Tradisi Sega Bisu Sebelum Upacara Pernikahan Jawa di Yogyakarta

Tradisi Sega Bisu Sebelum Upacara Pernikahan Jawa di Yogyakarta

Ditulis oleh Yusan Prasetyo

Sega bisu bukanlah nasi yang tidak bisa berbicara. Melainkan sebuah olahan masakan tradisional jawa. Sega bisu adalah nasi gurih atau nasi uduk yang ada didalam budaya Betawi. Sega bisu dimasak seperti memasak nasi biasa. Hanya saja, pengurangan air dan tambahan santan serta daun salam menjadi ciri khas gurihnya nasi tersebut. Sega Bisu juga mempunyai lauk pelengkap seperti bumbu kacang kering, daun kol, suwiran daging ayam (biasanya menggunakan daging ayam kampung) dan beberapa sayuran lain yang tidak wajib seperti jengkol. Lalu apakah yang menarik didalam sega bisu ini?

Sega bisu, istilah sega bisu hanya akan ada ketika seseorang melaksanakan acara pernikahan. Dalam tulisan ini, saya mengambil objek di daerah Kulon Progo, Yogyakarta. Sega bisu dibuat satu hari sebelum prosesi pernikahan seseorang dimulai. Selama satu hari itu, tuan rumah atau bagian dari keluarga sang pengantin melakukan janji untuk tidak berbicara selama satu hari itu (dibaca puasa berbicara). Seseorang yang sudah melakukan janji untuk membuat sega bisu, dia dilarang untuk berbicara kepada orang lain sampai sega bisu tersebut matang dan dibagikan kepada warga sekitar.

Didalam masyarakat yang masih memegang teguh budaya sega bisu, ada satu hal yang unik didalam pembagian sega bisu. Warga yang datang untuk menikmati sega bisu diharuskan untuk membeli tidak menggunakan uang tetapi dengan kreweng atau pecahan genteng. Seperti layaknya transaksi jual beli, tuan rumah yang seharian diam dilarang untuk berbicara disitu dia kembali menjadi orang yang banyak berbicara karena dia seperti seorang penjual yang melayani pembeli yang ingin menikmati sega bisu. Sega bisu biasanya disajikan dengan menggunakan daun pisang dan dibagikan ketika malam hari sebelum prosesi pernikahan dilakukan pada pagi harinya.

Nilai filosofi dalam budaya ini adalah tentang tanda terimakasih. Di dalam masyarakat jawa, seseorang yang hendak menikah atau keluarga yang hendak membuat acara pernikahan membutuhkan persiapan yang besar, bahkan jauh hari sebelum prosesi pernikahan dimulai. Oleh karena itu keluarga yang hendak membuat acara pernikahan tadi memerlukan warga sekitarnya untuk saling membantu dan melakukan gotong royong. Pada satu hari sebelum prosesi pernikahan dimulai, berarti persiapan yang dilakukan oleh warga sekitar sudah mulai pada puncak persiapan. Sebagai rasa terimakasih atas bantuan para warga sekitar, maka keluarga yang mempunyai acara membuat sega bisu untuk dibagikan kepada warga yang sudah membantu. Lalu kenapa pembuat sega bisu harus puasa berbicara? Dengan melakukan puasa berbicara dan tidak berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, diharapkan nasi yang dia masak adalah hasil masakan terbaik yang akan dibagikan kepada orang-orang yang telah membantunya. Lalu kenapa warga harus menggunakan kreweng untuk membeli nasi tersebut? Orang jawa adalah orang yang memegang teguh budaya timur, bahkan orang jawa dikatakan adalah orang yang memegang teguh sopan santun dan budaya malu. Kita sering mendengar bahwa jika menyuguhkan suatu hidangan kepada orang jawa maka dia hanya akan menjawab iya tanpa segera dia mengambil makanan yang sudah dihidangkan. Maka dengan dibuatnya istilah membeli maka orang jawa akan tahu dengan membeli maka berarti dia sudah memilikinya. Penggunaan kreweng pada saat itu muncul karena orang jawa pada saat itu hidup pada jaman yang susah dan masih belum mengenal istilah transaksi jual beli dengan menggunakan uang. Didalam tulisan ini, penulis beranggapan bahwa pada saat itu keluarga yang melakukan acara pernikahan adalah keluarga kerajaan. Karena keluarga kerajaan tahu bahwa masyarakat sekitar hidup dalam kesusahan maka dibuatnya istilah membeli dengan kreweng agar masyarakat sekitar mampu menikmati hal yang seharusnya gratis.


“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

Tentang Yusan Prasetyo

My name is Yusan Prasetyo, I study Javanese Literature in Semarang State University, or known as Conservation University. I am from Special Region of Yogyakarta, the west side called Kulon Progo. My hobbies are Graphic Design and still newbie on Javanese Classic Dance.
Tulisan ini dipublikasikan di Tulisan Budaya dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: