Keraton Yogyakarta dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran Mangkubumi Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah melalui perjuangan panjang antara tahun 1747-1755 yang berakhir dengan perjanjian antara Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono III, dan Pemerintah Belanda yang disebut dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Keraton Yogyakarta Aktifditempati pada tanggal 7 oktober 1756 yang dahulu merupakan Keraton Surakarta.
Pada waktu itu, Raja Pakubuwono kedua punya adik, kemudian setelah dewasa mempunyai kemampuan khusus untuk melawan Belanda.Sultan pertama selalu kalah kemudian mendekati adiknya untuk mengajak damai. Tetapi cara tersebut dilakukan dengan meminta bantuan ulama di Surakarta yang bernama Syeh Malik Ibrahim yang diminta Belanda mendekati Pangeran Mangkubumi dan Kerajaan Mataram pecah menjadi dua wilayah, yaitu Kesunanan Surakarta dibawah pimpinan Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta dibawah Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I.Sebelum Perjanjian Giyanti ditandatangani, sempat terjadi perundingan yang alot dan ulet. Perdebatan ini mencakup tiga masalah yaitu pembagian wilayah, pemberian gelar dan lokasi Pangeran Mangkubumi.Belanda saat itu bersikeras Pangeran Mangkubumi disebelah Timur karena basis perjuangannya di Sukowati, tetapi Pangeran Mangkubumi bersikeras disebelah Barat.Sedangkan tentang gelar, Pangeran Mangkubumi mengalah dengan sebutan Sultan yang dari tuntutannya bergelar Sunan.Keraton Yogyakarta dibentuk pada Bangunan Keraton yang sedikitnya terdiri dari tujuh bangsal.Masing-masing bangsal dibatasi dengan regol atau pintu masuk.Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan.Keraton Yogyakarta dibangun dari alun-alun utara sampai selatan 1 km dan dikelilingi benteng baluerti dengan tinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter yang mengelilingi keraton sepanjang 1 . Sedangkan untuk memasukibenteng sendiri, para pengunjung harus melewati pintu gerbang yang disebut plengkung. Terdapat lima plengkungan yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah Timur Laut kraton, Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat Daya, Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah Barat, Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah Selatan danPlengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.Lebar benteng yang 3,5 meter bisa digunakan untuk dilewati kereta api atau kereta khusus yang digunakan oleh keluarga keraton. Ada yang disebut kereta spesial pesiar yang digunakan pada sore hari untuk pesiar keluarga keraton dan sampai sekarang masih digunakan.Jumlah keseluruhan kereta yang ada di keraton Yogyakarta ada 23 termasuk kereta jenazah yang masih ada dan digunakan sampai sekarang.Kereta jenazah yang disebut kereta Kyai Roso Plaroyo merupakan simbol sebagai kereta terakhir untuk menghantar wafatnya Sultan.Selain itu, ada Kereta Kencana atau Kereta Garuda Yaksa merupakan kereta khusus raja untuk memperkenalkan diri Raja setelah penobatan, bentuk kereta sendiri masih asli dan terawat dengan baik sampai sekarang.Adapun 23 kereta keraton tersebut
- Kareta Kyai Jongwiyat (digunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan)
- Kareta Kyai Jolodoro (digunakan sebagai kareta pesiar )
- Kareta Roto Biru (digunakan untuk mengangkut besan mertua)
- Kyai Rejo Pawoko (digunakan sebagai transportasi bagi adik-adik Sultan)
- Kareta Landower (sempat dipamerkan di Hotel Ambarukmo)
- Kareta Premili (digunakan untuk menjemput penari-penari Keraton)
- Kareta Kus (digunakan untuk pengantin)
- Kareta Kapulitin (Kereta untuk pacuan kuda atau bendi)
- Kareta Kyai Kutha Kaharjo (digunakan untuk mengiringi acara-acara yang diselenggarakan oleh Keraton)
