Sepanjang jalan menuju Desa Bandengan terdapat banyak sekali ikan-ikan yang dijemur menggunakan papan kayu yang diletakkan di pinggiran jalan. Ikan ini yang nantinya dijual ke pasar sebagai ikan asin. Pusat penjualan ikan bandeng yang sangat terkenal di desa ini adalah bandeng Rozal. Biasanya orang-orang yang datang kesini adalah mereka yang ingin membeli ikan langsung kepada nelayan, lalu mampir ke toko “Bandeng Rozal” untuk membawakan oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

Masyarakat di Desa Bandengan bermata pencaharian homogen, sebagai petani nelayan. Mereka bekerja mencari ikan di laut, yang jaraknya 1-2 km dari tempat tinggal mereka dengan menggunakan perahu yang biasa mereka gunakan untuk bekerja. Jenis ikan yang mereka cari bermacam-macam, udang, cumi-cumi, rajungan, kepiting, bandeng, ikan pedak, pindang, layur, kacangan, sepat, dan lain-lain. Nelayan mulai bekerja pada sore hari hingga pagi hari, biasanya mereka berangkat pukul 16.00 WIB dan pulang pukul 07.00 WIB. Maka dari itu, pada saat siang hari pemukiman nelayan ini sangat sepi, dikarenakan para nelayan yang beristirahat di rumah dan tidak ada yang melakukan pekerjaan pada siang hari. Namun terkadang, ada juga nelayan yang berada di perahunya untuk sekedar mengecek keadaan perahu, mengisi bahan bakar solar, atau menyiapkan perlengkapan lainnya untuk mencari ikan sore nanti, seperti jala, jolang, dsb. Aktivitas pada siang hari bisa dikatakan hampir tidak ada, hanya sepintas terdapat bapak-bapak yang saling membantu memperbaiki perahu salah seorang nelayan, atau sekedar duduk mengobrol sambil minum kopi di gardu kecil yang terdapat di tepi sungai, yang digunakan untuk beristirahat para nelayan. Dalam berlayar mencari ikan, biasanya mereka bekerja sendirian mencari ikan bagi yang memiliki perahu pribadi, atau dengan temannya yang ingin ikut dan menemani mencari ikan, atau ditemani oleh anak laki-laki nelayan tersebut untuk membantu orang tuanya menjala ikan di laut.

Jika musim kemarau atau musim paceklik tiba, nelayan hanya berdiam di rumah. Tidak mencari ikan atau melakukan pekerjaan lainnya. Nelayan di Desa Bandengan ini benar-benar bergantung pada sektor laut, pekerjaan mereka hanyalah mencari ikan di laut. Oleh karena itu, musim paceklik ini juga menjadi suatu masalah bagi nelayan-nelayan di Desa Bandengan. Mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, permintaan pasar akan ikan laut yang tinggi, namun ketersediaan ikan di laut yang tidak menentu di musim paceklik, mengakibatkan kenaikan harga ikan di pasaran.

Ibu-ibu atau istri para nelayan ini kesehariannya hanya menjadi ibu rumah tangga. Sedikit, bahkan bisa dihitung wanita-wanita di Desa Bandengan ini yang bekerja di pasar, atau sebagai ‘bakul’ ikan. Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari suaminya sebagai nelayan. Seperti yang terlihat di lokasi observasi ini, banyak ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan rumah dan terlihat sedang asyik berbincang-bincang. Biasanya di daerah pesisir sering ditemukan pembagian kerja, dimana wilayah laut adalah pekerjaan laki-laki, dan wilayah darat adalah pekerjaan perempuan. Atau dalam kata lain, laki-laki berlayar mencari ikan di laut, perempuan lah yang bekerja menjual ikan hasil tangkapan ke pasar. Namun pada observasi ini ditemukan konsep yang berbeda. Karena di daerah itu sudah terdapat “bakul” yang mendatangi nelayan, jadi para nelayan ini tidak perlu menjual ikan hasil tangkapannya ke pasar.

Pendidikan yang rendah dari masyarakat nelayan di Desa Bandengan ini menjadi faktor dimana masyarakat di desa tersebut sulit untuk berkembang. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Nasrul, seorang nelayan perantau yang berasal dari Batam, mengatakan bahwa masyarakat di Desa Bandengan masih terbilang kuno, bersifat tradisional. Cara bergaul mereka dengan masyarakat asing pun berbeda. Terlihat ketika mereka bertemu atau berpapasan dengan orang luar yang bukan merupakan masyarakat sekitar atau tetangga desa disana, terlihat sikap yang menunjukkan keasingan terhadap orang tersebut. Interaksi yang terjadi pun sedikit kaku dan canggung, namun disisi lain mereka sebenarnya ramah. Hanya bagaimana orang luar yang bukan masyarakat sekitar bisa beradaptasi dan bergaul dengan masyarakat nelayan di Desa Bandengan.

Para remaja atau muda-mudi di Desa Bandengan ini juga sedikit yang mengenyam pendidikan sampai ke jenjang menengah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan biaya dari keluarga, juga tidak adanya keinginan atau dorongan dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga, para remaja di Desa Bandengan ini lebih memilih membantu orang tuanya bekerja sebagai nelayan. Bagi anak laki-laki, mereka membantu Ayahnya mencari ikan di laut. Sementara anak perempuan diam di rumah, membantu pekerjaan ibunya sebagai ibu rumah tangga.

