RUMAH HIJAU BERILMU

Bila ada istilah yang mengatakan bahwa buku adalah jendela maka ilmu juga bisa diatikan sebagai penerang dunia. Karena ibarat hidup tanpa ilmu maka kita akan hidup dalam sebuah kegelapan tanpa berujung. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu mencari dan memperdalam ilmu supaya kita bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa dihantui rasa ketakutan karena kedangkalan ilmu yang kita miliki.

Universitas merupakan tempat kita menimba atau memperdalam ilmu yang telah kita peroleh sewaktu SMA/SMK/MA/Sederajat. Universitas diibaratkan sebuah rumah yang terdapat berbagai cabang ilmu yang dapat kita peroleh. Sebuah Rumah Ilmu perlu kita bangun bersama agar terasa lebih nyaman dalam belajar dan mengembangkan kreativitas yang dimiliki. Bukan hanya itu, membangun rumah ilmu perlu adanya pelestarian lingkungan agar menjadi rumah hijau berilmu. Kualitas dan kuantitas juga harus selaras untuk mewujudkan Rumah Ilmu bereputasi.

#2

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

PARIKAN KONSERVASI

Badu kecebur marang

Gara-gara dijorogna kurniasi

Kudu terus hijauke alam

Ben terwujud Unnes konservasi

 

Bang Ines dodol terasi

Dodole ana ing kota pati

Wujudke Unnes konservasi

Ben adem pikiran lan ati

 

Mba ines mangan jambu kluthuk

Mangane yo kudu karo terasi

Unnes kuwi pancen mathuk

Yen diarani kampus konservasi

KAMPUS ASRI BEREPUTASI

          Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam ilmu lingkungan, unsur ABC itu saling berinteraksi, untuk A yakni (Abiotik), B (Biotik), dan C (Culture atau budaya manusia).

           Di negara maju kerusakan lingkungan diakibatkan oleh penggunaan teknologi, konsumerisme dan cara hidup yang berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Sebaliknya di negara berkembang kemiskinan telah banyak membuat masyarakat merusak alam. Oleh karena itu, perlu adanya usaha konservasi sumber daya alam, yakni pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Istilah konservasi memiliki pengertian upaya pelestarian lingkungan dengan tetap memerhatikan manfaat yang dapat diperoleh dari lingkungan. Konservasi juga dipandang dari segi ekonomi dan ekologi. Konservasi dari segi ekonomi adalah usaha mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Konservasi dapat diartikan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana)

           Unnes sebagai Universitas konservasi melakukan pelestarian lingkungan dengan menanam pohon di sekitar wilayah kampus Unnes yang tersebar di delapan fakultas. Hal ini membuat Unnes menjadi kampus hijau dengan berbagai macam pohon tumbuh di sekelilingnya. Selain itu, di wilayah kampus utama di berlakukan bahwa tidak diperbolehkan mobil dan motor melintasi areal tersebut terutama depan gedung H atau rektorat. Sehingga, hanya sepeda dan pejalan kaki yang dapat melintasinya. Dengan diberlakukannya hal tersebut membuat kampus Unnes terasa nyaman, sejuk dengan keasrian udaranya membuat belajar menjadi lebih konsentrasi dan berlama-lama dalam belajar pun tidak merasa bosan. Namun, kenyamanan tersebut kian terganggu dengan adanya sampah yang berserakan begitu saja, disebabkan oleh tingkah laku beberapa orang membuang sampah seenak hatinya saja tanpa memperhatikan bahaya yang akan ditimbulkan dari perbuatan yang hanya sepele itu, persediaan tempat sampah yang kurang memadai juga memicu hal itu terjadi.

           Seharusnya pihak kampus lebih memerhatikan penyebaran tempat sampah di berbagai wilayah agar sampah yang berserakan dapat diminimalisasi sehingga kampus konservasi ini dapat terhindar dari penyebaran sampah yang berserakan. Bukan hanya hal itu kesadarana dari masing-masing individu untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat juga berpengaruh besar terhadap masalah sampah ini. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama wujudkan Unnes sebagai kampus konservasi dengan di setiap sudut wilayahnya bebas dari sampah.

SALAM KONSERVASI…

#1

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

PAHLAWAN NKRI

SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

foto

          Syafruddin Prawiranegara (ejaan lama Sjafruddin Prawiranegara ) lahir di Banten, 28 Februari 1911. Syafruddin memiliki nama kecil “Kuding”, berdarah campuran Banten dan Minangkabau. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Sutan kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten. Dari perkawinan itu lahirlah kakek Syafruddin yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja yang tak lain merupakan ayah kandung Syafruddin. Arsyad bekerja sebagai jaksa yang dikenal cukup dekat dengan rakyat, karena alasan itulah Belanda kemudian mengasingkannya ke Jawa Timur.

Pendidikan

          Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, bercita-cita agar suatu saat ia bisa menjadi “orang besar”. Itulah sebabnya, setamat dari sekolah Belanda setingkat SMA, AMS, Bandung, Syafruddin pindah ke Jakarta demi melanjutkan studinya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) pada tahun 1939. Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di sekolah yang sekarang dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, Syafruddin berhasil meraih gelar Meester in de Rechten, setara dengan Magister Hukum saat ini.

