Membangun rumah ilmu untuk mewujudkan Universitas Konservasi Bereputasi (ESSAY #2)

Dalam sebuah pembangunan kita perlu berbagai persiapan. Contohnya dalam pembangunan ekonomi nasional maka perlu dipersiapkan penguatan daya saing ekonomi, memulai mencintai produk dalam negeri (lokal), dan penguatan sektor usaha kecil sebagai daya kreativitas masyarakat dalam menghadapi pembangunan ekonomi tersebut. Setidaknya perlu adanya berbagai dukungan dari masyarakat dan berpikir satu tujuan dalam mencapai cita-cita tersebut. Lalu bagaimana dengan UNNES? Didalam tulisan ini berhubungan dengan pembangunan rumah ilmu untuk mewujudkan universitas konservasi yang memiliki citra nilai yang baik dari warga UNNES sendiri dan masyarakat dunia. UNNES yang kehadirannya sebagai kampus konservasi seharusnya mampu membina pola pikir warganya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam tulisan ini, saya takut adanya miskonsepsi apa yang dimaksud dengan rumah ilmu? Rumah ilmu dalam kaitannya dengan sumber ilmu adalah tempat dan atau sarana untuk dijadikan sebagai pusat pengetahuan baik secara hardskill maupun softskill. Dalam artian luas seseorang mungkin juga berarti rumah ilmu untuk seorang lain. Contoh seorang anak usia dini yang belajar di taman anak-anak (baca: PAUD), maka anak itu akan mencontoh tidak hanya guru tetapi juga orang lain yang ada disitu, seperti ibu mereka, teman-teman, dan yang lainnya. Maka rumah ilmu tidak harus dikorelasikan dengan sebuah bangunan. Justru rumah ilmu adalah diri kita sendiri.

Pembangunan rumah ilmu di UNNES sendiri adalah bisa berarti membangun sebuah sarana dengan berbagai fasilitas seperti buku, sumber referensi, dan lain sebagainya tetapi bagaimana sebenarnya rumah ilmu diterapkan pada penciptaan tenaga kependidikan yang diharapkan menjadi rumah ilmu untuk masyarakat Indonesia. Pembangunan rumah ilmu itu sendiri juga tidak lepas dari Tri Dharma Bakti Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat. Dalam pelaksanaannya, Tri Dharma Bakti perguruan tinggi sebagai wujud rasa cinta dan janji mahasiswa kepada kampus dengan melakukan tiga hal yang sudah disebutkan tadi. Ini bermaksud untuk meningkatkan potensi dan reputasi kampus dalam bidang akademis dan non akademis. Sebagai pencetak tenaga kependidikan, UNNES memang sudah mengambil tindakan sebagai rumah ilmu. Ada kalanya memang dalam pembangunan saran dan prasarana yang seharusnya ini yang harus dibicarakan dalam keterkaitannya membangun rumah ilmu tersebut.

Rumah ilmu yang harus dikembangkan oleh UNNES tersendiri adalah bagaimana menyediakan sumber-sumber ilmu yang ada, yang sudah dilakukan seperi layanan perpustakaan, jurnal nasional dan internasional, kampong budaya, dan berbagai fasilitas laboratorium serta UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Lantas bagaimana dengan mahasiswa UNNES tersendiri? Inilah yang menjadi kasus utama yang harus ditanggapi. UNNES sebagai rumah ilmu seharusnya tidak membangun tetapi lebih kepada memperbaiki. Sarana dan prasarana yang kurang terbuka diharapkan lebih disosialisasikan kepada para mahasiswa seperti contoh pada tidak diijinkan dalam meminjam buku jenis Tandon di Perpustakaan Pusat UNNES, pada kaitannya buku tendon yang ruangannya selalu sepi itu justru menyimpan ilmu-ilmu dinamis yang lebih update dari buku-buku yang tersedia di rak umum.