- Kareta Kus Gading
- Kareta Kyai Puspoko Manik (digunakan sebagai pengiring acara-acara Keraton termasuk untuk pengiring pengantin)
- Kareta Roto Praloyo (digunakan membawa jenazah Sultan dari Keraton menuju Imogiri)
- Kareta Kyai Jetayu (digunakan sebagai alat transportasi bagi putri-putri Sultan yang masih remaja)
- Kareta Kyai Harsunaba(merupakan sarana transportasi sehari-hari dari masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI – VIII)
- Kareta Kyai Wimono Putro (digunakan pada saat upacara pengangkatan putra mahkota)
- Kareta Kyai Manik Retno (merupakan kareta untuk pesiar Sultan bersama permaisuri)
- Kareta Kanjeng Nyai Jimad (digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari Sri Sultan Hamengku Buwono I – III)
- Kareta Mondro Juwolo (digunakan sebagai alat transportasi)
- Kareta Garudo Yeksa (digunakan untuk penobatan seorang Sultan)
- Kareta Landower Wisman (digunakan sebagai sarana transportasi pada saat melakukan penyuluhan pertanian)
- Kareta Landower Surabaya (digunakan sebagai sarana transportasi penyuluhan pertanian di Surabaya)
- Kareta Landower
- Kyai Noto Puro (digunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan)
Seluruh bangunan keraton sudah dipugar oleh Sultan yang kedelapan selama 13 tahun dari paling dalam tahun 1921-1934.Dahulu lantai keraton masih berupa pasir dan atapnya masih berupa bambu. Sultan Hamengku Buwono VIII kreatif memugarnya , dan dana-dana yang digunakan untuk memugar keraton diterimanya dari ayahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono VII yang disebut pula sebagai Sinuwun Sugih karena beliau satu-satunya Sultan yang paling kaya.Pagelaran adalah halaman paling depan yang berhubungan langsung dengan Alun-alun Lor. Bagian utamanya adalah Bangsal Pagelaran, yang dahulu bernama Tratag Rambat.Pada area Keraton Yogyakarta juga ditanam pohon Sawo Kecik, makna filosofinya yaitu di dalam ruang lingkup halaman itu orang diharapkan hanya berbicara, berpikir dan bertindak yang baik atau (becik) saja.Memasuki halaman kedua dari Keraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca.Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan.Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan.Alun-alun dipakai untuk latihan perang, ada 2 macam bangunan yang terkenal.Disisi timur dipakai untuk latihan perang Geladi Watangan, kerabat prajurit berkuda yang berhadapan membawa senjata mirip tombak atau watak.Fungsinya untuk melatih ketangkasan berkuda.Dahulu latihan perang Geladi Watangan dilaksanakan setiap hari sabtu tetapi sekarang sudah tidak ada.Sedangkan untuk acara pagi, siang dan malam ada acara khusus prajurit yang dihibur wayang kulit yang disebut wayang kulit mimbar watang.Disisi barat digunakan untuk latihan perang Geladi Rampogan, dilakukan dengan melepas binatang buas dan dibunuh ramai-ramai oleh prajurit untuk melatih keberanian.Alun-alun juga dipakai untuk upacara grebeg dari dulu sampai sekarang.Upacara yang lebih dikenal dengan nama grebeg ini pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755—1792). Upacara Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama Islamyaitu Grebeg Syawal (Idul Fitri), Grebeg Besar (Idul Adha), dan paling meriah Upacara Sekaten ( Upacara Maulud Nabi). Pada Upacara Maulud Nabi dikeluarkan 2 perangkat gamelan. Ketika jaman dahulu, perangkat gamelan ini diarak dan satu minggu sebelumnya dikeluarkan gamelan diletakkan didepan masjid karena akan dibunyikan. Gamelan terdiri dari dua macam yang asli ada di solo, begitu tanah mataram dibagi dua, Sultan pertama memilih satu Kyai Guntur madu untuk di bawa ke Yogyakarta, sedangkan yang di Solo ditinggal yaitu Kyai Guntur Sari. Dari masing-masing gamelan kemudian dibuat duplikat yang dibawa ke daerah masing-masing, yaitu duplikat Kyai Guntur Madu di bawa ke Solo dan duplikat Kyai Guntur Sari dibawa ke yogyakarta. Tetapi saat dibuat duplikat Kyai Guntur Sari, di Keraton Jogja sendiri sudah terlanjur dibuat gamelan khusus yang bernama Kyai Nogo Wilogo yang dibunyikan beriringan dengan Kyai Guntur Madu. Upacara sekaten sendiri dikawal oleh 10 kesatuan prajurit yaitu