Karir dan pekerjaan 

  • Pegawai siaran radio swasta (1939-1940),
  • Petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942),
  • Pegawai Departemen Keuangan Jepang. Anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) selama 207 Hari 
Syafruddin yang mendapat julukan “penyelamat Republik” lalu memimpin PDRI. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, untuk sementara ia menggantikan peran Soekarno-Hatta menjalankan roda pemerintahan RI. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun jabatan yang disandangnya ketika itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.

      Sekitar tahun 1939-1940 saat pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia, Syafruddin bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta, kemudian menjadi petugas Departemen Keuangan Belanda hingga kekuasaan atas Indonesia berpindah ke tangan Jepang di tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang, Syafruddin bekerja sebagai pegawai Departemen Keuangan Jepang.

       Pasca proklamasi berkumandang, ia menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. KNIP merupakan badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Tahun 1946, Syafruddin mendapat kepercayaan untuk masuk dalam jajaran kabinet sebagai Wakil Perdana Menteri. Masih di tahun yang sama, Syafruddin diangkat menjadi Menteri Keuangan. Setahun berikutnya, ia menjabat sebagai Menteri Kemakmuran.

         Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang diawali dengan serangan ke Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu. Dalam peristiwa tersebut, Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan Belanda ke Pulau Bangka. Untuk mengisi kosongnya kursi pemerintahan, Syafruddin kemudian mendapat tugas untuk membentuk sekaligus bertindak selaku Ketua Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera.

          Mandat tersebut disampaikan Soekarno-Hatta lewat telegramnya yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.

         Namun karena sulitnya sistem komunikasi di masa itu, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Beruntung, di saat yang bersamaan, begitu mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan negara, Syafruddin langsung mengambil inisiatif senada. Ia kemudian mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government) dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948. Usulan tersebut juga mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatra Mr TM Hasan, demi menyelamatkan negara yang berada dalam bahaya akibat kosongnya kepala pemerintahan.

           Syafruddin yang mendapat julukan “penyelamat Republik” lalu memimpin PDRI. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, untuk sementara ia menggantikan peran Soekarno-Hatta menjalankan roda pemerintahan RI. Untuk
memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun jabatan yang disandangnya ketika itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.

          PDRI di bawah komando Syafruddin terus melakukan berbagai upaya agar para pemimpin bangsa yang ditangkap Belanda bisa segera dibebaskan. Usahanya membuahkan hasil dimana Belanda akhirnya terpaksa berunding dengan Indonesia. Usaha Belanda untuk kembali menancapkan kekuasaannya di bumi pertiwi pun berakhir yang ditandai dengan Perjanjian Roem-Royen. Soekarno-Hatta dan kawan-kawan akhirnya dibebaskan dan kembali ke pusat pemerintahan di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta.

          Dengan bebasnya dwitunggal proklamator itu, tugas Sjafruddin memimpin PDRI selama kurang lebih delapan bulan pun berakhir. Pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta, ia menyerahkan mandatnya kepada Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi dilakukan pada 14 Juli 1949 di Jakarta.
Jabatan pemerintahan

  • Wakil Perdana Menteri, Masa jabatan: 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949.
  • Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Masa jabatan: 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949.
  • Menteri Keuangan Republik Indonesia ke-5, Masa jabatan: 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947.
  • Menteri Kemakmuran (1947)
  • Menteri Perdagangan Republik Indonesia ke-4, Masa jabatan: 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949.
  • Menteri Pertanian Republik Indonesia ke-5, Masa jabatan: 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949

     Setelah meletakkan jabatannya sebagai Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI. Setelah itu ia ditunjuk menjadi menteri keuangan Kabinet Hatta. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Sedangkan sisanya dipinjamkan kepada negara yang saat itu sedang kesulitan dana. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

          Rupanya tak hanya rakyat Indonesia yang merasakan tajamnya Gunting Syafruddin, Tengku Halimah Syehabuddin Prawiranegara, istri Syafruddin pun ikut terhenyak saat menerima gaji suaminya yang tidak seberapa, juga harus ikut dipangkas. Untuk menghidupi 8 anaknya, putri Tengku Raja Syehabuddin itu bahkan harus kas bon ke Kementerian Keuangan. Utangnya terus menumpuk dan baru dilunasi saat Syafruddin menjabat Presiden
Direktur The Javasche Bank. Tahun 1951, The Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Sentral Indonesia, Syafruddin kemudian diangkat menjadi Gubernurnya.

Keterlibatan dalam PRRI

       Seiring berjalannya pemerintahan Soekarno, banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, belum lagi pengaruh komunis terutama PKI yang kian menguat. Keadaan itu pada akhirnya memunculkan gerakan dari berbagai kalangan yang merasa tidak puas, tak terkecuali Syafruddin. Bersama rekan-rekannya dari partai Masyumi, ia menentang Soekarno yang membubarkan Konstituante.