Pada dasarnya rumah ilmu disini adalah bagaimana UNNES memperbaiki. Dalam kaitannya dengan mencetak tenaga pendidik, UNNES juga harus lebih membekali kesadaran akan Tri Dharma Bakti perguruan tinggi. Juga bagaimana pembelajaran moral sehingga tercipta generasi-generasi tenaga kependidikan yang tidak marjinal dan mempunyai tenaga kependidikan yang lebih inovatif dan modern dalam penciptaan tenaga pendidik agar menjadi sebuah rumah ilmu bagi masyarakat Indonesia.


“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

Dipublikasi pada oleh Yusan Prasetyo | Tinggalkan komentar

Membangun rumah ilmu untuk mewujudkan Universitas Konservasi Bereputasi (ESSAY #1)


Kader Konservasi sebagai Tonggak Pembangunan Rumah Ilmu

            Penerapan konservasi di Universitas Negeri Semarang masih harus didalam tahap pembenahan. Nilai-nilai konservasi dan penananam pilar konservasi selama ini kurang dipahami oleh mahasiswa, dan tidak terkecuali pejabat di Universitas Negeri Semarang. Hal ini diketahui dengan contoh-contoh kecil seperti kurangnya budaya jalan kaki dan bersepeda. Padahal setiap saya mengayuh sepeda saya melewati gerbang menuju Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ada sebuah papan ajakan bertuliskan ‘Budayakan jalan kaki dan bersepeda’. Itu hanya contoh kecil, dimana ekspektasi keluarga kampus tidak sejalan dengan bagaimana mengaplikasikan ajakan tersebut. Bagaimana menyikapi hal tersebut, memang tidak bisa dipaksakan ketika mahasiswa dan pejabat harus membudayakan, sedangkan seperti yang kita ketahui topografi kontur geografis didaerah sekitar UNNES bisa dikatakan naik turun sehingga untuk merealisasikan hal tersebut masih diluar angan-angan para penggagas apa yang disebut ‘konservasi’.

            Paragraf diatas adalah sedikit intermezzo dari saya untuk menjelaskan bagaimana fenomena masyarakat UNNES dalam menyikapi konservasi. Masih terlalu jauh untuk belajar konservasi karena konservasi dibuat bukan untuk dipaksakan secara umum dengan dibuatkan mata kuliah umum ‘Pendidikan Konservasi’ tetapi dimulai dari penanaman contoh dan pemberian sanksi. Diibaratkan sebuah rumah jika seorang ayah tidak mengajarkan sholat terhadap anak-anaknya maka anak-anak tersebut juga tidak akan sholat. Maka ketika kita sadar bahwa ayah atau kepala dari universitas ini kurang terjun untuk memeluk anak-anaknya (baca; mahasisa dan pejabat) maka saya rasa konservasi hanya menjadi sebuah harapan dan bukanlah suatu tindakan.

            Kita kembali kepada topik utama, membangun rumah ilmu di Universitas Negeri Semarang sebagai perwujudan Universitas Konservasi bereputasi. Rumah ilmu dalam arti perluasan makna adalah sebuah pusat dimana masyarakat dapat belajar dan mencari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini kita perlu mengingat pilar konservasi nomor tujuh berbunyi ‘kader konservasi’. Jika kita melihat contoh yang saya sebutkan diatas maka kita tahu perlu ada yang memulai memberikan contoh. Maka didalam konteks topik disini adalah perlu adanya kader konservasi yang mampu mewujudkan rumah ilmu yang membuat UNNES menjadi kampus yang bereputasi. Kader konservasi disini adalah mahasiswa itu sendiri. Rumah ilmu dalam perwujudan akademis harus diselaraskan dengan stigma masyarakat terhadap kampus itu sendiri. UNNES saya katakan sudah pantas dianggap sebagai rumah ilmu tetapi bagaimana stigma masyarakat sekitar UNNES? Harus ada sedikit pembenahan dimana moral dan etika masyarakat UNNES diluar kampus. Masyarakat UNNES harus gencar menjaga etika dan norma ketika mereka berada dengan masyarakat sekitar di lingkungan kampus. Contohnya adalah penolakan paham ISIS yang dilakukan masyarakat Sekaran dan UNNES, pemberlakuan jam malam disuatu gang, dan larangan-larangan lain yang imbasnya untuk kebaikan keluarga UNNES itu sendiri. Dengan adanya stigma positif dari masyarakat maka rumah ilmu itu bisa dipercayakan oleh masyarakat dalam rangka membangun kerja sama dan terciptanya masyarakat yang harmonis dan humanis.