- Prajurit Bergondol Wirobrojo
- Prajurit Bergondol Daheng (asli dari Makassar kesatuan elit Makassar yang dikirim Belanda untuk menyerang keraton)
- Prajurit Patang Puloh (40 orang melawan laskar Belanda)
- Prajurit Bergondol Jokokaryo
- Prajurit Bergondol Prawirotomo
- Prajurit Bergondol Ketanggung
- Prajurit Bergondol Mantri Jeru (Pengawal Raja)
- Prajurit Bergondol Newtro (Pengawal Raja)
- Prajurit Bergondol Bugis
- Prajurit Bergondol Surokarso (Pengawal Putra Mahkota) yaitu keluar 8 kesatuan dulu sampai Newtro yang 2 kesatuan Manggala Yudha mengawal gunungan sampai depan diberi penghormatan berupa tembakan salto prajurit. Nama-nama prajurit saat ini digunakan sebagai nama-nama kampung di sisi barat, selatan, dan timur, sedangkan disisi utara tidak ada. Nama-nama prajurit yang digunakan sebagai nama kampung tersebut kecuali wirobrojo dan mantra jeru yang digunakan sebagai nama kecamatan yaitu kecamatan wirobrajan dan mantra jeru.
Gunungan merupakan tumpukan makanan yang menyerupai gunung, yang menjadi ciri khasdalam setiap Upacara Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, dan merupakan simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan.Gunungan dharat merupakan gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan di sekelilingnya ditancapi dengan ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang berbentuk lidah.Gunungan gepak merupakan gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Gunungan kutug atau bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar kemenyan. Gunungan lanang pada bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras yang disebut mustaka (kepala).Gunungan ini terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan.Gunungan wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan.Gunungan pawuhan merupakan gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon, namun pada bagian puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.
Raja-Raja yang Memimpin Keraton Yogyakarta
- Sri Sultan Hamengku Buwono I (Bendoro Raden Mas Sujono)
- Sri Sultan Hamengku BuwonoII (Bendoro Raden Mas Sundoro atau Sultan Sepuh)
- Sri Sultan Hamengku Buwono III (Bendoro Raden Mas Surojo)
- Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Bendoro Raden Mas Ibnu Jarot)
- Sri Sultan Hamengku Buwono V (Bendoro Raden Mas Menol)
- Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Bendoro Raden Mas Mustoyo)
- Sri Sultan Hamengku Buwono VII (Bendoro Raden Mas Murtejo)
- Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (Bendoro Raden Mas Sujadi)
- Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Bendoro Raden Mas Dorojatun)
- Sri Sultan Hamengku Buwono X (Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito)
Tata Ruang dan Tempat-tempat pada Keraton
Fungsi Keraton pada saat ini selain sebagai tempat tinggal sultan juga difungsikan sebagai tempat wisata dan dikunjungi baik turis domestik maupun mancanegara tempat tinggal sultan.Tata ruang dari yang tersusun oleh bangunan yang terdiri dari tratag, pendhopo, pringgitan.Pada Lapis luar dari keraton jogja terdapat alun-alun yang terdiri dari Alun-alun utara dengan Masjid Agung, Pekapalan, Pagelaran dan Pasar.Sedangkan Alun-alun Selatan terdiri dari Kandang Gajah Kepatihan yang merupakan sarana birokrasi dan benteng sebagai sarana pertahanan militer.Lapis kedua yang terdiri dari Siti Hinggil