Pada masyarakat nelayan ini tidak terdapat sistem atau organisasi sosial yang mengatur kehidupan masyarakat disana, seperti pada masyarakat desa yang memiliki kelompok tani. Mereka melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri, tidak ada paguyuban pemilik perahu, atau yang lainnya. Bahkan tempat untuk memberhentikan perahu pun di Desa Bandengan ini tidak diatur secara sistematis. Warga masyarakat Bandengan wilayah utara yang ingin menempatkan perahu dan beraktivitas di wilayah selatan, maupun sebaliknya, dilakukan sesuka hati. Tidak ada aturan-aturan yang membatasi mereka dalam melakukan pekerjaan. Hampir dikatakan tidak ada persaingan dalam hal pekerjaan antar nelayan di Desa Bandengan.

Ikan hasil tangkapan dijual ke “bakul” yang datang ke tempat nelayan pagi hari setelah nelayan pulang dari laut, biasanya ikan-ikan ini tidak dijual perkilogramnya, tetapi dengan takaran satu ember ikan sedang (jolang). Dari hasil wawancara yang didapat dari koresponden bernama Pak Nasrul, seorang nelayan udang dan cumi-cumi, harga untuk satu jolang berisi udang yang dijual ke “bakul” dihargai hampir mencapai Rp. 1.000.000,00 untuk udang berukuran besar, dan udang kecil-kecil seharga Rp. 800.000,00. Harga yang ditawarkan berbeda-beda tergantung hasil tangkapan nelayan yang didapat, dan isi dari setiap jolangnya. Hasil observasi yang didapat dari salah seorang Ketua RT mengatakan sebagai berikut:

“ikan yang dicari sulit mbak, untuk mendapatkan satu jolang udang saja sulit. Jadi biasanya nelayan disini nyari ikan sedapatnya saja. Kalau dapat udang, cumi-cumi dan ikan kecil-kecil, ya kami jual itu dalam satu jolang. Tentunya harganya beda mbak”

Ada juga pembeli yang datang untuk membeli ikan langsung pada nelayan, tentunya mereka memilih membeli langsung pada nelayan karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan membeli di pasar. Ikannya pun masih segar dan pembeli dapat memilih ikan yang diinginkan. Tanpa menawar, harganya pun sudah sesuai dengan yang diinginkan pembeli. Terkadang, pembeli yang membutuhkan ikan dalam jumlah yang cukup banyak, mereka memesan borongan kepada nelayan untuk dicarikan di laut. Namun permintaan itu pun perlu dipertimbangkan oleh nelayan, mengingat hasil tangkapan di laut yang tidak menentu. Apalagi jika di musim kemarau, sulit untuk mendapatkan ikan.

Hasil dari usaha mencari ikan ini kadang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam suatu keluarga nelayan. Misalkan saja, seorang nelayan mendapatkan satu jolang udang yang dijual ke “bakul” dengan harga Rp. 1000.000,00 sebagai penghasilan kotor, nelayan hanya mendapatkan sekitar Rp. 600.000,00 hingga Rp. 700.000,00. Sisanya ini digunakan untuk perawatan perahu dan membeli bahan bakar solar. Mungkin penghasilan Rp. 700.000,00 ini menjadi banyak dan mencukupi kebutuhan keluarga nelayan di Desa Bandengan, jika setiap harinya nelayan mampu mendapatkan ikan banyak. Namun pada kenyataannya, nelayan tidak mesti mendapatkan hasil tangkapan yang tetap atau banyak setiap harinya. Mereka hanya mendapatkan hasil tangkapan banyak ketika mereka mendapatkan ikan banyak di laut. Namun jika tidak, jangankan ikan satu jolang, mereka bisa saja tidak membawa pulang apapun dari laut. Pak Nasrul menambahkan sebagai berikut:

“Itu penghasilan Rp. 700.000,00 kalau kami mencarinya sendirian. Kalau ada teman ya dibagi dua, paling Cuma dapat Rp. 300.000,00 sampai Rp. 350.000,00 aja mbak. Tapi kan penghasilan segitu nggak tetap, kadang malah nggak dapat apa-apa di laut”

Hal ini menjadi suatu masalah besar dalam kehidupan nelayan. Permintaan pasar akan ikan laut yang melonjak, namun ikan yang diinginkan sulit untuk didapatkan. Belum lagi, harga bahan bakar solar yang terus mengalami kenaikan, tidak seimbang dengan penghasilan yang diperoleh nelayan di Desa Bandengan. Hal ini menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Desa Bandengan.

Selain dijual di “bakul” yang mengambil ikan itu ke tempat nelayan, nelayan-nelayan ini juga menjual ikan hasil tangkapannya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang letaknya ± 4 km dari pemukiman nelayan ini. Tempat Pelelangan Ikan adalah disingkat TPI yaitu pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan / pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat). Biasanya TPI ini dikoordinasi oleh Dinas Perikanan, Koperasi, atau Pemerintah Daerah. Meski harganya lebih murah dari harga bakul, karena memang disinilah pusat penjualan ikan yang mematok harga rendah bagi pembelinya. Di TPI sendiri berbagai macam jenis ikan tersedia.

Di Desa Bandengan ini terdapat pabrik yang mengolah ikan laut untuk dipasarkan. Letaknya tidak jauh dari pemukiman nelayan di Desa Bandengan. Masyarakat atau nelayan yang mencari ikan-ikan dengan ukuran besar seperti udang/lobster, kepiting, ikan bandeng, biasanya menjual ikan-ikan tersebut ke pabrik. Seberapapun ikan yang didapat oleh para nelayan ini, asalkan kriteria dari ikan tersebut memenuhi permintaan pabrik, para nelayan ini menjualnya kesana.