Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,Yogyakarta & Jawa Timur. Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal beberapa daerah lain seperti di Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon.
Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah bahkan di luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia salah satunya di Sumatera Barat meliputi Padang dan Sawahlunto. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negaraTimur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.
Variasi dalam bahasa Jawa
Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) [1]. Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.
Kelompok Barat
dialek Banten
dialek Cirebon. Menurut hasil Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Metode Guiter, Bahasa Cirebonan memiliki Perbedaan sekitar 75% dengan Bahasa Jawa Yogya / Surakarta.
dialek Tegal
dialek Banyumasan
dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
dialek Pekalongan
dialek Kedu
dialek Bagelen
dialek Semarang
dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
dialek Blora
dialek Surakarta
dialek Yogyakarta
dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
dialek Surabaya
dialek Malang
dialek Jombang
dialek Tengger
dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Bahasa Jawa Banten
Bahasa ini menjadi bahasa utama Kesultanan Banten (tingkatan bebasan) yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa ini juga menjadi bahasa sehari – harinya warga Banten Lor (Banten Utara).
Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar.
Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf ‘e’, ada dua versi. ada yang diucapkan ‘e’ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang diucapkan ‘a’, seperti pada kata “Apa”. Daerah yang melafalkan ‘a’ adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan ‘e’ adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya.
Contoh :
‘kule’, dibaca ‘kula’ atau ‘kule’. (artinya, saya)
‘ore’, dibaca ‘ora’ atau ‘ore’. (artinya, tidak)
‘pire’, dibaca ‘pira’ atau ‘pire’ (artinya, berapa)
Contoh :
(B.Jawa Banten tingkat bebasan)
Pripun kabare? Sampean ayun ning pundi?
Sampun dahar dereng?
Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi?
Kasihe sinten?
Kasihe Haban Ghazali lamun boten salah.
Oh, wenten ning payun koh.
Matur nuhun nggih, kang.
Yewis, napik dolanan saos nggih!
Kang Haban! Ning pundi saos? boten ilok kepetuk!
Napik mengkoten, geh!
Kule linggar sareng teh Toyah ning pasar.
Ayun tumbas sate Bandeng sios.
(B.Jawa Banten tingkat standar)
Kepremen kabare? Sire arep ning endi?
Wis mangan durung?
Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi?
Ngarane sape?
Ngarane Haban Ghazali ari ore salah.
Oh, ning arep koh.
Nuhun ye, kang.
Yewis, aje memengan bae ye!
Kang Haban! Ning endi bae? ore ilok kependak!
Aje mengkonon, Geh!
Kite lunge karo teh Toyah ning pasar.
Arep tuku sate Bandeng siji.
(B.Indonesia)
Bagaimana kabarnya? Kamu mau kemana?
Sudah makan belum?
Maaf, saya tidak tahu rumahnya kang Haban itu dimana?
Namanya siapa?
Namanya Haban Ghazali kalau tidak salah.
Oh, di depan tuh.
Terima kasih ya, kang.
Ya sudah, jangan bermain saja ya!
Kang Haban! Kemana saja? tidak pernah bertemu!
Jangan begitu, geh!
Saya pergi dengan teh Toyah ke pasar.
Mau beli sate Bandeng satu.
Bahasa Jawa Banyumasan
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah,Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayahBanyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Rumpun Bahasa Jawa Bagian Barat
Terdapat 4 sub-dialek utama dalam Bahasa Banyumasan, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon – Indramayu (Cirebonan) dan Banten Utara.
Wilayah Utara
Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal.
Wilayah Selatan
Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.
Cirebon – Indramayu
Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam propinsi Jawa Barat.
Banten Utara
Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk dalam propinsi Banten.
Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.
Perbandingan kosakata Banyumasan dengan bahasa Jawa baku
Inyong >>> aku (bandingkan dengan bahasa Jawa Kuna ingwang dan Jawa Pertengahan ingong)
Gandhul >>> pepaya
Rika >>> kamu
Bahasa Jawa Bumiayu
Dialek Bumiayu atau Bahasa Bumiayu, adalah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Bumiayu (Kabupaten Brebes) dan sekitarnya. Dialek ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Dialek Banyumas cuma hal cara bicaranya tidak sekasar Bahasa Sumpiuh, kosakata dan cara pengucapannya juga mirip. Hal yang membedakan dialek Bumiayu dengan banyumas hanya pada intonasi dan pemilihan kata.
Ada sebagian kata yang umum dipakai oleh orang Banyumas tetapi tidak digunakan oleh orang Bumiayu. misalnya kata masuk, kata yang biasa dipakai oleh orang Banyumas adalah mlebu tetapi orang Bumiayu memakai kata manjing, kedua kata tersebut sama-sama bahasa Jawa dan memiliki arti yang sama yaitu masuk kedalam ruangan.
Jika diteliti lebih jauh, bahasa Bumiayu banyak dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Dalam tradisi budaya Jawa, bahasa Sansekerta berada di atas Krama Hinggil, bahasa Jawa yang dianggap paling halus. Kata “manjing”, misalnya, sering dipakai oleh para dalang dalam cerita perwayangan. Kata “manjing” digunakan secara khusus untuk menggambarkan ruh yang masuk ke dalam diri sang Arjuna. Tapi di Bumiayu, kata tersebut digunakan untuk sembarang kalimat yang berkonotasi “masuk”. “Ayame manjing umah”, misalnya, berarti “ayamnya masuk rumah.”
Dialek Bumiayu juga sering menambahkan akhiran ra (diucapkan rha), belih untuk mengakhiri kalimat, hal ini mungkin untuk menegaskan maksud dari kalimat tersebut. Misal:
Ana apa, ra? –> Ada apa ?
Rikané masa ora ngerti, ra ? –> Kamu masa ngga ngerti ?
Wis mangan, belih ? –> Sudah makan belum ?
Pan maring ngendi ? –> mau pergi kemana ?
Bahasa Jawa Brebes
Karakteristik
Karakteristik bahasa Jawa Brebes dapat diamati dalam bidang fonologi, morfologi, maupun dalam bidang leksikon yang merupakan ciri khas bahasa tersebut. Hal ini disebabkan oleh keadaangeografis wilayah kabupaten Brebes yang berbatasan langsung dengan daerah-daerah lain yang menggunakan dialek berbeda. Daerah-daerah tersebut adalah sebelah selatan berbatasan dengan bahasa Jawa dialek Banyumasan, sebelah timur berbatasan Kabupaten/ Kota Tegal yang menggunakan bahasa Jawa dialek Tegalan, sebelah barat berbatasan dengan eks karesidenan Cirebon, sedangkan sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Disamping itu wilayah pemakaiannya berbatasan langsung dengan daerah-daerah yang berbatasan dengan bahasa Sunda yaitu di daerahkabupaten Brebes bagian selatan. Hal inilah yang menyebabkan bahasa Sunda memengaruhi bahasa Jawa Brebes terutama dalam bidang leksikon.
