini. Banyak alur atau cerita yang tidak sesuai dengan budaya bangsa, misalnya drama romantic yang menyajikan hubungan seksual antara actor perempuan dan laki-laki merupakan sah dilakukan dikorea karena memang di korea sana merupakan suatu program pemerintah untuk alas an kependudukan. Hal ini sangatlah tidak sesuai dengan keadaan di indonesai yang saat ini sedang disibukan dengan maslaha jumlah penduduk besar.
Drama korea merupakan candu yang lebih berbahaya dibandingkan dengan narkoba. Drama ini membuat para penontonya tidak melakukan kegiatan apapun tanpa makan dan tidur. Seseorang akan terus ditimbulkan rasa penasaran keberlajutan dari cerita tersebut. Para penonton seakan dibuat tidak berdaya. Bahkan seorang perempuan china berumur 20 tahun mengalami kerusakan parah pada matanya atau setengah buta setelah ia menonton 18 episode drama korea dimana per episode berdurasi satu jam.

Globalisasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari terlebih lagi disokong oleh kemajuan teknologi yang semakin canggih. Film yang merupakan salah satu keluaran dari teknologi ini tidak serta-merta membawa dampak yang positif. Masuknya film-film asing harus menjadi pengawasan, bukan hanya dilihat dari segi komersial namun lihatlah hasil internalisasi dari nilai-nilai budaya luar terhadap anak bangsa. Drama korea yang mempunyai alur cerita menarik serta kekhasanya perlu ditinjau ulang, jangan jangan itu adalah permainan orang-orang besar yang ingin mengaburkan identitas budaya bangsa Indonesia.