Saya sampai di Jawa Timur tepatnya di Bromo sekitar pukul 01.00 dini hari, disitu turun di terminal sukapura, terus kemudian naik jeeb yang berisi 6 orang. Mata yang masih ngantuk,dan dingin menyelimuti tubuh, perjalanan pun dimulai, sampai diatas gunung, udara semakin dingin, pakaian tebal pun tidak terasa apa-apa disana. Sebelum saya ke desa Ngadas, saya pertama kali melihat munculnya matahari. Pemandangan yang sangat indah sekali dan banyak yang menyaksikannya. Kemudian saya beserta rombongan pergi ke lautan pasir, sepanjang perjalanan saya menikmatinya dan sangat terkagum-kagum sekali melihat keindahan alam semesta itu. Sungguh indah ciptaan Yang Maha Esa. Semua teman-temanku juga menikmati hal yang sama. Bercerita-cerita sama pak sopirnya juga.
Setelah menikmati itu semua saya langsung menuju ke desa Ngadas dan disitu perjalanan sangat jauh sekali. Melewati pohon-pohon, jalan yang berliku-liku. Rumah-rumah juga yang ada diatas gunung. Disekeliling rumah yang ada bukan mobil yang beraneka ragam, tetapi kebanyakan hanya mobil jeeb. Karena memang didaerah pegunungan. Beberapa menit kemudian saya sampai di daerah Ngadas. Desa yang sangat terpencil dan desa yang sangat kecil, hanya 682 jiwa. Laki-laki : 335 dan perempuan : 347. 1700m diatas puncak timur lawang. Mayoritas disana itu pekerjaanya sebagai petani, agama disana itu 99% beragama Hindu. Pendidikan disana juga sangat minim sekali. Sarjana S1 hanya 3 orang, SMA 62 orang, SMP 120 lebih , ada yang tidak sekolah dan kebanyakan hanya sekolah lilusan SD.
Disitu ada acara penyambutan dan pembukaan dari kepala desa Ngadas, beliau duduk didepan bertiga yaitu bapak kepala desanya, bapak kepala adat atau kalau disana disebut mbah dukun seseorang yang disucikan dalam upacara. Beliau bercerita bahwa, walaupun didesa itu terdapat banyak agama, tetapi mereka tetap rukun-rukun saja dan tidak ada yang saling bermusuhan. Dan banyak lagi yang beliau ceritakan disitu. Ternyata sesaji di Ngadas sama di Bali itu berbeda, kalo di Bali kainnya menggunakan kain kotak-kotak hitam putih, tetapi kalau di bromo, menggunakan kain warna kuning. Kuning itu biar hening. Cuma itu alasannya. Satu lagi perbedaan bali sama tengger, bahwa kalau dibali itu terdapat kasta, tetapi kalau ditengger tidak ada kastanya. Kalo yang lain-lainnya itu hampir sama.
Observasi dimulai setelah makan siang. Saya bersama kelompok mengatur strategi supaya banyak narasumber yang saya dapatkan. Satu kelompok itu dibagi 3 kelompok lagi. Saya bersama 3 orang teman saya berjalan menelusuri desa yang penduduknya masih pada ke ladang. Entah apa sebabnya, kita seakan sulit banget mencari kebenaran informasi dari para penduduk desa tersebut. Pertama saya bertemu dengan ibu-ibu yang baru pulang dari ladang. Kami mencoba untuk berbicara dengan ibu itu dan dia mau. Saya bersama dua teman saya disuruh masuk kedalam, kami bertiga duduk dan setelah saya tanya tentang upacara khasada ternyata ibuknya tidak tahu apa-apa. Sempat bingung dan kaget juga. Kenapa tidak tahu, padahal kan setiap tahun dilaksanakan upacara tersebut. Kenapa seakan-akan menghindar dari kami yang niatnya baik, untuk bertanya supaya kita tahu. Kita mencoba untuk sabar dan mencari narasumber yang lain.