Bahasa Jawa Brebes banyak memyimpan ciri-ciri yang mirip dengan atau sama dengan bahasa Jawa Kuna yaitu dengan masih memelihara huruf akhir konsonan *-b, *-d, dan *-g misalnyatengkureb(tengkurap), lemud(nyamuk) dan wareg (kenyang). Untuk *-k misalnya pundak (pundak) dan jentik (jari), akhiran *-ek misalnya cecek (cicak).
Ciri yang lain dalam hal suku kata, bahasa Jawa Brebes masih memelihara kata-kata yang bersuku kata tiga, seperti weringin (pohon beringin), dan kemiri (kemiri). Kata yang berakhiran huruf *-b, *-d, *-k, *-ek dan *- kata yang bersuku kata tiga dalam bahasa Jawa Standar masing-masing akan muncul sebagai -p, -t, -k, -? dan a? dan katanya bersuku kata dua. Atas dasar ini, maka contoh-contoh diatas dalam bahasa Jawa Standar muncul sebagai mengkurep, lemut, wareg, pundhak (punda’), jenthik (jenthi’), cecak (ceca’), ringin, dan miri.
saya ganteng sekali sempak
Bahasa Jawa Cirebon
Bahasa Cirebon, Bahasa Jawa Cirebon, Cirebonan atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai basa Cerbon ialah sejenis dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Pedes, Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, (Subang), Jatibarang, Indramayu, sampai Cirebon dan Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah.
kosakata
Sebagian besar kosa kata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun termasuk bahasa Jawa, mempunyai perbedaan cukup besar dengan “bahasa Jawa baku”, yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu bahasa Jawa dialek Cirebon. [4]
Berikut ini contoh kalimat dalam bahasa Cirebon :
Kepriben kabare, cung? — Bagaimana kabarnya, nak?
Isun lunga sing umah — Aku pergi dari rumah
Aja gumuyu bae — Jangan tertawa saja
Sira arep mendhi? — Kamu mau ke mana?
Sira arep njaluk beli? — Kamu mau minta ga?
Dalam bahasa pantura (Pemalang) :
Keprimen kabare, kang?
Nyong lungo kading umah
Ojo gemuyu bae
Koe pan aring endi?
Koe pan njaluk pora?
Dialek Bahasa Cirebon
Menurut Bapak Nurdin M. Noer Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon, Bahasa Cirebon memiliki setidaknya tiga Dialek, yakni Bahasa Cirebon dialek Dermayon atau yang dikenal sebagai Bahasa Indramayuan, Bahasa Cirebon dialek Jawareh (Jawa Sawareh) atau Bahasa Jawa Separuh. dan Bahasa Cirebon dialek Plered.
Bahasa Cirebon dialek Jawareh (Jawa Sawareh)
Dialek Jawareh atau disebut juga sebagai Jawa Sawareh (separuh) merupakan dialek dari Bahasa Cirebon yang berada disekitar perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Brebes, atau sekitar Perbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Dialek Jawareh ini merupakan gabungan dari separuh Bahasa Jawa dan separuh bahasa Sunda. [5]
Bahasa Cirebon dialek Dermayon
Dialek Dermayon merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan secara luas diwilayah Kabupaten Indramayu, menurut Metode Guiter, dialek Dermayon ini memiliki perbedaan sekitar 30% dengan Bahasa Cirebon sendiri. Ciri utama dari penutur dialek Dermayon adalah dengan menggunakan kata “Reang” sebagai sebutan untuk kata “Saya” dan bukannya menggunakan kata “Isun” seperti halnya yang digunakan oleh penutur Bahasa Cirebon.
Bahasa Cirebon dialek Plered (Cirebon Barat)
Dialek Plered merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan diwilayah sebelah barat Kabupaten Cirebon, dialek ini dikenal dengan cirinya yaitu penggunaan huruf “o” yang kental, misalkan pada Bahasa Cirebon standar menggunakan kata “Sira”, dialek Kabupaten Cirebon bagian Barat ini menggunakan kata “Siro” untuk mengartikan “Kamu”, kata “Apa” menjadi “Apo” dan Jendela menjadi “Jendelo”. Penutur dialek yang menempati kawasan barat Kabupaten Cirebon ini lebih mengekspresikan dirinya dengan sebutan “Wong Cirebon”, berbeda dengan Penduduk Kota Cirebon yang menggunakan Bahasa Cirebon standar (Sira) yang menyebut diri mereka sebagai “Tiang Grage”, walaupun antara “Wong Cirebon” dan “Tiang Grage” memiliki arti yang sama, yaitu “Orang Cirebon”[6]
Contoh kalimat dalam bebasan Cirebon
Pripun kabar ae? Panjenengan bade teng pundi?
Sampun dahar dereng?
Permios, Kula mboten uning griya ae rara Astutiningsih kuh teng pundi?
Jeneng ae sinten?
Jeneng ae Astutiningsih lamun mboten sawon
Oh, wenten teng ajeng kuh
Kesuwun inggih, kang!
Yewis, sampun dolanan mawon inggih
rara Astutiningsih! Ning pundi mawon? mboten ilok kepetak!
Sampun mekoten, inggih
Kula kesa kaliyan yu Toyah teng peken
Bade tumbas sate bandeng setunggal.
Perbandingan dengan bebasan Serang (Jawa Banten)
Pripun kabare? Sampean ayun ning pundi?
Sampun dahar dereng?
Permios, kule boten uning griyane Astutiningsih niku ning pundi?
Kasihe sinten?
Kasihe Astutiningsih lamun boten salah.
Oh, wenten ning payun koh.
Matur nuhun nggih, kang.
Yewis, napik dolanan saos nggih!
Astutiningsih! Ning pundi saos? boten ilok kepetuk!
Napik mengkoten, geh!
Kule linggar sareng teh Toyah ning pasar.
Ayun tumbas sate bandeng sios.
Perbandingan dengan bahasa Ngapak Pemalang
Primen Kabare? Koe pan aring endi?
Wis mangan durung?
Ngampurone, nyong ora ngerti umahe Mbak Astutiningsih kuwe nang endi?
Arane sapa?
Arane Astutiningsih ning ora salah.
Oh, nang ngarep kuwe.
Matur nuwun yo, kang.
Yo wis, ojo dolanan bae yo!
Mbak Astutiningsih! Nang endi bae? ora tau ketemu!
Ojo kaya kuwe, yo!
Nyong lungo karo Mbak Toyah aring pasar.
Pan tuku sate Bandeng siji.
Perbandingan dengan bebasan/krama Pemalang
Pripun kabare/pawartose? Panjenengan bade teng pundi?
Sampun dahar nopo dereng?
