Kemisan is back

Kemisan.. is Back

Rasanya tidak salah bila saya sebut Desa Tuwel, Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal sebagai Desa Religi, karena suburnya ritual-ritual keagamaan yang tumbuh di kampung itu. Baik ritual yang murni ibadah asli seperti sholat jama’ah, takbir hari raya, maupun ritual adat yang sudah dipenetrasi dengan nilai-nilai Islam sehingga bernilai ibadah, seperti tahlilan, keba, selametan, manakiban dan sebagainya.

Satu hal lagi yang patut disyukuri dan dipertahankan adalah rimbunnya ritual keagamaan yang bersifat sosial, bukan individual. Hal ini mungkin tak terlepas dari kultur alamiah masyarakat pedesaan, damai. Maka dari itu, menjamurlah organisasi-organisasi ritual (Jam’iyyah) maupun paguyuban-paguyuban keagamaan (Ma’iyyah) di Desa Tuwel.
Coba kita hitung. Bagi bapak-bapak ada Jemuahan, Ahadan, Khataman (bagi pengikut Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah), Kemisan, dan sebagainya. Ibu-ibu juga punya Jemuahan, Ahadan, Rebo Pon, bla bla bla.. banyak! Belum lagi kegiatan-kagiatan di pesantren-pesantren dan langgar-langgar.. buuanyak!

Nah, dalam catatan ini, saya tidak akan mengurai asal mula maupun pola perkembangan ritual-sosial di atas. Hanya satu yang saya bicarakan, satu yang berkesan di hati saya, satu yang saya ikuti baru – baru ini,yakni jam’iyah kemisan. Kemisan adalah satu bentuk paguyuban yang ‘terbit’ dari rasa kebersamaan (Ma’iyyah), berhasil bertahan selama belasan tahun, sempat dan ‘surup’ tenggelam beberapa saat setelah direformasi menjadi organisasi struktural (Jam’yyah). Sayang sekali.

Awalnya, paguyuban ini diikuti oleh bapak-bapak di wilayah Keseran, salah satu dusun di Desa Tuwel, entah tahun berapa saya belum tahu. Sebelum saya lahir, bapak saya sudah ikut Kemisan. Jadi saya ikut kemisan karena diajak bapak sejak kecil. Setelah melewati masa perkembangannya, Kemisan didominasi oleh kaum muda Keseran, dari 120 an anggota, 30% adalah anak-anak, 30% remaja, 30% pemuda, dan 10% orang tua.

Kemisan diadakan setiap hari Rabu Malam ba’da ‘Isya, sekitar pukul delapan sampai setengah sepuluh malam berkeliling ke rumah-rumah anggota. Protokol acaranya; Pembukaan, Tilawatul Quran, Lantunan Sholawat, Sambutan Shohibul Bayt, Taushiyah, dan Tahlil, diakhiri makan bersama. Setiap anggota Kemisan, diharuskan pernah mendapat bagian pengisi acara, apakah menjadi protokol, pembaca al-Quran, pelantun sholawat, penceramah, atau pemimpin tahlil. Dalam momen-momen tertentu, Kemisan juga sering mengadakan acara, baik itu penyembelihan hewan qurban, memeriahkan hari – hari besar Islam, sampai ziarah Walisongo keliling Jawa.

Nah, bagi saya, yang dimiliki oleh Kemisan hanyalah satu hal saja, yakni Manfaat. Karena di sana anak-anak bisa berlatih ‘berbicara’ di depan publik, berlatih merancang sesuatu, dan tentunya, berdzikir serta bersosialisasi. Ibaratnya, dari tujuh hari dalam seminggu, malam Kamis merupakan arena refreshing atau hiburan bagi anak-anak muda Keseran, bisa berkumpul, berdzikir, dan ngobrol bebas, apalagi ada jajan dan rokok gratis. Menyenangkan.

 

kemisan

foto pemuda kemisan di puncak gunung slamet

Dari paguyuban-paguyuban non-formal semacam inilah, sebenarnya, tumbuh pemuda-pemuda yang cemerlang dengan kapasitasnya masing-masing untuk bisa memberi manfaat lingkungan sekitarnya. Diskusi-diskusi sederhana tentang desa, tentang bola, tentang apa saja. Ya lumayanlah, daripada sekedar gaple. Apalagi jika saya membayangkan kelak punya anak, pasti kegiatan semacam Kemisan ini sangat bermanfaat bagi anak-anak saya.

Namun sayang, setelah belasan tahun bertahan, Ma’iyyah Kemisan bubar, meski secara de jure (hitam di atas putih) tidak ada pernyataan bubar, tapi de facto  sudah tak ada lagi geliat kegiatan Kemisan di Keseran. Peninggalan berupa karpet entah kemana, radio tape besar juga entah kemana, sedangkan rebana (empat biji dan satu bas) ada di tempat saya.
Ironisnya, saya ingat betul, luruh tenggelamnya Kemisan dimulai tepat setelah diadakannya Reformasi yang dimaksudkan untuk memajukan Kemisan itu sendiri. Malam itu, Reformasi dihadiri oleh sesepuh-sesepuh pionir Kemisan di masa lalu, beserta seluruh anggotanya.

Agenda Reformasinya adalah untuk menghidupkan kembali Kemisan atau revive, Kemisan tidak sekedar menjadi ma’iyyah tetapi juga dijadikan sebagai jam’iyyah yang secara struktural memiliki kedudukan-kedudukan formal organisasi. Ada dewan ini, dewan itu, seksi ini seksi itu, macam-macam. Pada saat itu juga dipilih ketua baru untuk memimpin Kemisan, hingga di tunjuklah saudara Mudiarto sebagai ketua terbaru dengan visi misinya untuk memajukan kemisan ( jerene deweke ). Pada awal terbentuknya Kemisan bapak ketua langsung mengadakan musyawarah dimana pada pertemuan yang saya masih dini ini bapak ketua mencanangkan untuk membuat seragam baru yang katanya sebagai identitas bahwa kemisan sudah lahir kembali. Kemudian pada pertemuan berikutnya jam’iyah kemisan juga mencanangkan untuk membeli sound system meskipun dengan cara berhutang. Alhamdulillah setelah satu tahun berjalan jam’iyah kemisan mampu melunasi hutang sound system. Pada agenda selanjutnya katanya akan di canangkan agar semua anggota kemisan berangkat ziaroh walisongo yang mudah- mudahan terlaksana pada tahun ini.

 

Amin ya robbal alamin…..

Posted by Ziad khusnul labib   @   18 November 2015

Like this post? Share it!

RSS Digg Twitter StumbleUpon Delicious Technorati

0 Comments

No comments yet. Be the first to leave a comment !
Leave a Comment

Name

Email

Website

Previous Post
«
Next Post