Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan
Pendahuluan
Sekolah merupakan miniatur masyarakat, di dalamnya berkembang kebudayaan yang masing-masing berbeda antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Kebudayaan yang kemudian menjadi penciri sekolah. Sekolah-sekolah umum tentu memiliki kebudayaan yang berbeda dengan pesantren atau sekolah-sekolah kejuruan. Realitas ini tentu bergantung pada individu-individu yang berada dalam sekolah tersebut. Individu-individu mengkonstruk kebudayaan, dan kebudayan-kebudayaan tersebut juga lah yang mengkonstruk individu. Keduanya merupakan sebuah proses dialektis yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Pemikiran di atas menjadi landasan untuk mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan. Kebudayaan, seperti yang dipahami oleh banyak orang, merupakan seluruh sistem ide, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui belajar (Koentjaraningrat, 2000: 180). Proses pembudayaan menjadi sebuah istilah yang tepat, karena dalam proses pendidikan terjadi transfer of knowledge and value. Kedua hal tersebut merupakan wujud kebudayaan yang pertama, yakni idea atau gagasan. Sistem ide ini akan lenyap jika tidak diajarkan kepada generasi penerusnya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan medium pemenuh kebutuhan manusia untuk mewarisi kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Terlebih, kebudayaan itu sendiri yang bersifat super organik, karena kebudayaan hidup terus melampaui generasi tertentu dan karena isinya lebih merupakan karya manusia daripada hasil unsur biologis (Manan, 1989: 8). Pemahaman ini berarti bahwa kebudayaan tidak diwariskan secara biologis. Kebudayaan harus dipelajari.
Manusia saat ini tidak harus digigit ular terlebih dahulu untuk mengetahui bahwa bisa ular adalah mematikan. Manusia bisa belajar dari sistem pengetahuan yang telah dikembangkan oleh generasi berikutnya. Manusia tidak perlu terbang ke bulan untuk membuktikan bahwa di bulan tidak ada gaya gravitasi. Manusia sudah mengetahuinya dari teks-teks yang ada di perpustakaan. Manusia akan berperilaku sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, karena sebelumnya telah diajarkan orang tuanya di rumah atau oleh gurunya di sekolah.
Dalam rangka menyukseskan proses pembudayaan melalui pendidikan, manusia mengembangkan sistem pendidikan yang terdiri atas komponen-komponen penunjangnya. Manusia membentuk kementerian yang mengurusi perihal pendidikan, beserta orang-orang yang mengemban tanggung jawab di dalamnya. Manusia menyusun kurikulum, sebagai kerangka acuan dalam mengimplementasikan proses pembudayaan tersebut. Manusia menulis buku-buku yang berisi ilmu pengetahuan. Manusia melahirkan aktor-aktor yang bertugas sebagai pelaksana proses pembudayaan, yakni para pendidik. Manusia mengkreasikan model, strategi, metode, dan media pembelajaran agar proses pembudayaan berjalan semakin efektif. Manusia menetapkan aturan-aturan yang diberlakukan selama proses pembudayaan. Manusia juga kemudian mengelola budaya sekolah agar sekolah menjadi media pembudayaan efektif.
Pendidikan sebagai proses pembudayaan secara teoretik sudah dijelaskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociologi of Knowledge” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Penjelasan singkat dari buku tersebut dijabarkan dalam sub bab berikut.
Konstruksi Sosial Budaya Sekolah
Manusia berbeda dengan makhluk di dunia lainnya, binatang dan tumbuhan. Manusia secara biologis terus berkembang berdasarkan hubungannya dengan lingkungan. Proses menjadi manusia berlangsung tidak hanya dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alam tertentu, tetapi dengan tatanan budaya dan sosial yang spesifik, yang dihubungkan dengannya melalui perantara orang-orang berpengaruh (significant others). Kalangan ahli etnologi sudah lazim mengatakan bahwa banyaknya cara untuk menjadi dan hidup sebagai manusia adalah sebanyak kebudayaan manusia yang ada. Keinsanian (humanness) ditentukan oleh bentukan-bentukan sosio-kultural. Manusia mempunyai kodrat, adalah lebih berarti untuk mengatakan bahwa manusia mengonstruksi atau menghasilkan dirinya sendiri (Berger dan Luckman, 1990: 68-69). Proses manusia yang menghasilkan dirinya sendiri selalu merupakan satu kegiatan sosial. Manusia secara bersama-sama menghasilkan suatu lingkungan manusiawi, dengan totalitas bentukan-bentukan sosio-kultural dan psikologisnya (Berger dan Luckman, 1990: 72-73). Hubungan antara manusia (sebagai produsen) dan dunia sosial sebagai produknya, tetap merupakan hubungan yang dialektis. Manusia (tentunya tidak dalam keadaan terisolasi, tetapi dalam kolektivitasnya) dan dunia sosialnya, berinteraksi satu sama lain. Produk berbalik mempengaruhi produsennya. Eksternalisasi dan objektifikasi merupakan momen-momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus-menerus (Berger dan Luckman, 1990: 87).
Realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana manusia memengaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan realitas yang subjektif. Masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat, yang keduanya berlangsung secara dialektis: tesis, antitesis, dan sintesis. Kedialektisan itu sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama hidup di tengah masyarakatnya.
Tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat bukan realitas tunggal yang statis dan final, melainkan merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Realitas bersifat plural ditandai dengan adanya relativitas seseorang ketika melihat kenyataan dan pengetahuan. Masyarakat adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Manusia juga merupakan produk masyarakat. Seseorang atau individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau seseorang tetap tinggal dan menjadi entitas dari masyarakatnya. Proses dialektis itu, menurut Berger dan Luckmann (Eriyanto dalam Muslich, 2008: 151), mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen itu bersifat kodrati manusia. Individu selalu mencurahkan diri ke tempat di mana individu berada. Individu ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang sejak lahir, bahkan sejak masa foetal, sudah menyelesaikan masa perkembangannya. Perkembangan manusia belum selesai pada waktu dilahirkan. Individu perlu berproses dengan cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik fisik maupun nonfisik, sampai individu remaja, dewasa, tua, dan mati. Manusia selama hidup selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat belum selesai itu dilakukan terus-menerus dalam rangka menemukan dan membentuk eksistensi diri (Mursanto dalam Muslich, 2008: 151).
Tatanan sosial merupakan produksi manusia yang berlangsung terus menerus sepanjang eksternalisasinya. Tatanan sosial tidak merupakan bagian dari “kodrat alam”, dan tidak dapat dijabarkan dari “hukum-hukum alam”. Tatanan sosial hanya ada sebagai produk aktivitas manusia. Eksternalisasi bersifat sui generis, maka dari itu perlu ditekankan bahwa eksternalisasi merupakan keharusan antropologis (Berger dan Luckman, 1990: 74-75).
Objektifikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan penghasilnya. Kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahan hidupnya, misal cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Kedua produk itu menjadi realitas yang objektif (objektifikasi) setelah dihasilkan. Realitas objektif menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Realitas objektif bisa memaksa penghasilnya dengan logikanya sendiri. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagaimana petani harus mengatur cara kerjanya. Individu secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri. Bahasa juga menampakkan hal yang sama. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakan sendiri. Manusia bahkan bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif.
Bahasa merupakan contoh di mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobjektifikasi. Bangunan legitimasi disusun di atas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utamanya. Logika yang dengan cara itu diberikan kepada tatanan kelembagaan, merupakan sesuatu yang diterima sebagai sudah sewajarnya. Individu yang sudah tersosialisasi dengan baik mengetahui bahwa dunia sosialnya merupakan keseluruhan yang konsisten, sehingga akan terpaksa menjelaskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan dalam cara berfungsinya berdasarkan pengetahuannya itu (Berger dan Luckman, 1990: 92). Bahasa mengobjektifikasi pengalaman-pengalaman bersama dan menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan dengan demikian menjadi dasar dan alat yang paling penting untuk meneruskan endapan-endapan yang sudah diobjektifikasi dan objektifikasi dalam tradisi kolektivitas bersangkutan (Berger dan Luckman, 1990: 97). Objektifikasi pengalaman dalam bahasa (artinya, transformasinya ke dalam objek pengetahuan yang tersedia secara umum), memungkinkannya untuk dimasukkan ke dalam suatu himpunan tradisi yang lebih luas melalui pelajaran moral, puisi yang inspiratif, kiasan-kiasan keagamaan, dan sebagainya. Hal-hal ini bisa diajarkan kepada setiap generasi baru atau bahkan kepada kolektivitas yang berbeda satu sama lain (Berger dan Luckman, 1990: 98).
Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Macam-macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Manusia melalui internalisasi menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Cara suatu generasi menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikut diajar (melalui berbagai kesempatan dan cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektifikasikan. Generasi baru mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai tersebut. Generasi baru tidak hanya mengenalnya tetapi juga mempraktikkannya dalam segala gerak kehidupannya (Eriyanto dalam Muslich, 2008: 152).
Pengetahuan diteruskan kepada generasi berikutnya. Pengetahuan dipelajari sebagai kebenaran objektif selama berlangsungnya proses sosialisasi dan dengan demikian diinternalisasi sebagai kenyataan subjektf. Kenyataan ini pada gilirannya mempunyai kekuatan untuk membentuk individu, atau dengan kata lain memproduksi suatu tipe manusia spesifik (Berger dan Luckman, 1990: 96).
Individu menjadi anggota masyarakat setelah mencapai taraf internalisasi. Proses ontogenik untuk mencapai taraf itu adalah sosialisasi, yang demikian juga dapat didefinisikan sebagai pengimbasan individu secara komprehensif dan satu sektornya. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakatnya (Berger dan Luckman, 1990: 96). Perbandingan antara sosialisasi primer dan sekunder dapat dikategorisasi dalam matrik di bawah ini.
Tabel 1. Perbandingan antara Sosialisasi Primer dan Sekunder
Sosialisasi Primer Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi yang paling penting bagi individu, merupakan dasar bagi sosialisasi sekunder, dan dunia pertama individu terbentuk Merupakan sosialisasi kelembagaan/ berdasarkan lembaga. Lingkup jangkauan dan sifatnya sesuai kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan
Individu dilahirkan ke dalam struktur sosial objektif dan bertemu dengan orang yang bertugas melakukan sosialisasi Merupakan proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya yang berakar dalam pembagian kerja
Hal yang diinternalisasi adalah “dunia dasar” Hal yang diinternalisasi adalah kenyataan-kenyataan parsial
Terjadi dalam kondisi yang bermuatan hubungan emosional tinggi dengan pengasuhnya Tidak memerlukan hubungan emosional dengan pengasuhnya, dapat berlangsung secara efektif dengan hanya identifikasi timbal balik sebanyak yang menjalin komunikasi
Terjadi proses identifikasi individu terhadap orang-orang berpengaruh Memerlukan proses memperoleh kosa kata khusus sesuai dengan peranan
Menciptakan kesadaran anak untuk melakukan abstraksi terhadap peran dan sikap pada umumnya Memerlukan perangkat legitimasi, biasanya berupa simbol-simbol ritual atau material
Sosialisasi ini berakhir apabila konsep tentang orang lain telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu Proses sosialisasi didasarkan pada masalah dasarnya: yakni diri yang sudah terbentuk dan terinternalisasi dalam sosialisasi primer
Kekuatan internalisasi tinggi Kekuatan internalisasi rendah atau lebih kabur
Pengetahuan hasil internalisasi bersifat kuasiotomatis Pengetahuan hasil internalisasi harus diperkuat dengan teknik-teknik khusus pedagogis
Sumber: Berger dan Luckman (1990: 187-210)
Tabel 1 mengklasifikasikan perbandingan antara sosialisasi primer dan sekunder yang terjadi dalam proses internalisasi. Persamaan antara kedua perbandingan proses tersebut adalah dalam hal distribusi tugas. Distribusi tugas-tugas yang sudah dilembagakan antara sosialisasi sekunder bervariasi menurut kompleksitas distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Badan kelembagaan yang sama dapat melaksanakan sosialisasi mulai dari primer sampai sekunder, selama prosesnya tidak relatif rumit. Badan-badan khusus dengan tenaga personil profesional untuk sosialisasi sekunder perlu dikembangkan jika distribusinya sudah sangat kompleks (Berger dan Luckman, 1990: 209).
Hal yang dapat ditambahkan, bahwa hanya dengan pengalihan dunia sosial kepada generasi baru (artinya internalisasi sebagaimana yang dilaksanakan dalam sosialisasi) maka dialektika sosial yang mendasar itu tampil dalam totalitasnya. Sekali lagi, hanya dengan munculnya satu generasi baru kita benar-benar bicara tentang suatu dunia sosial (Berger dan Luckman, 1990: 88).