Ngampuntene, kulo mboten ngertos griyone Mbak Astutiningsih niku teng pundi?
Naminipun sinten?
Naminipun Astutiningsih yen mboten salah.
Oh, teng ngajeng niku.
Matur nuwun nggih, kang.
Nggih mpun, ampun dolanan mawon nggih!
Mbak Astutiningsih! Teng pundi mawon? mboten nate kepanggih!
Ampun kados niku, nggih!
Kulo tindak kalih Mbak Toyah teng peken.
Bade tumbas sate Bandeng setunggal.
Arti dalam bahasa Indonesia
Bagaimana kabar Anda? Kamu mau ke mana?
Sudah makan belum?
Maaf, saya tidak tahu rumah Mbak Astutiningsih itu di mana?
Namanya siapa?
Namanya Astutiningsih kalau tidak salah.
Oh, di depan tuh.
Terima kasih.
Ya sudah, jangan bermain saja ya!
Mbak Astutiningsih! Kemana saja? Tidak pernah bertemu!
Jangan begitu!
Saya pergi dengan Toyah ke pasar.
Mau beli satu sate bandeng.
Ada juga kata-kata yg sering digunakan oleh orang-orang tua dahulu seperti
Sruwal: Celana
Pinggan: Mangkok
Mangan durung?: Sudah makan belum
Jonong aja ning kono: Awas jangan di situ
Bahasa Jawa Tegal
Bahasa Jawa Tegal adalah salah satu dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Kota Tegal dan sekitarnya.
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan bagian barat. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Dialek Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang relatif sama dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain: perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.
Ciri khas
Selain pada intonasinya, dialek Tegal memiliki ciri khas pada pengucapan setiap frasanya, yakni apa yang terucap sama dengan yang tertulis. Secara positif -seperti dipaparkan oleh Ki Enthus Susmono dalam Kongres Bahasa Tegal I- hal ini dinilai memengaruhi perilaku konsisten masyarakat penggunanya. Untuk lebih jelas, mari kita amati beberapa contoh dan tabel berikut ini:
padha, dalam dialek Tegal tetap diucapkan ‘pada’, seperti pengucapan bahasa Indonesia, tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan podho.
saka, (dari) dalam dialek Tegal diucapkan ‘saka’, tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan soko.
Tabel 1 (perbedaan pengucapan)
Dalam kasus tersebut, Enthus menilai masyarakat pengguna bahasa Jawa wetanan (Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya) kurang konsisten ketika mengucapkan gatutkaca ditambahi akhiran ne. Kata itu bukan lagi diucapkan gatutkocone, melainkan katutkacane, seperti yang dituturkan oleh masyarakat Tegal. Lihat tabel berikut ini:
Tabel 2 (kesamaan ucapan pada kata dasar ditambah akhiran ne)
Wilayah pengguna
Berikut adalah pemetaan masyarakat pengguna dialek Tegal:
Kabupaten Brebes
Kota Tegal
Kabupaten Tegal
Bagian barat Kabupaten Pemalang
Tokoh dialek Tegal
Ki Enthus Susmono, yang selalu setia memasukkan unsur dialek Tegal dalam setiap pementasan wayangnya
Lanang Setiawan, yang telaten mengumpulkan kosa kata dialek Tegal kemudian disusun dalam Kamus Bahasa Tegal. Lanang juga produktif menciptakan lagu-lagu Tegalan yang disebarkan melalui jalur indie label.
Ki Slamet Gundono
Hadi Utomo
Yono Daryono, yang menggagas Kongres Bahasa Tegal I
Contoh Dialek Tegal
A : “Koen kas maring ngendi?”
B : “Kas maring warung.”
A : “Tane koen pan maring ngendi maning.”
B : “Nyong pan maring warnet. Pan melu?”
A : “Neng kana pan ngapa?”
B : “Pan ngerjakna PR kliping. Sida melu?”
A : “Ya wis, tapi sing mbayari sapa?”
B : “Urunan wis. Oke?”
A : “Oke wis. Makasih.”
Bahasa Jawa Kedu
Bahasa Jawa Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu, tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek Kedu adalah nenek moyang dari bahasa Jawa yang biasa digunakan di Suriname.
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek “bandek” (Yogya-Solo) dan dialek “ngapak” (Banyumas). Contoh: Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
“Nyong”: aku, tetapi orang Magelang memakai “aku” orang Temanggung yang di kotanya juga menggunakan “aku” di Parakan juga sebagian kecil menggunakan “aku”
“njagong”: duduk (bahasa Jawa standar: lungguh)
“Njur piye”: Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar: “banjur piye” atau “terus piye”)
“gandhul”: pepaya
“mbaca”: membaca (bahasa Jawa standar: maca)
“mberuh” = (embuh ora weruh): tidak tahu
“mbek” = (kambek , karo): dengan contoh “mbek sopo?” artinya “dengan siapa?”
“krongsi” = kursi (Temanggung)
“petek poteh sekele koneng numpak dhugar gejedud-jedud” = (dialek Prembun) yang berarti: ayam putih kakinya kuning menumpang dokar terantuk.
Adanya pengantar: eeee, oooo, lha kok, ehalah, ha- inggih, sering digunakan dalam tuturan basa-basi masyarakat Temanggung jika lagi mengobrol. Ini menandakan jika orang Temanggung memang menyenangkan jika diajak mengobrol.
Bahasa Jawa Serang
Bahasa Jawa Serang atau Bahasa Jawa Banten adalah bahasa Jawa yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan Sunda Banten. Sebagian besar bahasanya sama seperti bahasa Jawa aslinya namun kata-kata yang pada bahasa Jawa asli berakhiran ‘o’ pada bahasa Jawa Serang berakhiran ‘e’ (baca: seperti e pada kata “peti”) seperti akhiran pada bahasa Melayu/Malaysia. Misalnya kata “apa” yang dalam bahasa Jawa aslinya adalah “opo” menjadi “ape” pada bahasa Jawa Serang. Sebagian lagi merupakan bahasa Sunda Banten yang berbeda pula dengan Sunda Priangan.
Bahasa Jawa Pekalongan
Bahasa Jawa Pekalongan atau Dialek Pekalongan adalah salah satu dari dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa, yaitu daerah Jawa Tengah terutama di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Dialek Pekalongan termasuk bahasa “antara” yang dipergunakan antara daerah Tegal (bagian barat), Weleri (bagian timur), dan daerah Pegunungan Kendeng(bagian selatan).
Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang “sederhana” namun “komunikatif”. Meskipun ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang Jogya atau Solo, dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti.
Ciri khas
Meskipun dialek Pekalongan banyak menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal, misalnya: bae, nyong, manjing, kaya kuwe, namun pengucapannya tak begitu “kental” melainkan lebih “datar” dalam pengucapannya.