merupakan halaman yang disebut juga pelataran yang ditinggikan yang berada di sebelah utara dan selatan. Siti Hinggil Utara terdapat tempat yang bernama bangsal Witana dan bangsal Maguntur Tangkil.Tempat ini digunakan untuk upacara kenegaraan.Siti Hinggil Selatan sering dipergunakan untuk kepentingan Sultan yang bersifat pribadi misalnya menyaksikan latihan para prajurit hingga adu macan dengan manusia (rampogan) atau banteng.Lapis ketiga Keraton Yogyakarta terdiri dari Pelataran Kemadhungan Utara dan Selatan.Pelataran Kemadhungan digunakan untuk ruang transit menuju ruang utama.Pada pelataran Kemadhungan Utara terdapat bangsal yang bernama Pancaniti dan pada pelataran Kemadhungan Selatan terdapat bangsal Kemadhungan.Lapis ke empat Pelataran Sri Manganti dan bangsal Sri Manganti yang dipergunakan untuk ruang tunggu sebelum menghadap raja.Pada bangsal ini terdapat bangsal Trajumas yang terletak di sisi utara Pelataran Kemagangan sedangkan bangsal kemagangan berada dio sebalah selatan.Bangsal ini digunakan sebagai tempat transit sebelum ke pusat Istana.Lapis terakhir terdapat pelataran Kedhaton.
- Alun-alun Utara berfungsi sebagai tempat latihan prajurit.
- Siti Hinggil Utara berfungsi sebagai tempat pelantikan Raja.
- Kemandhungan Utara berfungsi sebagai tempat bagi para prajurit untuk berkumpul.
- Srimanganti berfungsi sebagai tempat kesenian dimana setiap orang dapat menyaksikan wayang orang yang diadakan setiap hari Minggu, wayang kulit yang diadakan setiap hari Rabu, dan wayang golek.
- Kedhaton berfungsi sebagai tempat tinggal Raja beserta dengan keluarganya.
- Kemegangan berfungsi sebagai dapur kerajaan.
- Kemandhungan Selatan berfungsi sebagai tempat olahraga memanah.
- Sasono Hinggil Selatan berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan wayang kulit.
- Alun-alun Selatan berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para prajurit.
Busana Kraton Yogyakarta
Pakaian Adat pria Jogja sehari-hari disebut surjan.Ada 2 macam motif yaitu surjan lurik dan surjan kembang.Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai pemakainya.Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwono VII.Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda.Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan.
Kelengkapan atau spesifikasi khusus jenis prajurit dalam Kraton Yogyakarta:
- Busana prajurit Manggala Yudha
Prajurit Manggala Yudha mengenakan seperangkat pakaian yang terdiri atas celana hitam tanggung, kain model sapit urang motif parang, sepatu pantopel hitam dari kulit, kaos kaki panjang putih, boro motif cindhe yang ujungnya dihias dengan rumbai-rumbai benang emas, mengenakan tutup kepala iket blangkon gaya mataraman yang selanjutnya ditutup dengan topi songkok hitam dan di belakang memakai tutup, mengenakan keris model branggah gaya Mataraman.
- Busana prajurit Dhaeng
Prajurit Dhaeng adalah Bahningsari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya adalah bintang segi delapan berwarna merah.
- Busana Prajurit Patangpuluh
Prajurit Patangpuluh mengenakan pakaian celana panjang warna putih dan celana penderk warna merah, beludru hitam, baju dalam berwarna merah lengan panjang dan di bagian luar baju lurik sikepan lurik patang puluh.Sepatu model bengkop kulit berwarna hitam dan kaos kaki panjang. Serempang ending beludru melintang di baju sikepan, topi songkok hitam
- Busana Prajurit Jagakarya
Prajurit Jagakarya mengenakan seperangkat pakaian yang terdiri dari celana lerik tiga perempat, baju dalam berwarna orange, sepatu model pantofel dari kulit, baju sikepan bahan dari lurik model Jagakarya, iket hitam model celeng mogok ditumpangi topi model songkok hitam bersayap, mengenakan serempang pada baju luar (beskap), mengenakan keris model Mataraman.