Pengalihan itu memerlukan semacam aparat sosial. Ada beberapa tipe dinamakan pengalih, tipe lainnya dinamakan penerima pengetahuan tradisional. Sifat spesifik aparat ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, juga akan ada prosedur-prosedur yang ditipifikasi bagi pengalih tradisi dari mereka yang mengetahui kepada mereka yang belum mengetahui. Tipologi orang-orang yang sudah tahu dan mereka yang belum tahu didefinisikan secara sosial, dan merupakan kenyataan sosial, dan tidak mengacu pada kriteria eksakta-sosial (Berger dan Luckman, 1990: 100).
Kegiatan-kegiatan manusia sebagaimana dijelaskan di atas bisa mengalami proses pembiasaan (habituasi). Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dan bisa dilakukan di masa mendatang dengan cara yang sama ekonomisnya. Makna-makna yang diberikan manusia kepada kegiatannya, pembiasaan menyebabkan tidak perlunya lagi tiap situasi didefinisikan kembali.
Proses ini menghasilkan lembaga-lembaga yang mengendalikan perilaku manusia dengan jalan membuat pola-pola perilaku yang telah didefinisikan lebih dulu, yang menyalurkannya ke satu arah di antara sekian banyak arah lain secara teoretis. Sifat pengontrol ini melekat pada pelembagaan itu sendiri, sebelum atau terlepas dari tiap mekanisme sanksi yang secara khusus dibentuk untuk menopang suatu lembaga (Berger dan Luckman, 1990: 75-79). Hal yang perlu diperhatikan adalah, orang akan lebih mudah menyimpang dari program-program yang telah ditetapkan baginya oleh orang lain dari pada program-program yang ia sendiri telah ikut membuatnya. Generasi baru menimbulkan masalah ketaatan, dan sosialisasi mereka ke dalam tatanan kelembagaan memerlukan sanksi-sanksi (Berger dan Luckman, 1990: 89).
Dunia kelembagaan, pada saat yang bersamaan, memerlukan legitimasi. Lembaga melalui cara-cara tertentu ditujukan agar dapat dijelaskan dan dibenarkan. Realitas sosial harus dapat meyakinkan generasi baru selama proses pengalihannya, karena realitas merupakan kenyataan historis, yang sampai pada generasi baru sebagai tradisi dan bukan sebagai ingatan biologis. Realitas sosial historis ini harus diceritakan kepada semua anak, agar tatanan sosial terus meluas dan mengembangkan suatu naungan yang terdiri atas berbagai legitimasi, yang ditafsirkan secara kognitif dan normatif (Berger dan Luckman, 1990: 88-89).
Perilaku semakin dilembagakan, semakin individu dapat diramalkan dan dikendalikan. Perilaku individu akan berlangsung spontan dan dari segi pemaknaan perilaku itu dianggap sudah sewajarnya jika sosialisasi ke dalam lembaga-lembaga berlangsung efektif (Berger dan Luckman, 1990: 89). Dunia sosial melalui cara ini menjadi dunia begitu saja. Apa yang diterima begitu saja sebagai pengetahuan dalam masyarakat, menjadi sama dan serupa dengan apa yang bisa diketahui, atau setidak-tidaknya memberikan kerangka yang di dalamnya setiap hal belum diketahui akan diketahui di masa mendatang. Hal ini merupakan pengetahuan yang diperoleh selama berlangsungnya sosialisasi dan yang menjadi perantara internalisasi ke dalam kesadaran individu atas struktur-struktur dunia sosial yang diobjektifikasi (Berger dan Luckman, 1990: 94).
Pengetahuan merupakan inti dialektika yang mendasar dari masyarakat. Pengetahuan memprogram saluran-saluran di mana eksternalisasi menghasilkan suatu dunia yang objektif. Pengetahuan mengobjektifikasi dunia melalui bahasa dan aparat kognitif yang didasarkan atas bahasa; artinya, menatanya menjadi objek-objek untuk dipahami sebagai kenyataan. Pengetahuan diinternalisasikan kembali sebagai kebenaran yang berlaku objektif selama berlangsungnya sosialisasi. Pengetahuan mengenai masyarakat, dengan demikian, merupakan suatu perwujudan nyata (realization) dalam arti ganda kata itu, yakni dalam arti memahami kenyataan sosial yang diobjektifikasi, dan dalam arti terus menerus memproduksi kenyataan (Berger dan Luckman, 1990: 94-95).