Ada lagi perbedaan lainnya, contohnya menggunakan pengucapan: ri, ra, po’o, ha’ah pok, lha, ye.
Demikian pula adanya istilah yang khas, seperti: Kokuwe artinya “sepertimu”, Tak nDangka’i artinya “aku kira”, Jebhul no’o artinya “ternyata”, Lha mbuh artinya “tidak tau”, Ora dermoho artinya “tak sengaja”, Wegah ah artinya “tak mau”, Nghang priye artinya “bagaimana”, Di Bya bae ra artinya “dihadapi saja”, dan masih banyak lainnya.
Dialek luar kota
Penggunaan dialek Pekalonga di daerah agak pinggir dari daerah kota, ada perbedaan sedikit pada pengucapannya. Banyak huruf vokal dan konsonan yang diucapkan agak “kental”, umumnya dengan penambahan huruf “h” dalam pengucapannya. Bentuk dialek ini dipergunakan di daerah Batang (di bagian timur), Pemalang/Wiradesa (di bagian barat), serta Bandar/Kajen (di bagian selatan).
Contoh:
Kata banyu (air) diucapkan benhyu
Kata Iwan (nama) diucapkan I-whan
Kata bali (pulang) diucapkan bhelhi
“Brahim” (nama: Ibrahim) diucapkan Brehiim
Contoh kalimat:
Wis ho, nyong pak bhelhi ndikik (Sudah ya, aku akan pulang dahulu)
Penggunaan
Dialek Pekalongan asli dapat terlihat penggunaannya di pasar-pasar kota dan kabupaten Pekalongan, sedangkan penggunaan sehari-hari telah bercampur dengan dialek daerah lain dan bahasa Indonesia. Umumnya Bahasa Pekalongan lebih dikenal sebagai bahasa lisan, namun Harian Suara Merdeka memiliki kolom tulisan berbahasa Pekalongan yang dimuat secara mingguan di edisi Suara Pantura, dengan tajuk berjudul Warung Megono.
Bahasa Jawa Surakarta
Bahasa Jawa Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Dialek ini menjadi standar bagi pengajaran bahasa Jawa.
Meskipun satu rumpun, Bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri tersendiri yang khas mencerminkan dari mana asal Bahasa Jawa tersebut.
Untuk istilah “dingin” di Surakarta menggunakan kata Bahasa Jawa “adem”, sedangkan orang yang tinggal di Semarang menyebutnya “atis”. Contoh:
“‘Lha piye tho, aku meh mangkat nanging ra duwe duit.”
(“Bagaimana ini, saya akan berangkat tapi tidak punya uang.”)
“Mbok kowe mesake aku, dijilehi duit piro wae sak nduwekmu.”
(“Kasihani aku, dipinjami uang berapa saja yang kamu punya.”)
“Sesok tak baleke yen wis oleh kiriman soko mbakyu ku.”
(“Besok (dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kapan) saya kembalikan kalau sudah dapat kiriman dari kakak perempuan saya.”)
Bahasa Jawa Semarang
Bahasa Jawa Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya, Yogyakarta, Solo, Boyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngoko, ngoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
Frasa: “Yo ora..” (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi “Yo orak too “. Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
Contoh lain: ” kuwi ugo” (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi “kuwi barang” (“barang” diucapkan sampai sengau memakai huruf h “bharhang”).
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frase, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi “Bang-Jo”, Limang rupiah (5 rupiah) menjadi “mang-pi”, kebun binatang menjadi “Bon-bin”, seratus (100) menjadi “nyatus”, dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya “Taman lele” tak bisa disingkat “Tam-lel” juga Gedung Batu tak bisa menjadi “Ge-bat”, dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; “Kau lho pak mu Nadri” artinya “Itu lho pamanmu dari Wanadri”. “Arep numpak Kijang kol” artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk “Colt”, disebut “kol” maka setelah diganti “Toyota Kijang” menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi “mercy-kol”.
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, Tiongkok, Arab, Pakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membdakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti “Piye, jal?” (=Bagaimana, coba?) dan “Yo, mesti!”. Orang semarang lebih suka menggunakan kata “He’e” daripada “Yo” atau “Ya”.
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel “ik” untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman :”Alangkah indahnya!”, orang Semarang berkata: “Apik,ik!”. Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: “Sayang, orangnya pergi!”, orang Semarang berkata: “Wonge lungo, ik”!.
Partikel “ik” kemungkinan berasal dari kata “iku” yang berarti “itu’ dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan “He’e, ik!” atau “Yo, ik”.
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: “semeh” Yang berarti “ibu” dan “sebeh” yang berarti “ayah”, yang dalam dialek Jawa yang lain, “sebeh” sering dipakai dalam arti “mantra” atau “guna-guna”
Bahasa Jawa Blora
Bahasa Jawa Blora adalah salah satu dialek dalam bahasa Jawa, dituturkan di daerah Kabupaten Blora dan sekitarnya. Dialek Blora secara umum dipertuturkan diseluruh wilayah Kabupaten Blora,Kabupaten Rembang dan sebagian wilayah perbatasan dengan provinsi Jawa Timur seperti di Kabupaten Bojonegoro. Dialek ini juga digunakan oleh kelompok orang Samin yang tersebar di Kabupaten Blora, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Pati.
Dialek ini sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan dialek Jawa lainnya, hanya terdapat beberapa istilah yang khas Blora, misalnya: nDak iya “lèh”?? (kira kira artinya sama dengan “Masak iya sih”). Piye “lèh” iki?? Kok “ogak” “mulèh-mulèh”, malah dha neng ngisor “greng”?? Nèng kéné hawané “anyep”, wetengku wis “lesu”. Wis ndang di”genjong”, “engko” selak masuk angin. Greng : dhompolan bambu; Ogak : ora = tidak; mulèh : mulih : pulang; anyep : adhem : dingin; lesu : ngelih : lapar; digenjong: diangkat/dibopong; engko : mengko : nanti;
Perbedaan
Beda dialèk Blora dengan dialek bahasa Jawa pada umumnya antara lain:
Akhiran “uh” jadi “oh”. Contohnya:
abuh jadi aboh
butuh jadi butoh
embuh jadi emboh
ngunduh jadi ngundoh
suruh jadi suroh
sepuluh jadi sepuloh
utuh jadi utoh
Akhiran “ih” jadi “èh”[1] , contohnya:
batih jadi batèh
gurih jadi gurèh
kluwih jadi kluwèh
mulih jadi mulèh
sugih jadi sugèh
sapih jadi sapèh
putih jadi putèh
Akhiran “mu” jadi “em”, yang artinya hak milik[2] , contohnya:
omahmu = omahem
klambimu = klambinem
anakmu = anakem
Istilah lainnya:
ambèk = karo
briga-brigi = bedhigasan
gendul = botol
jingklong = lemut = nyamuk
kelar = kuat (contohnya: ora kelar ngglewet = ora kelar obah)
lebi = tutup (lawange ndhang di lebi, selak jingklonge mlebu)
leket = lelet = lambat
lodhong = stoples
mèk =njupuk = mengambil
mèlok = mèlu
menga = ora ditutup (lawang)= terbuka
njuk = njaluk = minta
ndahnéya = ndahléya = “ora bakal klakon” = masak iya sih?