Setelah lama jalan kaki, akhirnya ketemu ibu-ibu yang sedang nyapu dan masih menggunakan sepatu karena baru pulang dari ladang. Saya mencoba mendekati dan mulai bertanya, akhirnya saya dan kedua teman saya dipersilahkan masuk. Ibu itu mempunyai anak satu cowok, dia berumur 16 tahun, sudah tidak sekolah, karena alasannya sekolahnya jauh, dan tidak punya uang juga untuk meneruskan sekolah. Satu yang membuat saya terkejut adalah duduk didepan bangunan kecil yang disebut pawon. Nah, fungsinya untuk penghangat tubuh kalau musim dingin dan bisa juga untuk memasak. Duduk didepan pawon dan memakai kursi kecil panjang, dia mulai bercerita tentang upacara tersebut. Ibuk itu selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita tanyakan. Kadang beliau merasa bingung. Apa yang harus dijawab.
Pertama, saya bertanya tentang asal-usul dari mitos upacara khasada. Orang-orang desa ngadas taunya itu dulu ada roro anteng dan joko tengger menikah, dan mempunya 25 anak, salah satunya adalah raden kusuma, beliau di jadikan korban. Kebanyakan masyarakat itu tahunya hanya seperti itu. Upacara khasada sendiri peminatnya tiap tahun semakin bertambah, dari wisatawan asing maupun lokal. Upacara ini sendiri dilakukan pada malam hari pukul 00.00, nah disitu jalan bareng-bareng menuju lautan pasir, ssebelum dibacakan ritual itu, ada acara pembukaan yang berupa tari-tarian adat. Pakaian yang dikenakan oleh orang-orang Ngadas sendiri menggunakan pakaian atasan hitam,. Itu wajib.

Upacara seperti itu dilaksanakan setiap bulan purnama tiba. Kalau tahun ini katanya jatuh pada bulan juli kalau enggak ya agustus. Upacara khasada khusus umat hindu yang ada ditengger. Tetapi yang selain hindu juga boleh ikut, dan hanya ikut saja tidak boleh membunyikan mantra yang diucapkan oleh mbah dukunnya. Cara memberikan sesaji hanya cukup dilempar saja. Tetapi tidak diberi tali seperti apa yang ada di internet. Disitu sesajinya itu tidak hanya satu, tetapi setiap dewa diberikan sesaji sendiri-sendiri. Korbanya itu sendiri berupa kerbau. Kalau dari pemerintahanya tidak ikut campur atau tidak ada undang-undangnya. Itu semua 100% dari mbah dukunya sendiri. Pemerintah itu hanya meresmikan acara itu saja.
Banyak yang dirasakan para warga desa Ngadas itu sendiri. Ternyata upacara seperti itu juga memberi dampak positif bagi perekonomian mereka. Warga disitu mempercayainya. Panen mereka berhasil, kehidupan mereka semakin tentram dan tidak ada masalah apa-apa di masyarakatnya. Para pemuda yang disana juga mengikuti upacara tersebut dengan tertib. Satu yang tidak bisa diatur dari pemuda itu yaitu pakaiannya. Yang tidak mau mengikuti aturan adatnya yaitu warna hitam. Memakai warna hitam, tetapi tidak hitam polos. Yang lain-lain mereka pada mengikutinya. Berikutnya saya bertanya tentang dukun yang digantikan.
Setelah berlama-lama kita saling ngobrol, berbincang-bincang akhirnya saya pergi dan berfoto bersama dengan keluarga ibu itu, tetapi sayangnya Cuma bersama anak dan bapaknya tidak ada dirumah. Karena hari sudah gelap saya memutuskan untuk kembali ke homestay dan melanjutkan observasi esok hari.
Malam yang dingin menyelimuti tubuh. Semua mahasiswa pergi ke balaidesa untuk presentasi hasil observasi. Sampai kira-kira jam 23.00. mata sudah ngantuk, badan sudah capek presentasi belom selesai-selesai. Akhirnya pada tidur dibalai desa semua.