- Busana prajurit Prawiratama
Prajurit Prawiratama adalah Geniroga, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah
- Busana Nyutra
Prajurit Nyutra adalah Podhang ngingsep sari untuk Prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah.
- Busana prajurit Ketanggung
Prajurit Ketanggung adalah Cakra-swandana, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah gambar bintang bersegi enam dengan warna putih.
- Busana Prajurit Mantrijero
Prajurit Mantrijero mengenakan pakaian yang terdiri dari celana tanggung bahan lurik, sepatu pantofel hitam dari kulit, kaos kaki putih panjang.Baju lurik Mantrijero, sedangkan baju dalam berwarna putih, boro motif cindhe. Topi songkok hitam model minak jinggo, serempang endong, keris model branggah gaya Mataraman.
- Busana Prajurit Bugis
Prajurit bugis mengenakan seperangkat pakaian yang terdiri dari celana panjang warna hitam, baju kurung berwarna hitanm, sepatu pantofel warna hitam dari kulit, memakai lonthong cindhe dengan kamus timang berwarna hitam dari beludru bervariasi hiasan dari benang emas, mengenakan keris model gaya Mataraman diselipkan di depan.
- Busana Prajurit Surakarsa
Prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning
Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi.
Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng
- Upacara alit terdiri dari
- tetesan (khitan untuk anak perempuan),
- tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon).
- Upacara ageng terdiri dari
- supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton,
- tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem,
- Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).
Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil
- sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit,
- sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan
- sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan supitan.
Busana putra laki-laki
Mengenakan busana kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok atau timang dari suwasa.
Busana putri sultan praremaja
- busana pinjungan yaitu
- pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg.
Busana remaja dan dewasa dalam keseharian
- Busana remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya.
- Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.
Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya
Mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup kepala. Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk putra sultan.
Panggung Krapyak
Kota Yogyakarta merupakan sebuah kota yang terkenal sebagai kota budaya, kota ini memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang membedakan dari kota-kota yang lain, salah satunya mengenai keberadaanKeraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan filosofinya baik dari segi bangunan maupun tata letaknya yang sarat dengan unsur historis dan simbolis. Salah satu yang terkenal adalah keberadaan Panggung Krapayakatau dikenal juga dengan namaKandang Menjangan. Panggung Krapyak merupakan simbol garis imajiner yang membelah kota Yogyakarta yang menghubungkan Gunung Merapi dibatas utara. Tugu Pal Putih lurus kerah selatan yang melambangkan Manunggaling Kawulo Gusti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig) atau kedekatan manusia yang diciptakan dengan sang pencipta. Kemudianmengarah ke arah Keraton dan kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak,Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya (mitos Nyai Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan). Keraton merupakan wujud titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan yang terdapat Pantai Parang Kusumo sedangkan keraton berada di titik tengahnyasebagai penyeimbang. Wujud dari keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya manusia dengan manusia, manusia dengan alam yaitu api dari gunung Merapi, tanah dari bumi Yogyakarta dan air, angina, akasa dari laut Selatan.
