Pada umumnya seseorang kuliah di perguruan tinggi adalah untuk mencari prospek yang jelas dan menjanjikan. Maka dengan prospek yang sudah dijanjikan dan dibuktikan oleh alumni, seseorang itu akan mendapatkan pekerjaan dengan income yang lebih dari layak. Selama ini yang kita tahu, dengan kuliah kita dilindungi dari ancaman pekerjaan blue-collar worker. Mahasiswa jaman sekarang mempunyai pandangan bahwa kuliah akan menjamin mereka untuk bekerja yang istilahnya dengan pena dan kertas, bukan dengan cangkul dan ompreng. Kuliah yang seharusnya berjuang untuk menuntut ilmu terlalu difokuskan untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan. Padahal ilmu adalah sebenarnya ‘antebing rasa’ yang seharusnya dirasakan di hati dan pikiran. Tetapi dewasa ini, banyak dari para alumni dan mahasiswa menganggap ilmu hanya didalam sebuah pikiran. Maka dari itulah, banyak kita temui para pejabat tinggi cerdas yang melakukan korupsi dan pelanggaran etika kerja, begitulah jika ilmu tidak dirasakan di hati dan hanya dirasakan di sebuah akal.
Paragraf diatas hanyalah sekedar intermezzo bagaimana mahasiswa jaman sekarang memiliki pandangan dalam memilih jurusan. Mereka sekarang lebih fokus dalam prospek pekerjaan bukan proses bagaimana seharusnya kuliah itu mencari ilmu dan mengembangkan keterampilan. Lantas bagaimana dengan kuliah di Sastra Jawa? Dewasa ini, sastra Jawa atau Sastra Daerah dipandang sebagai jurusan kering. Jurusan yang hampir setiap orang bertanya “apa prospeknya?”, “mau jadi apa kuliah di sastra?”, atau “kuliah di sastra jawa, kok aneh ya?”. Sastra Jawa selama ini memiliki kurikulum yang tidak hanya fokus pada ilmu bahasa dan linguistik, tetapi juga ilmu budaya, kajian budaya, dan antropologi masyarakat Jawa. Selain itu di Sastra Jawa juga belajar tentang berbagai keterampilan dan kesenian seperti Pranatacara, Kethoprak, Karawitan, dan Tembang. Lantas bagaimana dengan prospek yang dijanjikan di jurusan kering ini?
Tidak ada pekerjaan yang menjanjikan untuk bekerja di sebuah kantor atau pemerintahan, seperti yang jurusan lain janjikan. Kebanyakan ini yang saya tahu, Sastra Jawa memiliki prospek pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa dan budaya seperti jurnalis, pekerja seni, ahli museum, tenaga pengajar, penulis, penerjamah, dan pembawa acara di televisi. Ya, masih sedikit meragukan untuk mendapat pekerjaan itu selama masih di lingkup wilayah yang masih menggunakan bahasa Jawa. Lalu bagaimana kita menyikapi hal yang demikian?
Begitulah keadaan mahasiswa Sastra Daerah yang semakin mendapat ancaman bagaimana masyarakat Indonesia memandang jurusan mereka. Semakin hari, rasa-rasanya banyak elemen yang semakin menghilang di dunia Sastra Daerah. Seperti minimnya jam pelajaran mata kuliah Sastra Daerah di sekolah-sekolah dan itupun hanya masuk dalam muatan lokal, kemudian semakin langkanya orang-orang yang menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar. Selama ini yang menjadi PR untuk mahasiswa Sastra Jawa adalah bagaimana mempertahankan ilmu tersebut dalam masyarakat?
Seperti yang kita tahu, jurusan Sastra terlebih dalam ilmu bahasa memang bukanlah ilmu yang inovatif. Tidak seperti jurusan lain seperti jurusan teknik dan ilmu komputer yang lebih inovatif dalam perkembangannya. Di jurusan bahasa seperti ini, semua memang sudah begitu adanya. Kamus sudah diciptakan, ilmu bahasa sudah pakem, apalagi sesuatu yang bersifat lokal atau kedaerahan, mungkin lebih kecil dalam perkembangannya.
Sastra Jawa memang masih dianggap sebagai jurusan marjinal disebuah universitas. Tetapi selama ini, banyak yang juga yang masih menghargai jurusan ini. Seperti bagaimana tokoh-tokoh luar negeri yang masih mencintai budaya Jawa. Kita tahu sendiri buku-buku penting bahasa Jawa diciptakan oleh tokoh-tokoh dari Belanda, seperti Zoetmulder. Oleh karena itu, bagaimana pemerintah mampu menyelamatkan budaya mereka sendiri. Kita tidak pernah tahu?
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”