Pengetahuan, tergantung kepada relevansi sosial tertentu, kompleksivitas, dan arti pentingnya dalam suatu kolektivitas tertentu, maka pengetahuan itu mungkin masih harus diperkuat lagi melalui benda-benda simbolik (seperti jimat dan tanda-tanda militer), dan/atau tindakan-tindakan simbolik (seperti ritual keagamaan atau militer). Objek-objek fisik dan tindakan-tindakan mungkin diperlukan sebagai teknik membantu ingatan (mnemotechnic) (Berger dan Luckman, 1990: 101).
Berger dan Luckmann (1990) berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia. Pemahaman itu menyiratkan bahwa realitas berpotensi berwajah ganda dan plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau memaknakan realitas berdasarkan konstruksinya masing-masing.
Pembahasan
1. Sekolah sebagai Lingkungan Sosial dalam Konstruksi Budaya Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan sosial bagi aparat sosial dan/atau significant others untuk mewariskan nilai-nilai kepada generasi baru. Aparat sosial dan/atau significant others membutuhkan lembaga yang memiliki legitimasi untuk menjalankan proses pembudayaan. Sekolah, dengan berbagai instrumennya (statuta, aturan, dan tata tertib yang lainnya) merupakan media yang sangat tepat dijadikan media untuk proses pembudayaan. Sekolah merancang skema besar pembudayaan, yang diwujudkan dalam bentuk kurikulum sekolah. Sekolah menyediakan waktu bagi aparat sosial dan/atau significant others untuk mewariskan budaya, melalui kegiatan belajar mengajar. Sekolah menyediakan fasilitas fasilitas penunjang, seperti laboratorium, perpustakaan, buku, globe, dan lain sebagainya, guna mempermudah memvisualisasikan materi-materi pembudayaan.
Sekolah sebagai lembaga terlegitimasi semakin memperkuat proses konstruksi sosial budaya di sekolah. Legitimasi sekolah menjadikan peserta didik bersikap mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya dengan budaya sekolah. Peserta didik membiasakan dirinya dengan budaya sekolah. Peserta didik membiasakan untuk berangkat pagi, berseragam, bersepatu, membawa tas, membawa buku, mengikuti pembelajaran dengan tertib, dan perlengkapan sekolah lainnya.
Berbagai segi tentang sekolah ini, menjadikan sekolah sebagai lingkungan sosial di mana proses konstruksi budaya sekolah berlangsung. Simpulan ini perlu digaris bawahi, sehingga posisi strategis sekolah ini bisa dioptimalkan oleh generasi lama sebagai media pembudayaan terhadap generasi baru.
2. Guru sebagai Generalized Others
Guru merupakan aktor yang berpengaruh di lingkungan sekolah, Berger dan Luckmann menyebutnya dengan istilah generalized others. Guru merupakan agen atau aktor yang memiliki pengetahuan, yang akan diwariskan kepada generasi baru. Pengetahuan-pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan seputar ilmu matematika, ilmu pengetahuan alam, fisika, kimia, biologi, ilmu pengetahuan sosial, sosiologi, antropologi, sejarah, geografi, hukum, dan bidang-bidang keilmuan lainnya.
Penguasaan terhadap pengetahuan-pengetahuan inilah yang menjadikan guru menempati status sosial sebagai generalized others. Generasi baru (peserta didik) memberikan penghormatan kepada agen/aktor yang mewarisi budaya. Berkat jasa-jasa guru lah, generasi baru bisa menguasai ilmu pengetahuan tertentu, keterampilan, dan karakter. Hal-hal ini menempatkan guru pada posisi ordinat, dan peserta didik pada posisi subordinat. Konsekuensi logis atas hal tersebut, peserta didik diarahkan untuk patuh terhadap guru.
Kegiatan belajar mengajar merupakan arena utama bagi guru untuk menempatkan dirinya sebagai generalized others. Arena yang terlegitimasi secara hukum. Di dalamnya, guru menjalankan fungsi utamanya, yakni sebagai agen/aktor pewaris budaya. Guru mengajarkan bidang keilmuan yang dikuasainya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan, keterampilan, dan karakter kepada generasi baru.