Bangunan Panggung Krapyak berbentuk persegi empat seluas 17,6 m x 15 m, dengan ketinggian sekitar 10meter. Bangunan yang kokoh dengan dinding dari bata merah berlapis semen tebal. Setiap sisi terdapat sebuah pintu yang diapit dua buah jendela.Pintu dan jendela berbentuk persegi dengan lengkungan di bagian atasnya.Pada awalnya, pintu dan jendela ini hanya berupa lubang tanpa penutup, karena alasan keamanan, sekarang masing-masing pintu dan jendela diberi jeruji besi.Lantai pertama bangunan terbagi menjadi empat ruang di setiap sudut, sehingga terdapat lorong-lorong pendekyang menghubungkan pintu setiap sisi bangunan.Ruangan sebelah tenggara, terdapat tangga yang digunakan untuk naik ke atas panggung krapyak dimana atapnya terdapat satu lubang besar.Bentuknya yang tinggi, bangunan ini digunakan sebagai pos pertahanan kepada Keraton Yogyakarta bila terjadi serangan.Dahulu, wilayah Krapyak adalah sebuah hutan yang lebat dan menjadi tempat tinggal banyak satwa liar. Para raja Mataram salah satunya raja yang gemar berburu adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I)kala itu gemar berburu atau menjangan.
Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri
Pajimatan Imogiri merupakan makam raja-raja Mataram baik Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta. Terletak 17 kilometer ke arah selatan dari Kota Yogyakarta yang dibangun tahun 1932 oleh Sultan Agung, raja Mataram Islam terbesar dimana bangunan makam lebih bercorak bangunan Hindu.Imogiri berasal dari kata Imo artinya kabut dan Giri artinya Bukit, Bukit yang berkabut dan tanahnya wangi karena makam Sultan Agung berbau wangi dan wangi tersebut asli dari dulu sampai sekarang.Makam Imogiri juga mendapat wasiat bahwa tidak setiap hari buka untuk umum.Satu minggu dibuka tiga kali yaitu pada hari minggu dan senin pukul 10.00 – 13.00 WIB sedangkan hari jumat pukul 13.00 – 16.00 WIB.Kesakralan makam sangat terasa sejak di area luar makam yaitu area parkiran utama tampak dari kicau burung, angin semilir yang sejuk.Bagi masyarakat Jawa, gunung dan bukit menyimbolkan status yang tinggi sekaligus merupakan upaya mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.Menaiki Tangga, untuk mencapai makam para Raja Mataram, peziarah atau pengunjung harus menaiki tangga naik sebanyak 409 tangga buah. Angka 4 melambangkan kitab, angka 0 melambangkan suci atau bersih, dan angka 9 melambangkan jumlah wali songo. Jumlah 409 apabila diperinci meliputi 80, 49, 75, dan 142 sampai diperempatan. Kemudian perempatan keatas meliputi 26, 18,10, 6 sampai pada gapuro. Apabila akan memasuki makam dua Sultan Agung, masih harus ditambah menaiki 99 anak tangga. Jadi, total keseluruhan anak tangga di makam Imogiri ada 553 anak tangga dimana melalui pintu gerbang gapuro sebanyak 3 kali untuk sampai ke pendopo trini harus melawati dua pintu lagi, pintu yang keempat dan kelima lebarnya hanya 80 cm sehingga untuk masuk berziarah atau sungkem harus menundukkan kepala.Secara umum denah atau susunan makam raja-raja ini menyerupai segitiga.Pada bagian atas terdapat makam Sultan Agung, di sisi timur terdapat makam Raja-raja Kesultanan Yogyakarta, dan di sisi barat terdapat makam Raja-Raja Kasunanan Surakarta.Tangga ke kiri mengarah ke kompleks pemakaman Kasunanan Surakarta, tangga lurus menuju kompleks pemakaman Sultan Agung dan tangga ke kanan menuju ke kompleks pemakaman Kasultanan Yogyakarta.Makam Imogiri seluruhnya terdapat 8 keraton atau hastana yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu perempatan kiri (barat) dua ikut raja mataram dan makam raja kartosuro meliputi raja Surakarta hadiningrat solo dari Paduka Kanjeng Sunan Pakubuwono III sampai Paduka Kanjeng Sunan Pakubuwono XII. Sedangkan perempatan timur raja-raja kasultanan Yogyakarta dari Paduka Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I sampai Paduka Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IXbeserta permaisuri dan putra putrinya. Total keseluruhan raja-raja yang dimakamkan di makam Imogiri ada 24 raja beserta permaisuri, anak-anaknya dan para patih. Jika diperinci, makam pada bagian tengah adalah makam Sultan Agung dan Susuhunan Paku Buwono I, kemudian di sisi sebelah kanan makam para Sultan Keraton Yogyakarta, melai dari Sultan Hamengku Buwono I, II, III yang disebut Kasuwargan. Sedangkan di sebelah kanan makam Sultan Hamengku Buwono IV,V, dan VI yang disebut Besiaran. Sisi paling kanan adalah makam Sultan Hamengku Buwono VII, VIII, dan IX yang disebut Saptorenggo. Sisi sebelah kiri secara berurutan adalah makam para sunan Keraton Surakarta, mulai dari Susuhunan Paku Buwono III (Kakak Sultan Hamengku Buwono I) hingga Susuhunan Paku Buwono XI.
Setelah masuk ke komplek makam Imogiri peziarah atau pengunjung akan menjumpai masjid makam Imogiri yang dipakai oleh abdi dalem dan pengunjung untuk sholat. Kemudian melewati anak tangga keatas akan menjumpai Pintu gerbang makam dibuat dari susunan batu bata merah tanpa semen yang berbentuk candi Bentar. Mirip sebuah candi Hindu yang dibelah menjadi dua bagian yang bernama Gapura Supit Urang, merupakan gerbang masuk ke komplek makam, menyerupai gapura di Bali, di samping masing-masing kaki tangga menuju ke gapura terdapat pendopo tempat para peziarah menantikan saat gerbang besar dibuka.Memasuki gapura, terdapat dua bangunan di sisi kiri dan kanan.Bangunan ini disebut paseban, yakni semacam ruang tunggu sebelum memasuki kompleks makam Sultan Agung.Makam Sultan Agung sangat keramat dan makamnya berbau wangi, makam gelap dan tetutup gebyok rapet.Bagi yang akan berziarah ke makam para raja yang ada di situ, diharuskan memakai pakaian tradisonal Jawa. Pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, lengan panjang, telanjang dada, seragam abdi dalem.Sedangkan wanita harus mengenakan kemben, kain panjang batik, lepas baju, rambut disanggul tekuk atau diibelah dua, tidak boleh memakai perhiasaan (kalung dan gelang), tidak sedang datang bulandan seluruhnya melepas alas kaki.Genthong air besar atau Goci padasan yang disebut pula tempayang, dahulu digunakan Sultan Agung sebagai tempat wudhu (air suci) dan sampai sekarang masih diisi air yang air tersebut keramat atau berpetuah. Setiap satu tahun sekali Guci tersebut diisi air saat bulan Sura (Muharram) danpada hari jumat kliwon. Apabila tidak waktu sura, diisi dengan mengambil hari lain yaitu hari selawa kliwon dengan memakai ritual khusus berupa sesaji dan doa witiran di pendopo Yogjakarta dan Surakarta. Saat pemerintahan kanjeng sultan agung dulu mendapat cindra mata dari empat kerajaan kemudian mendapat Guci tersebut dari empat kerajaan yaitu
- Kerajaraan Palembang atau Sriwijaya yaitu Nyai Danumurti
- Kerajaan Aceh atau Samudra Pasai yaitu Kyai Danumayang
- Kerajaan Turki atau Ngarum yaitu Nyai Mendung
- Kerajaan Thailand atau Kampa yaitu Nyai Siem
Akulturasi budaya antara Hindu, Jawa, dan Islam begitu sangat kental dan begitu terasa di pemakaman raja-raja Mataram Imogiri yang kemudian menciptakan kedamaian tanpa adanya kenampakan perbedaan.Dengan berdoa di Makam, para peziarah berharap mereka pulang dengan hati yang lapang dan penuh harapan dengan segala doa yang dipanjatkan.
Artikel disusun sebagai salah satu Tugas Ujian Akhir Semester 3
Mata Kuliah : Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa
Dosen Pembimbing : 1. Rini Iswari
Fajar
lebih tingkatkan lagi