          Pada Februari 1958, gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terus berlanjut yang ditandai dengan berdirinya PRRI (Pasukan Revolusioner Republik Indonesia). Syafruddin kemudian diangkat menjadi Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah. Sebagai simbol perlawanan, PRRI kemudian menandatangani Perjanjian Sungai Dareh. Menurut cerita salah seorang putri Syafruddin yang bernama Vivi, ayahnya sebenarnya tidak ikut menandatangani perjanjian tersebut. Namun karena Syafruddin memiliki sikap “sama-sama menanggung risiko” jadilah dirinya sekeluarga turut mengalami hidup sebagai pemberontak.

             Selama 4 tahun, Syafruddin beserta istri dan kedelapan anaknya terpaksa hidup di Hutan Bukit Barisan yang letaknya memanjang dari Sungai Dareh Sumatera Barat hingga Pinarik Tapanuli Utara Sumatera Selatan. Dalam kurun waktu itu, mereka harus tinggal di sungai, lari terbirit-birit saat melewati hutan pacet, atau gemetar ketakutan saat bertemu harimau dan safir. Pada Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil kembali menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Presiden RI No.449/1961 orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan termasuk PRRI diberikan amnesti dan abolisi.
Keluarga
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddinn. Mereka memiliki delapan orang anak, dan sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981.

Masa tua

          Setelah tak lagi terlibat dalam pemerintahan, tokoh Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) ini memilih lapangan dakwah sebagai tempat pengabdiannya. Namun, selama kiprahnya sebagai mubaligh, Syafruddin berkali-kali dilarang naik mimbar lantaran ceramahnya dinilai terlalu keras. Bahkan pada Juni 1985, ia sempat menjalani pemeriksaan sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

            Selain aktif menyebarkan syiar Islam, Syafruddin juga giat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Di samping pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI), ayah delapan anak ini juga pernah tercatat menjadi Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM), serta Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam. Tak hanya itu, kakek belasan cucu ini juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, Direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.

        Meskipun berstatus sebagai mantan pejabat negara yang juga turut membela kedaulatan RI, Syafruddin melalui masa tuanya dengan penuh kesederhanaan. Ia bahkan pernah menolak sebuah rumah pemberian Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno di Jalan Diponegoro No 10 Menteng, Jakarta Pusat. Alasannya, ia tidak mau menerima sesuatu yang dibayar dari pajak rakyat. Satu-satunya rumah peninggalan Syafruddin adalah rumah yang kini telah diwariskan kepada anak-anaknya yang berlokasi di Gedung Hijau Raya Pondok Indah Jakarta Selatan di mana ia menutup mata.
Penghargaan

          Syafruddin Prawiranegara meninggal dunia di usia 77 tahun, pada 15 Februari 1989. Jenazahnya dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Atas jasa-jasanya pada negara, pemerintah RI menganugerahkannya gelar pahlawan Nasional pada tahun 2011. Pemberian gelar tersebut dilakukan Presiden Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta Pusat, kepada ahli waris Syafruddin yang diwakili kedua anaknya, Rasyid dan Aisyah Prawiranegara

“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah” (Syafruddin Prawiranegara)

Sumber :

https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/03/Biografi-Syafruddin-Prawiranegara-Presiden-PDRI.html

https://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/3799-presiden-pemerintah-darurat-republik-indonesia

DERAP LANGKAH SEORANG PELAJAR

Waktu Terus Berlalu

         Waktu terus berlalu, tak dapat terulang seperti sediakala. Setiap detik waktu seorang pelajar dipergunakan untuk memantaskan diri menjadi pribadi penerus bangsa. Belajar merupakan tugas utama pelajar, waktu luang diisi dengan belajar dan terus belajar. Derap langkahnya pun mengandung arti, setiap mata memandang arah pandangannya menyiratkan pemikiran luas kedepan untuk melestarikan alam. Setiap goresan tinta mengukirkan sebuah gagasan pemikiran untuk menjadikan alam lestari. Selaras langkah seorang aktivis menyatu dengan rasa untuk mengabdikan diri kepada masyarakat sebagai pengamalan TRI Darma Perguruan Tinggi.

         Masing-masing pelajar memiliki cara tersendiri belajar di waktu luangnya, ada yang belajar di sepertiga malam selepas melaksanakan Qiyamul lail ada pula yang belajar di sore hari selepas salat ashar dan ada juga yang belajar selepas salat isya. Di waktu kapanpun soseorang belajar keefektifan waktu hanyalah di tentukan oleh faktor seberapa konsentrasinya kah dalam belajar.

 

ASA KONSERVASI

Di kala terdiam

Mentari menyiratkan sinarnya

Hembusan angin datang menerpa

Ku edarkan arah pandang

Indah nan elok pemandangan

Pohon yang rindang

Dedaunan nan hijau

Lalu lalang burung pun menghiasi

Sambut pagi ceria

Menuntut ilmu dengan asa

Di kampus tercinta

Goresan tinta bercerita

Menyiratkan asa suci nan mulia

Wujud nyata sebuah pelafalan

Bergerak atau tergantikan

Jadi pemicu harapan

Aksi nyata kita lukiskan

Bukan hanya duduk terdiam

Demi Masa…

Kampus Unnes Bereputasi