Di lain sisi, kegiatan belajar mengajar dijadikan oleh peserta didik sebagai momen untuk menginternalisasikan kebudayaan yang diwarisi oleh pendahulunya. Peserta didik, dalam hal ini memiliki beberapa kecenderungan yang berbeda-beda. Ada peserta didik yang secara akademik cenderung ke bidang-bidang sains, beberapa peserta didik yang cenderung lebih menyukai bidang-bidang ilmu humaniora, dan beberapa peserta didik lebih condong ke bidang-bidang linguistik. Kecenderungan-kecenderungan ini juga merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembudayaan.
Guru, sebagai generalized others juga berperan dalam menentukan passion belajar peserta didik. Dalam hal ini, guru dituntuk untuk dapat menyajikan proses pembelajaran secara lebih menyenangkan, sehingga menarik minat peserta didik untuk belajar. Kini, hal tersebut semakin mudah untuk dilakukan, karena pembelajaran sudah banyak ditunjang oleh berbagai media interaktif (pada sekolah-sekolah tertentu). Dan sudah banyak buku-buku yang membahas tentang model pembelajaran interaktif.
3. Masa Orientasi Siswa sebagai Bentuk Sosialisasi Primer
Masa orientasi siswa (MOS) merupakan tahap awal yang harus dilewati oleh peserta didik sebelum menempuh studi di sekolah. Masa orientasi ini hakikatnya ditujukan sebagai proses pengenalan budaya akademik dan mengantarkan peserta didik untuk dapat beradaptasi dengan baik. Sejatinya, MOS harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang relevan dengan hakikatnya. MOS bisa berupa pengenalan bidang keilmuan, budaya akademik, penulisan karya ilmiah, penelitian dan eksperimen, tradisi-tradisi yang berkembang di sekolah, beasiswa, motivasi untuk berprestasi dan berinovasi, kegiatan organisasi, leadership, enterpreneurship, pengenalan fasilitas sekolah, dan budaya-budaya positif lainnya.
Faktanya, MOS yang banyak dilakukan di sekolah-sekolah saat ini sudah jauh dari hakikatnya. MOS cenderung berisi kegiatan-kegiatan perpeloncoan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan budaya akademik dan sosial yang ada di sekolah. Jika demikian adanya, kiranya pertanyaan-pertanyaan berikut perlu direnungkan: 1) apakah dalam kehidupan sehari-hari sekolah, peserta didik harus mengenakan baju compang-camping, tas dari karung bekas, gaya rambut dikuncung, dan topi kerucut berbahan kertas? 2) apakah dalam kehidupan sehari-hari sekolah, peserta didik harus membawa makanan seperti apa yang diperintahkan oleh senior dengan klu-klu yang aneh? 3) apakah dalam kehidupan sehari-hari sekolah, peserta didik harus melaksanakan perintah-perintah aneh yang diberikan oleh seniornya? 4) apakah dalam kehidupan sehari-hari sekolah, peserta didik harus push up jika terlambat masuk sekolah? apakah dalam kehidupan sehari-hari sekolah, peserta didik harus dipukul kepala atau perutnya jika tidak mengikuti perintah dari seniornya? Saudara-saudara, ini pendidikan atau dagelan! Pendidikan tidak sebercanda itu.
Masa orientasi siswa sebagai bentuk sosialisasi primer di sekolah, semestinya bisa di desain secara lebih cerdas
4. Analisis Kehidupan Sehari-hari di Sekolah; sebagai Bentuk Sosialiasi Sekunder
5. Budaya Akademik
6. Eksternalisasi, Objektivikasi, dan Internalisasi sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Budaya Sekolah
7. Bahasa dalam Konstruksi Budaya Sekolah
8. Kegiatan Pembelajaran sebagai Proses Pengalihan Dunia Sosial
9. Buku Teks sebagai Media Konstruksi Budaya Sekolah
Rekomendasi
Pendidikan sebagai proses pembudayaan
Oleh: Didi Pramono
Dosen Pengampu Mata Kuliah Antropologi Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Muslich, Mansur. 2008. Kekuasaan Media Massa Mengonstruksi Realitas. Jurnal Bahasa dan Seni. Volume 36 Nomor 2. Agustus 2008. Halaman 150-159.
Mungkin lebih baik jika read more-nya dimulai dr paragraf 2 saja, biar lebih enak dipandang…
Terima kasih mba ika atas masukanya.. Nanti saya ganti