            Lalu apa sebenarnya yang ada didalam rumah ilmu tersebut? Saya berpikir bahwa terjadi ambivalensi di UNNES dalam penerapan makna tersebut. Rumah ilmu didalam topik ini seharusnya dijelaskan apakah UNNES tersebut sebagai rumah ilmu atau bagaimana kader konservasi itu membangun rumah ilmu ditengah-tengah masyarakat? Jika saya pribadi, saya lebih memilih untuk pilihan nomor dua. Seperti yang kita tahu pendidikan di Indonesia ini sangat rendah, data dari Balitang (2003) bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar (SD) hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 Sekolah Menengah Atas (SMA) ternyata hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dari The Diploma Program (DP)[1] . Dari data diatas seharusnya UNNES yang mempunyai ribuan kader konservasi dan dapat diartikan sebagai calon tenaga pendidik seharusnya mampu mengatasi keprihatinan tersebut. Tentunya data diatas bukan hanya sebagai perbandingan yang tidak begitu penting, justru data diatas sebagai relevansi banyaknya calon pendidik dengan kondisi pendidikan yang ada di Indonesia. Masyarakat UNNES harus sadar bahwa pemerintah dan media seharusnya tidak hanya menyoroti kondisi sekolah secara fisik seperti sekolah yang hampir roboh, atau kurangnya fasilitas. Tetapi juga bagaimana mental pendidik yang ada di Indonesia sekarang ini?

           Dalam studi ini, kita akan berpikir bagaimana UNNES mengembangkan dan mendeklarasikan dirinya sebagai rumah ilmu yang berwawasan konservasi dan bereputasi. Seperti yang saya katakan diatas UNNES dengan kader konservasinya harus lebih dibina dengan penanaman moral yang dilakukan disuatu sistem mata perkuliahan. Saya masih berpegang dengan erat tentang rumah ilmu adalah setiap warga UNNES itu tersendiri, jadi bukan sebuah frasa yang digunakan untuk mengungkapkan ‘bangunan’. Rumah Ilmu didasarkan pada mahasiswa UNNES dengan tidak meninggalkan etika dan moral yang sudah ada.

            Secara sederhana, apa yang dapat saya simpulkan adalah warga UNNES seharusnya siap membangun rumah ilmu lain yaitu menjadikan dirinya sendiri sebagai rumah ilmu. Manusia yang berwawasan dan berpendidikan. Sehingga masyarakat Indonesia banyak sekali mendapatkan rumah ilmu dan tidak harus pergi ke universitas untuk belajar. Dengan syarat apa yang sudah saya sebutkan dari awal, yaitu mengutamakan norma dan etika. Sehingga dengan penanaman yang bagus dan kesadaran tinggi maka perwujudan rumah ilmu sebagai perwujudan Universitas Konservasi Bereputasi tidak akan diragukan lagi. Dengan perwujudan nilai-nilai konservasi maka rumah ilmu yang dulunya menjadi gagasan pelik para pejabat dan warga UNNES akan menjadi sebuah The House of Knowledge by Moral Intellectuality and Local Wisdom.


[1] Data tahun 2003 (Balitang) diambil dari Usulan Program Kreativitas Mahasiswa. ‘Wujudkan Rumah Ilmu Bagi Anak-Anak Desa dengan Pemberdayaan Peran Pemuda Melalui Program SMILE (Smart Village) sebagai Upaya Kemandirian dan Kecerdasan Masyarakat di Kelurahan Sendang Mulyu’, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang, 2013


“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

Dipublikasi pada oleh Yusan Prasetyo | 1 Komentar