Konflik Sosial
Kata “konflik” berasal dari bahasa Latin “configure” yang artinya saling memukul. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik didefinisikan sebagai percekcokkan, perselisihan, atau pertentangan. Dengan demikian, secara sederhana, konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang bersebrangan, tidak selaras, dan bertentangan.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik lahir dari kenyataan akan adanya perbedaan-perbedaan, misalnya perbedaan ciri badaniah, emosi, kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, atau pola-pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat.

Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Soerjono Soekanto mengemukakan empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat, yakni perbedaan antarindividu, perbedaan antarkebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.

Bentuk-Bentuk Konflik
Lewis A. Coser membedakan konflik atas dua bentuk:
1)    Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam hubungan sosial.
2)    Konflik nonrealistic adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonistis (berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Contohnya pembalasan dendam lewat ilmu gaib yang dilakukan dalam masyarakat tradisional. Contoh lain adalah upaya mencari kambing hitam yang terjadi dalam masyarakat telah maju.
Soerjono Soekanto menyebutkan lima bentuk khusus konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat:
a.    Konflik pribadi
b.    Konflik rasial
c.    Konflik antara kelas-kelas sosial
d.    Konflik politik
e.    Konflik internasional

Konflik dapat memiliki dampak atau akibat positif maupun negatif
Segi positif konflik adalah sebagai berikut.
a.    Konflik dapat memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih belum tuntas ditelaah.
b.    Konflik memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma, nilai-nilai, serta hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu atau kelompok.
c.    Konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group solidarity) yang sedang berkonflik dengan kelompok lain.
d.    Konflik merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan kelompok.
e.    Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.
f.    Konflik dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
g.    Konflik memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang berkonflik berada dalam kekuatan yang seimbang

Segi negative suatu konflik adalah sebagai berikut:
a.    Keretakan hubungan antar individu dan persatuan kelompok.
b.    Kerusakan harta benda dan jatuhnya korban manusia.
c.    Berubahnya sikap kepribadian para individu, baik yang mengarah pada hal-hal positif atau negatif.
d.    Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.

Kekerasan
Kekerasan adalah bentuk lanjutan dari konflik sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja, membunuh, atau memperkosa. Kekerasan seperti itu sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan juga menyangkut tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi atau meniadakan hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan menteror orang lain. Jenis kekerasan yang terakhir disebut kekerasan tidak langsung (indirect violence).

Cara Pengendalian Konflik dan Kekerasan
Konflik merupakan gejala sosial yang senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat. Sebagai gejala sosial, konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah mengendalikan agar konflik tersebut tidak berkembang menjadi kekerasan (violence).
Pada umumnya masyarakat memiliki sarana atau mekanisme untuk mengendalikan konflik di dalam tubuhnya. Beberapa sosiolog menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety valve), yaitu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik. Lewis A. Coser melihat katup penyelemat sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan.
Secara umum, ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial:
1.    Konsiliasi : Bentuk pengendalian konflik yang dilakukan melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak yang bertikai.
2.    Mediasi
Pengendalian konflik dengan cara mediasi dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga ini akan memberikan pemikiran atau nasihat-nasihatnya tentang cara terbaik dalam menyelesaikan pertentangan mereka.
3.    Arbitrasi
Arbitrasi atau perwasitan umumnya dilakukan apabila kedua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik.

Sumber:
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2014. Sosiologi:Kelompok Pemintan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta. Esis Erlangga.

Dwi Narwoko, J. , & Suyanto, Bagong (ed). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. 2006. Jakarta: Kencana.


Handoyo, Eko, dkk. Studi Masyarakat Indonesia. 2007. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Unnes.


Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. 2012. Jakarta: Rajawali Pers.