Keesokan harinya, setelah makan pagi saya melanjutkan observasi lagi. Saya datang kerumah mbah dukunnya. Tetapi beliau tidak ada dirumah. Katanya sedang sibuk, mau ke ladang dulu. Diperjalanan kok saya bertemu dengan mbahnya yang sedang diwawancarai oleh teman se angkatan saya. Akhirnya saya bersama teman-teman saya berusaha sabar menunggu mereka selesai berbincang-bincang dan setelah itu ganti saya yang bertanya tentang tema observasi yang beritanya masih simpang siur ini. Saya disitu bertemu dengan mbah dukunnya langsung. Saya bertanya-tanya langsung kepada beliau. Apa mitos yang sebenarnya adanya suku tengger itu? Dan beliau menjawab bahwa sebenarnya tidak ada yang tahu asal-usul sebenarnya itu seperti itu apa tidak. Setau mereka, mitosnya hanya gara-gara roro anteng dan joko seger saja. Beliau juga bilang bahwa asal-usul suku tengger itu sudah ada sejak dulu, bukan dari majapahit.
Kebingungan sudah pasti, yang ada bukan kita malah semakin jelas, tetapi masi ada sedikit keraguan yang ada di hati saya. Karena, pas lagi acara pembukaan mbah dukun bilang kalau itu bukan dari majapahit, tetapi pas observasi kok bilang kalau dulunya itu dari majapahit yang sembunyi di bromo dan dibali. Nah disini terus dikasih nama suku tengger. Itu yang sebenarnya masih membuat kita bingung.
Berikutnya saya bertanya, apa ada atau tidak pas waktu upacara dilaksanakan ada orang kesurupan? Nah, beliau menjawab ada, tetapi dari para wisatawannya. Kalau dari suku tenggernya sendiri yang mengikuti dengan pakaian adat ya tidak ada. Dan disana tidak meminta tumbal berupa manusia. Soal wisatawan asing yang terjatuh ke kawah, itu sering dan itu akibat ulahnya sendiri karena tidak berhati-hati. Kalau dibilangin itu susah, tidak mau nurut. Nah, jadinya dia terkena imbasnya sendiri.
Dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah dari upacara khasada itu sendiri. Walaupun semakin bertambah yang mengikuti upacara tersebut, tetapi tidak mempengaruhi kesakralan upacara khasada itu sendiri. Dari sesaji itu, bukan setiap desa itu menyumbang sukarela. Tetapi itu dari mbah dukunya itu sendiri, tapi warga hanya memberi uang seikhlasnya untuk membeli peralatan untuk sesajinya.
Kalau dukunya ganti, maka harus ada kandidatnya, biasanya tiga orang calon. Nah, cara menyeleksi itu sendiri dites satu persatu. Pasti diantara mereka bertiga salah satunya akan mendapatkan wahyu untuk menjadi penerus dukun tersebut. Dan akan lancar membacakan mantar-mantranya. Setelah salah satu dari mereka kepilih, dukun yang kepilih itu harus mempraktekkan lagsung di hadapan orang banyak. Tapi biasanya yang menjadi dukun itu turun temurun, bisa dari paman atau ayah mereka. Tetapi masih berikatan saudara. Katanya juga, kalau belum memiliki kalender. Ternyata upacara khasada itu setiap tahun terlaksana terus dan tidak ada hambatan apa-apa. Upacara itu terlaksananya jam duabelas malam. Walaupun hujan tapi tetap dilaksanakan. Karena itu sudah menjadi adat tradisi orang sana. Dan beruntungnya, setiap upacara itu berlangsung, pasti pas musim kemarau. Jadi mereka tidak susah-susah untuk datang kesana. Dan upacaranya juga berjalan dengan lancar, tidak ada halangan apa-apa. Mungkin itu yang dapat saya ceritakan dari hasil observasi saya. Sekian dan terimakasih.