ndara ya = mestinya
ndhenger = mengerti
ngglewet = ngglawat, bergerak
pethitha-pethithi = briga brigi
penging = ora éntuk = dilarang
plekoto = paksa
sitok = sicok = siji = satu
suker = becek
biting = sodo = lidi
jeblok = pentong = berlumpur
gelok = toples
énjoh = kodak = iso = bisa
gablek = nduwe = punya
duwik = duit
wedhi = lemah = pasir
ceblok = jatuh
mbelak = pinter = pandai
mbiluk = pinter banget= pandai sekali
ampo = panganan soko lempung [ marahi gegelen ]
suwal = sruwal = kathok = clono=celana
Bahasa Jawa Pantura Timur
Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang sering disebut dialek Muria karena dituturkan di wilayah sekitar kaki gunung Muria, yang meliputi wilayah Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang dan Tuban.
Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em atau -nem (dengan e pepet) menggantikan akhiran -mu dalam bahasa Jawa untuk menyatakan kata ganti posesif orang kedua tunggal. Akhiran -em dipakai jika kata berakhiran huruf konsonan, sementara -nem dipakai jika kata berakhiran vokal. Misalnya kata kathok yang berarti celana menjadi kathokem, klambi yang berarti baju menjadi klambinem, dan sebagainya.
Ciri lainnya adalah sering digunakannya partikel “eh”, dengan vokal e diucapkan panjang, dalam percakapan untuk menggantikan partikel bahasa Jawa “ta”. Misalnya, untuk menyatakan: “Ini bukumu, kan?”, orang Muria berkata: “Iki bukunem, eh?”(Bahasa Jawa standar: “Iki bukumu, ta?”). Contoh lain :”Jangan begitu, dong!”, lebih banyak diucapkan “Aja ngono, eh!” daripada “Aja ngono, ta!”
Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek Jawa yang lain antara lain:
“lamuk/jengklong” berarti “nyamuk” (Bahasa Jawa standar: nyamuk atau lemut)
“mbledeh/mblojet” berarti “telanjang dada” (Bahasa Jawa standar: ngliga)
“wong bento” berarti orang gila” (Bahasa Jawa standar: wong edan)
“pet” berarti “pipa atau air ledeng” (Bahasa Jawa standar: ledeng)
“neker” berarti “kelereng” (Bahasa Jawa standar: setin)
“jengen” berarti “nama” (Bahasa Jawa standar: jeneng)
“ceblok” berarti “jatuh” (Bahasa Jawa standar: tiba)
“digudak” berarti “dikejar” (Bahasa Jawa standar: dioyak)
“luru” berarti “cari” (Bahasa Jawa Standar: golek)
“mendarat” berarti “membantu” (Bahasa Jawa Standar: rewang)
“pet” berarti “ledeng” (Bahasa Jawa Standar: ledheng)
Bahasa Jawa Madiun
Bahasa Jawa Madiun dipergunakan di daerah Jawa Timur Mataraman (perbatasan Jawa Tengah bagian tengah dan selatan). Daerah kadipaten Mediyun atau yang sekarang eks Karesidenan Madiun yakni kota Madiun, kabupaten Madiun, kabupaten Ngawi, kabupaten Magetan, kabupaten Ponorogo, dan kabupaten Pacitan semuanya dalam wilayah propinsi Jawa Timur, namun sebelum proklamasi RI, termasuk kesultanan Mataram (Jogja/Solo), maka dialek Madiun itu lebih dekat dengan dialek Jawa Tengah ketimbang dialek Jawa Timur Surabaya. Dibanding dialek Jawa Tengah, ciri utamanya adalah dalam intonasi. Orang Madiun sering memberi tekanan pada suku kata pertama, contohnya “bocah kok kurang ajar banget” diucapkan “byuh, byuh… buocah kok kuorang ajar men”.
Namun ada kata-kata yang menjadi ciri dialek Madiun:
gong, dong (Ponorogo, Pacitan) = belum
mboyak = mbok bèn = luwèh (Jogja), terserah aku/kamu, (Betawi: biarin)
éram, jègèg = hebat
jingklong = nyamuk
édhuk = éthém = enak, keenakan
engkè = maeng = tadi
men = nemen = sekali
byuh… byuh = jika kaget ataupun heran
yo ne, wis e, sik e = yo an, wis an, sik an (Malang,Surabaya), Aku memang tak losne Yo ne
tarahan = memanglah
kowe neng ndi kowe = subjek diulang, awakmu nang ndi ( Malang, Surabaya)
Nggiatekne = gak ngurus ( malang, Surabaya )
enek = onok ( surabaya )
awit = sudah mulai
bar = selesai
loroi = tegur
umbar = dibiarkan
mbaturi = menemani
mblituk i = berbohong, ngapusi ( malang, kediri ) mbujuk i = surabaya
los ne = tidak dibatasi/ dimaksimalkan
Bahasa Jawa Surabaya
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Penggunaan
Batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai wilayah:
Wilayah Selatan
Perak (Kab. Jombang – bukan Tanjung Perak di Surabaya).
Wilayah Perak Utara masih menggunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah menggunakan Dialek Kulonan.
Malang (beberapa daerah di wilayah Kabupaten dan Kota Malang juga menggunakan dialek ini)
Wilayah Utara
Madura
Beberapa orang Madura dapat menggunakan Dialek ini secara aktif.
Barat
Wilayah Gresik
Timur
Belum diketahui secara pasti, namun di sepanjang pesisir tengah Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo sampai Banyuwangi) Dialek ini juga banyak digunakan.
Akhir-akhir ini, banyak media lokal yang menggunakan dialek Surabaya sebagai bahasa pengantar mereka.
Orang Surabaya lebih sering menggunakan partikel “rek” sebagai ciri khas mereka. Partikel ini berasal dari kata “arek”, yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata “bocah” (anak) dalam bahasa Jawa standar. Partikel lain adalah “seh” (e dibaca seperti e dalam kata edan), yang dlam bahasa Indonesia setara dengan partikel “sih”.
Orang Surabaya juga sering mengucapkan kata “titip” secara /tetep/, dengan i diucapkan seperti /e/ dalam kata “edan”; dan kata “tutup” secara /totop/ dengan u diucapkan seperti /o/ dalam kata “soto”. Selain itu, vokal terbuka sering dibuat hambat, seperti misalnya: “kaya” (=seperti) lebih banyak diucapkan /k@y@?/ daripada /k@y@/, kata “isa” (=bisa) sering diucapkan /is@?/ daripada /is@/.
Kosa kata
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
“Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
“kathuken” berarti “kedinginan” (bahasa Jawa standar: kademen);
“gurung” berarti “belum” (bahasa Jawa standar: durung);
“gudhuk” berarti “bukan” (bahasa Jawa standar: dudu);
“deleh” berarti “taruh/letak” (delehen=letakkan) (bahasa Jawa standar: dekek);
“kek” berarti “beri” (kek’ono=berilah) (bahasa Jawa standar: wenehi);
“ae” berarti “saja” (bahasa Jawa standar: wae);
“gak” berarti “tidak” (bahasa Jawa standar: ora);
“arek” berarti “anak” (bahasa Jawa standar: bocah);
“kate/kape” berarti “akan” (bahasa Jawa standar: arep);
“lapo” berarti “sedang apa” atau “ngapain” (bahasa Jawa standar: ngopo);
“opo’o” berarti “mengapa” (bahasa Jawa standar: kenopo);
“soale” berarti “karena” (bahasa Jawa standar: kerono);
“atik” (diucapkan “atek”) berarti “pakai” atau “boleh” (khusus dalam kalimat”gak atik!” yang artinya “tidak boleh”);
“longor/peleh” berarti “tolol” (bahasa Jawa standar: goblok/ndhableg);
“cek” (“e” diucapkan seperti kata “sore”) berarti “agar/supaya” (bahasa Jawa standar: ben/supados);
“gocik” berarti “takut/pengecut” (bahasa Jawa standar: jireh);
“mbadok” berarti “makan” (sangat kasar) (bahasa Jawa standar: mangan);
“ciamik soro/mantab jaya” berarti “enak luar biasa” (bahasa Jawa standar: enak pol/enak banget);
“rusuh” berarti “kotor” (bahasa Jawa standar: reged);
“gae” berarti “pakai/untuk/buat” (bahasa Jawa standar: pakai/untuk=kanggo, buat=gawe);
“andhok” berarti “makan di tempat selain rumah” (misal warung);
“cangkruk” berarti “nongkrong”;
“babah” berarti “biar/masa bodoh”;
“matek” berarti “mati” (bahasa Jawa standar: mati);
“sampek/sampik” berarti “sampai” (bahasa Jawa standar: nganti);
“barekan” berarti “lagipula”;
“masiyo” berarti “walaupun”;
“nang/nak” berarti “ke” atau terkadang juga “di” (bahasa Jawa standar: menyang);
“mari” berarti “selesai”;(bahasa Jawa standar: rampung); acapkali dituturkan sebagai kesatuan dalam pertanyaan “wis mari tah?” yang berarti “sudah selesai kah?” Pengertian ini sangat berbeda dengan “mari” dalam Bahasa Jawa Standar. Selain petutur Dialek Suroboyoan, “mari” berarti “sembuh”
“mene” berarti “besok” (bahasa Jawa standar: sesuk);
“maeng” berarti tadi.
“koen” (diucapkan “kon”) berarti “kamu” (bahasa Jawa standar: kowe). Kadangkala sebagai pengganti “koen”, kata “awakmu” juga digunakan. Misalnya “awakmu wis mangan ta?” (Kamu sudah makan kah?”) Dalam bahasa Jawa standar, awakmu berarti “badanmu” (awak = badan)
“lading” berarti “pisau” (bahasa Jawa standar: peso);
“lugur” berarti “jatuh” (bahasa Jawa standar: tiba);
“dhukur” berarti “tinggi” (bahasa Jawa standar: dhuwur);
“thithik” berarti “sedikit” (bahasa Jawa standar: sithik);
“temen” berarti “sangat” (bahasa Jawa standar: banget);
“pancet” berarti “tetap sama” ((bahasa Jawa standar: tetep);
“iwak” berarti “lauk” (bahasa Jawa standar: lawuh, “iwak” yang dimaksud disini adalah lauk-pauk pendamping nasi ketika makan, “mangan karo iwak tempe”, artinya Makan dengan lauk tempe, dan bukanlah ikan (iwak) yang berbentuk seperti tempe);
“engkuk” (u diucapkan o) berarti “nanti” (bahasa Jawa standar: mengko);
“ndhek” berarti “di” (bahasa Jawa standar: “ing” atau “ning”; dalam bahasa Jawa standar, kata “ndhek” digunakan untuk makna “pada waktu tadi”, seperti dalam kata “ndhek esuk” (=tadi pagi),”ndhek wingi” (=kemarin));
“nontok” lebih banyak dipakai daripada “nonton”;
“yok opo” (diucapkan /y@?@p@/) berarti “bagaimana” (bahasa Jawa standar: “piye” atau *”kepiye”; sebenarnya kata “yok opo” berasal dari kata “kaya apa” yang dalam bahasa Jawa standar berarti “seperti apa”)
“peno”/sampeyan (diucapkan pe n@; samp[e]yan dengan huruf e seperti pengucapan kata meja) artinya kamu
“jancuk” ialah kata kurang ajar yang sering dipakai seperti “fuck” dalam bahasa Inggris; merupakan singkatan dari bentuk pasif “diancuk”; variasi yang lebih kasar ialah “mbokmu goblok”; oleh anak muda sering dipakai sebagai bumbu percakapan marah
“waras” ialah sembuh dari sakit (dlm bahasa jawa tengah sembuh dari penyakit jiwa)
“embong” ialah jalan besar / jalan raya
“nyelang” arinya pinjam sesuatu
“parek/carek” artinya dekat
“ndingkik” artinya mengintip
“semlohe” artinya sexy (khusus untuk perempuan)
“jancuk” dari kata ‘dancuk’ dan turunan dari ‘diancuk’ dan turunan dari ‘diencuk’ yg artinya ‘disetubuhi’ (‘dientot’ bahasa betawinya) orang jawa (golongan mataraman) pada umumnya menganggap dialek suroboyoan adalah yang terkasar. tapi sebenarnya itu menujukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang. sikap basa basi yang diagung-agungkan wong jawa, tidak berlaku dalam kehidupan arek suroboyo. misalnya dalam berbicara, wong jawa menekankan tdak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua atau yang dituakan atau pemimpin, karena dianggap tdak sopan. Tapi dalam budaya arek suroboyo,itu tanda bahwa orang tersebut sejatinya pengecut, karena tidak berani memandang mata lawan bicara. Tapi kata jancuk juga dapat diartikan sebagai tanda persahabatan, arek-arek suroboyo kalo lama tidak bertemu dengan sahabatnya jika ketemu pasti ada kata jancuknya terucap contoh: “jancuk piye khabare rek suwi gak ketemu”, jancuk juga merupakan tanda seberapa dekatnya arek suroboyo dengan temannya dengan tanda apabila ketika kata jancuk diucapkan obrolan semakin hangat. contoh: “yo gak ngunu cuk critane matamua mosok mbalon gak mbayar”.
Selain itu, sering pula ada kebiasaan di kalangan penutur dialek Surabaya, dalam mengekspresikan kata ‘sangat’, mereka menggunakan penekanan pada kata dasarnya tanpa menambahkan kata sangat (bangat atau temen), misalnya “sangat panas” sering diucapkan “puanas”, “sangat pedas” diucapkan “puedhes”, “sangat enak” diucapkan “suedhep” dsb.
Hawane puanas (udaranya panas sekali)
Sambele iku puedhes (sambal itu pedas sekali)
Selain itu. salah satu ciri lain dari bahasa Jawa dialek Surabaya, dalam memberikan perintah menggunakan kata kerja, kata yang bersangkutan direkatkan dengan akhiran -no. Dalam bahasa Jawa standar, biasanya direkatkan akhiran -ke
“Uripno (Jawa standar: urip-ke) lampune!” (Hidupkan lampunya!)
“Tukokno (Jawa standar: tukok-ke) kopi sakbungkus!” (Belikan kopi sebungkus!)
Perbedaan
Perbedaan antara bahasa Jawa standar dengan bahasa Jawa Surabaya tampak sangat jelas berbeda dalam beberapa kalimat dan ekspresi seperti berikut :
Bahasa Jawa Surabaya : He yo’opo kabare rek?
Bahasa Jawa standar : Piye kabare cah?
Bahasa Indonesia : Apa kabar kawan?
Bahasa Jawa Surabaya : Rek, koen gak mangan a?
Bahasa Jawa standar : Cah, kowe ra podho maem to?
Bahasa Indonesia : Kalian tidak makan?
Bahasa Jawa Surabaya : Ton(nama orang), celukno Ida(nama orang) po’o
Bahasa Jawa standar : Ton, undangke Ida
Bahasa Indonesia : Ton, panggilkan Ida dong
Logat Doudoan
Logat Doudoan merupakan sempalan dari Dialek Surabaya, yang seperti pada logat Bawean merupakan akulturasi dari beberapa bahasa. Ditengarai logat Doudoan ini dipengaruhi selain Dialek Surabaya juga oleh Dialek Pantura Jawa Timur, Dialek Madura, dan lain-lain.
Beberapa kosakata yang membedakan dari Dialek Surabaya:
pangot atau ongot alih-alih kata lading yang berarti pisau (ditengarai berasal dari Dialek Pantura Jawa Timur)
kèpiyé atau piyé alih-alih kata yaapa atau kěkapa yang berarti bagaimana (dari Bahasa Jawa standar)
thethek alih-alih kata mentor yang berarti kacang mete
dan sebagainya
Kemudian, ada beberapa kata dalam bahasa Jawa (baik Dialek Surabaya maupun Bahasa Jawa standar) yang diucapkan berbeda, antara lain:
Penggunaan suku kata berakhiran -ěh dan -oh menggantikan -ih dan -uh. Contoh: putih menjadi putěh, uruh (busa) menjadi uroh, dsb.
Penggunaan i jejeg dan u jejeg pada beberapa suku kata yang harusnya dibaca i miring dan u miring. Contoh: cilik (kecil) menjadi ciliyk, kisut (keriput) menjadi kisuwt, dsb.
Namun sebagian besar kosakata logat ini hampir sama dengan Dialek Surabaya sehingga dapat dimasukkan ke dalam golongan Dialek Surabaya.\
Bahasa Jawa Malang
Bahasa Jawa Malang sangat berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Pada Bahasa Jawa Malangan identik dengan penggunaan bahasa terbalik, atau Boso Walikan (Osob Kiwalan). Bahasa walikan yang kita terkenal itu, sejarahnya bermula saat jaman perjuangan Hamid Rusdi. Bahasa itu ciptaan dari para pejuang kemerdekaan. Mereka itu kelompok Gerilyawan Rakyat Kota (GRK) yang sangat disegani di kota Malang. Bahasa walikan dianggap perlu untuk menjamin kerahasiaan dan sarana komunikasi para pejuang. Selain itu juga sebagai tanda pengenal kawan atau lawan.
Adapes = Sepeda
Alanet = Celono, Celana
Aranet = Tentara
Amalatok = Kotalama (nama daerah di Malang)
Asrob = Minum (identik dengan mabuk-mabukan)
Arudam = Madura
Ayabarus = Surabaya
Ayas = Saya, Aku
Dewor = Wedok, Wanita, Perempuan
Ebes = Bapak (diambil dari bahasa Arab “sebe”, jarene tapi )
Ewul = Luweh, Lapar
Hailuk = Kuliah
Halokes = Sekolah
Hamur = Rumah
Helos = Soleh (bisa juga sohel)
Helum = Muleh, Pulang
Hewod = Ndoweh
Ibar = Rabi, Menikah
Ilep = Peli, Penis
Ipok = Kopi (kalo ngopi = ngipok)
Itor = Roti
Itreng = Ngerti, Tahu
Kadit = Tidak, Nggak
Kampes = Sempak, Celana Dalam
Kana = Anak
Kane = Enak
Katub = Buthak, Botak
Kawapan = WTS, PSK
Keat = Taek, Tahi
Kendep = Pendek
Kera = Arek
Kewut = Tuwek, Tua
Kimpet = Tempik, Vagina
Kipa = Apik, Bagus, Sip
Kodew = Wedok, Perempuan, Wanita
Kolem = Melok, Melu, Ikut
Komes = Semok
Kopit = Cipok, Cium (kalo berciuman yoh kopitan )
Kotrik = Perempuan, Wanita,
Kowab = Bawo’, idem dengan kimpet
Kubam = Mabuk
Kunam = Manuk, Burung
Lab-Laban = Bal-Balan
Ladub = Budal, Berangkat
Landas = Sandal
Lawet = Jual (kata lauj di ambil gampangnya jadi lawet)
Lecep = Pecel
Lentip = Pentil
Libom = Mobil
Licek = Cilik, Kecil
Lontok = Kontol, Zakar
Lubak = Cabul
Lukup = Pukul, Tempeleng
Memes = Ibu, Mama
Nahelop = Polehan (nama daerah di Malang)
Nakam = Makan
Nates = Setan
Nawak = Kawan, Teman
Nayamul = Lumayan
Nenjap = Panjen (nama daerah di Malang)
Ngalam = Malang
Ngalup = Pulang
Nganal = Lanang, Laki-Laki, Pria
Ngayambes = Sembahyang, beribadah
Ngesop = Poseng, Jengkel, Kesal
Niam = Main
Nisak = Kasin (nama daerah di Malang)
Nolek = Kelon, Tidur Bareng
Nolab = Balon, WTS, PSK
Ojir = Uang (berasal dari “raijo”)
Oges = Sego, Nasi
Ojob = Bojo, Istri (bisa juga diartikan pacar)
Oker = Rokok (gak tau dari mana asalnya)
Onet = Cino, Cina
Ongis = Singo
Onosogrem = Mergosono
Orip = Piro, Berapa
Osed = Deso, Desa
Otop = Foto
Oskab = Bakso
Oyi = Iyo, Iya (biasanya diplesetkan menjadi “ojit” atau “ojrit”)
Rajajowas = Sawojajar
Rekem = Meker, Mikir
Rotom = Motor
Rudit = Tidur
Sam = Mas, Kakak Laki-Laki
Senjem = Menjes (sejenis tempe)
Seweng = Ngewes, Mabuk-Mabukan
Sinam = Manis
Silup = Polisi (aslinya isilup, biar gampang diambil silup)
Soak = Kaos
Tahes = Sehat
Takis = Sikat
Teles = Selet, Anus
Tencrem = Mencret
Tenyom = Kethek, Monyet
Todes = Sedot
Tumbej = Jembut, Rambut Kemaluan
Ujep = Peju, Sperma
Uklam = Mlaku, Jalan Kaki
Umak = Kamu, Anda
Utab = Batu (nama daerah di Malang)
Utapes = Sepatu
Utem = Metu, Keluar
Wanyik = Perempuan, Wanita
Amalatok = Kotalama (daerah ekstrem ndik ngalam )
ayas = saya, aku
ilep = peli, peler, burung yg belom disunat
kimpet = ndek ndukur sing ono temp** @TS di edit dulu bung urutannya
kowab = bawo’, idem dengan kimpet
kubam = mabok2an
lawet = jual (kata lauj di ambil gampangnya jadi lawet)
ngesop = poseng, jengkel, kesal
ngewes, seweng = mabok2an
nolek = kelon, tidur bareng
silup = polisi
umak = kamu, anda
ubas = sabu²
nderek = nyimeng
ngelip = ngepil = ngedrug
oker = rokok
panem/wanpan = duit
rajajowas = sawojajar
nahelop = polehan
irahatam = matahari
nikolas = solikin
helos/sohel = soleh
hewod = ndoweh
takis = sikat
amilsaleb = limabelas
itreng = ngerti
wancir = cirut = ML
tofron = ngaceng
sibun = entek/habis
katub = buthak = botak
ewul ewus : luwe sewu ( kulino ndek stadion )
gojing : 5000
cemban : 10000
gomban : 50000
nomban : 20000
atrakaj : jakarta
sugeng pendowo : ( . ) ( . ) ageng pentile dowo
ciak : makan/mbadok/nguntal
oyonid : dinoyo
ongisiras : singosari
handwood : kayutangan
gold lake : tlogomas
tumbet = brengos isor
kampes = CD, sempax
mblendhes = gak tepak
mangkrak = gak kerumat
idrek = kerjo
niam = main, dolen, ngeseks
idrek = kerjo
nawak sawal = teman lama
ayabarus = surabaya
alim saleb = lima belas
barongan = tempat dedemit
Omah Tawon = Kimpet….
pitet = kentu…
ade’ Hendro = Kontol……..
Menek Pring : Sate Daging
Penghijauan : Pecel
Ban Serep : Perkedel ( dadi kentang itu lho ! )
Tenaga Dalam : Paru goreng
Oges : sego
Usus Sanap : Susu Panas
Celana = Analek/Analec
Jual ->asal kata djoeal ->diwalik dadi laoedj/lawet
Pentil = Lintep
bleyer = vokalise nyanyi
celohok = culun (sawojajar only)
pistol gombyok : ilep
empal brewok : kimpet
ngrandong = mencari pesugihan / golek nomer
ta owik obit = ta kiwo tibo
ilsa kera narubuk = asli arek kuburan
nenjap = panjen
kangkut = tungkak
theles ketep = seleet petek
ngipok = ngopi
kadit ojir = nggak duwe duit
pup = ngising
Nendes kombet = senden tembok
naednap = pandean
artupanes = senaputra
ledome = modele
nahelop = polehan
otrahum = muharto
onosogrem = mergosono
kadit uyap = tidak(gak) payu
oyonid = dinoyo
kipa ilakes = apik sekali
ayahab = bahaya
itreng = ngerti
ibar = rabi
kente=entek,habis
kele=elek,jelek
ngipok = ngopi
uklam-uklam = jalan jalan
ulub = bulu
uklam = mlaku
kadit = tidak
kolem = melok
ngalup = pulang
genaro = orang
ipes = sepi
kewut = tuwek
sepeda = adapes
komes = semok
ibab = babi
iloc = coli
teles = selet
oker = rokok….
ndadut = nyimeng / ngegele.
Tentrem=Tentara
Kopral=Kopi; Ngopral=Ngopi
Kaceb=Becak
Imbelak=Kelambi, Baju
Klebet=Wasit-e bal-balan
Tewur=Ruwet
Kemol=Molek, Seksi
Nukud=Dukun
Arakatak=Jakarta (dr Arakataj)
Oslo=Solo
Ilab=Bali
Mclaren=Mekleren=Makelar
Sarajevo=Sawojajar
Lotob=Botol
Mikrodeth=Mikrolet, Angkutan
Roket=Rokok
Vocer=Vodka
Sok-sok-an=Kost-kost-an
Bara = Wong Arab
Harum = Murah
Ibab = Babi
Kisa = Asik
Laham = Mahal
Lodob = Dobol
Hantum = Muntah
Mabrung = Kubam = Mabuk
Nanyem = Menyan
Nates = Setan
Ngonceb = Bencong
Sarkoni = Kondom = (Anonim utk Sarung Ko***l Masa Kini)
Seble = Iblis
Sedeb = Bedes = Monyet
Sepatram = Sepatu
Pembangkang = Pembantu
Tomi = Topi Miring (Iki ombenan top ndek kampung-ku)
Ubab = Babu
mangan = ciak, nakam
tidak ngerti = kadit itreng
bapak = ebes
ibu = emek
va**na = kimpet
enak = kane
inenesid = di seneni
inedem = medeni
Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda[1]. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari Tanah Jawa dan sekitarnya.
Dialek bahasa Jawa di Suriname
Di Suriname hanya terdapat 1 dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda.
Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Pengaruh bahasa lain
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa.
Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku.
Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Ejaan
Bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber :
https://adityagusetyawan.blogspot.co.id/2011/11/bahasa-jawa-dan-keanekaragamannya.html
https://seftiandila.blogspot.co.id/2013/06/makalah-antropologi-kelas-xi-pengaruh.html
https://perpustakaancyber.blogspot.co.id/2013/02/bahasa-dialek-perbedaan-mitos-legenda-dongeng-lisan-pengertian.html