Jawa merupakan daerah yang penuh dengan kearifan lokal. Pandangan hidup yang dijunjung tinggi. Milai-nilai yang sudah mendarah daging dari generasi ke generasi. Walaupun dizaman yang sudah modern seperti sekarang ini, nilai-nilai jawa masih tetap dipegang teguh walaupun terkadang orang yang menjalankannya tidak menyadarinya. berikut saya akan mengulas kehidupan orang jawa yang masih berpegang teguh terhadap nlai-nilai orang jawa.

Dalam kehidupan bermasyarakat, orang jawa mempunyai konsep menghormati. Baik dari segi perilaku dan tata bahasa. Orang jawa sangat memperhatikan dua hal tersebut. Misalnya dari segi tata bahasa dapat menunjukan perbedaan hierarki, usia, status, jabatan, kedudukan dan kekerabatan. Tidak sembarangan seseorang berbicara dengan orang lain. Orang jawa menyebutnya dengan tatakrama. Ketika seorang yang mempunyai jabatan tinggi kepala desa misalnya, maka dalam berperilaku dan bertutur kata akan berbeda dengan orang yang tidak mempunyai jabatan tinggi. Jika di desa saya, hal ini bisa dilihat dengan menggunakan simbol jempol untuk mempersilahkan dan diikuti dengan badan yang agak membungkuk. Secara sadar atau tidak masyarakat sudah mengkonstruksikan bahwa hal itu harus dilakukan untuk menghormati. Kondisi tersebut juga berlaku bagi orang yang sudah berusia tua atau sesepuh desa.

Anak-anak diajarkan untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat agar sang anak dapat menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar yaitu hidup rukun. Ketika berbicara dengan sesame usianya diperbolehkan menggunakan bahasa ngoko namun kepada yang lebih tua maka diwajibkan atau dianjurkan menggunakan bahawa krama inggil atau bahasa Indonesia kalau sekarang. Jika tidak begitu maka anak tersebut akan dikenakan sangsi sosial seperti cemohoan atau gossip dan dianggap tidak ngajeni (menghormati).

Orang jawa terkenal dengan filosofi hidupnya. Filosofi tersebut dianggap sebagai tuntunan hidup. Salah satunya adalah sapa nandur bakalan ngunduh, artinya siapa yang menanam dia yang mendapatkan hasilnya. Ketika melakukan kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan begitu pula sebaliknya. Siapa yang menanam kebaikan maka hasil yang diperoleh juga kebaikan,baik dibalas secara langsung ataupun dibalas dalam jangka panjang yaitu anak cucu. Filosofi ini tentunya relevan dengan masa sekarang. Hal ini seperti prinsip kehidupan yang melekat pada hidup manusia. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa lihat penanaman kaakter dari setiap keluarga kepada anaknya. Misalnya seorang ayah mengajarkan kebersihan, pola makan, dan olahraga teratur maka nantinya anak menjalani hidup sehat. Contoh lain, orang melakukan kebaikan karena ingin mendapat kebaikan pula. Ketika membantu orang lain dengan ikhlas, orang jawa percaya bahwa kebaikan pula yang akan diterimanya. Hal itu juga bukan alasan untuk dirinya sendiri namun juga kebaikan bagi anak dan cucunya nanti. Keberkahan dalam menolong orang lain. Saya mengistilahkan itu dengan hukum karma. Ada balasan dari Sang Maha Kuasa mengenai perilaku seseorang terhadap orang lain. Seperti cerminan kehidupan seseorang. Filosofis ini mengajarkan kita untuk menanamkan kebaikan dan melakukan kebaikan serta menghindari perbuatan buruk.

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Dalam hal ini terdapat istilah keseimbangan antara makrokosmos dan micrososmos. Makrokosmos adalah kekuatan diluar kekuatan manusia, yaitu kekuatan terbesar yang misterius. Dalam hal ini saya menyebutnya dengan kekuatan Tuhan (adikodrati). Sedangkan kekuatan microkosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Sebuah tindakan sesorang terhadap kehidupan. Ketika dua kekuatan tersebut telah seimbang maka seseorang akan menjalani hidup benar dan talah bersatu dengan alam.

Filososfi jawa juga mengajarkan untuk tidak sombong terhadap dirinya sendiri karena ada yang lebih memiliki kuasa dari pada dirinya, yaitu kekuatan Gusti Kang Moho Agung. Dalam kehidupan sehari-hari orang jawa diajarkan untuk selalu bersyukur dan tidak sombong atas apa yang diberikan. Hal ini seperti apa yang dikatakan filosofi jawa Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso. Filososfi ini mengajarkan untuk menghargai pendapat orang lain dan tidak menyakiti hati orang lain karena apa yang kita punya. Ketika mempunyai ilmu yang lebih maka lebih baik membaginya kepada yang lain bukan justru menyombongkan diri dengan ilmunya. Secara tidak langsung falsafah ini menekan sebuah konflik dan menghendaki kehidupan yang damai. Kondisi seperti ini masih dapat dijumpai di desa-desa.

Sebenarnya falsafah jawa bukan hanya ditujukan bagi orang jawa namun untuk semua orang karena falsafah ini menekankan untuk menjalin hubungan baik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Manusia diajarkan untuk hidup rukun, yaitu hidup selaras dan harmonis dengan masyarakat. Ketika seseorang telah menyatu dengan alam maka seseorang tersebut juga telah menyatu dengan ajaran Tuhan. Seperti dalam cerita orang jawa mengenai Dewa Ruci yang merupakan sosok perwujudan menyerupai dirinya sendiri. Cerita itu mengajarkan manusia untuk mengingat bahwa Tuhan yang mempunyai kekuatan terbesar dan juga untuk mensucikan manusia bukanlah dengan benda yang mampu menyucikan, namun dengan hati yang berseraah diri kepada Tuhan serta menyatu dengan alam maka diri yang suci akan hadir. Pasrah terhadap kuasa Tuhan.

Unggah-ungguh merupakan pedoman hidup orang jawa dimana perilaku kesopanan dan menghormati dipegang teguh. Unggah-ungguh merupan bagian penerapan dari etika jawa. Menjelaskan bagaimana cara seseorang untuk duduk, berpakaian sopan, bertutur kata dengan orang yang lebih tua, dan sebagainya. Hal semacam itu diatur dalam unggah-ungguh jawa.
Dalam mata kuliah etika dan religi jawa ini, banyak membuka tabir tentang filosofi dan falsafah orang jawa yang tidak disadari namun nyata. Kedua hal tersebut merupakan representasi dari masyarakt jawa. Tujuan utamanya adalah keseimbangan dengan alam dan Tuhan.