Pemilihan Kepala Daerah

Beberapa waktu lalu ada pro dan kontra tentang sistem pemilihan kepala daerah. Ada dua opsi yang diperdebatkan saat itu. Yaitu, pemilihan kepala daerah secara langsung dan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung (melalui DPRD). Anda memilih yang mana? Mengapa demikian?

Sesungguhnya, masing-masing sistem ini memiliki keuntungan dan kerugian. Kita mulai dengan sistem pemilihan tidak langsung. Pemilihan jenis ini memiliki beberapa keuntungan. Salah satu keuntunganya adalah biaya pelaksanannya yang relatif  lebih murah. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya untuk logistik pemungutan suara seperti kertas suara, bilik suara, kotak suara, dan semacamnya. Kita juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sosialisasi pilkada, alat peraga, dan juga honorarium petugas pilkada. Bagi para kandidat pun biaya tentu lebih bisa ditekan. Misalnya, dia tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk kampanye, pasang baliho, mobilisasi massa, dan biaya-biaya lain terkait upaya meningkatkan perolehan suaranya. Selain faktor biaya, penyelenggaraan pilkada tidak langsung juga membuat seleksi “calon terbaik” kepala daerah lebih mudah. Pasalnya, wakil rakyat yang akan memilih para calon relatif lebih tahu kualitas calon kepala daerah. Ini berbeda dengan pilkada langsung, di mana tidak semua rakyat tahu tentang kualitas para calon. Kelebihan lain, dan ini yang penting, adalah bahwa pilkada langsung merupakan pilkada yang sesuai dengan substansi Sila Keempat Pamcasila, yaitu demokrasi perwakilan. Dengan pilkada tidak langsung, kita mewakilkan urusan pemilihan kepala daerah kepada wakil rakyat yang telah kita pilih pada musim pemilihan legislatif sebelumnya.

Namun demikian, pemilihan kepala daerah tidak langsung pun memiliki beberapa kerugian. Salah satu di antaranya adalah adanya potensi pembajakan hak-hak rakyat. Benar bahwa kita telah memilih wakil-wakil rakyat dalam pemilu legislatif. Tetapi tidak ada jaminan bahwa para wakil rakyat ini, ketika sudah menduduki jabatannya di kursi DPRD, akan memberikan suaranya kepada calon kepala daerah yang sesuai dengan aspirasi kita. Dalam praktiknya, dalam pilkada tidak langsung, anggota DPRD bisa saja lebih “mendengar” aspirasi elit partai daripada suara rakyat pemilihnya. Di sinilah kelemahan potensi oligarki partai bisa memangkas aspirasi rakyat untuk memilih calon kepala daerah yang diinginkannya. Selain itu, benar bahwa pilkada tidak langsung membuat biaya pemilihan kepala daerah menjadi relatif lebih ekonomis. Namun tidak berarti potensi money politics juga kecil. Alih-alih meredam money politics, pilkada tidak langsung hanya akan memindah target praktik money politics, dari rakyat pemilih kepada para wakil rakyat pemilik suara di gedung dewan.

Kenyataan ini tidak membuat model Pilkada Langsung menjadi pilihan yang pasti sempurna. Pasalnya, model pemilihan kepala daerah ini pun sarat dengan kelebihan dan kekurangan. Salah satu keuntungan pilkada langsung adalah terjaminnya hak-hak politik rakyat. Rakyat bisa berkesempatan memilih sendiri kepala daerahnya. Dengan demikian, pemilihan model ini memberi ruang bagi partisipasi politik rakyat yang seluas-luasnya. Selain itu, dengan pilkada langsung, akuntabilitas publik para kepala daerah kepada rakyat akan lebih tinggi dibanding jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh wakil rakyat dalam gedung DPRD. Dengan pemilihan langsung, siapapun yang menjabat sebagai kepala daerah akan berusaha “menjawab” kebutuhan rakyatnya karena adanya insentif untuk dipilih lagi oleh rakyat dalam periode berikutnya. Insentif yang demikian sangat kecil, jika bukan tidak ada, pada kepala daerah yang dipilih oleh para anggota legislatif.

Hanya saja, pilkada langsung pun memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah biaya politik yang lebih mahal. Rakyat pun tidak selamanya tahu kualitas calon kepala daerah yang dipimpinnya. Selain itu, pemilihan kepala daerah langsung pun tidak menjamin kepala daerah tidak akan melakukan KKN. Faktanya, banyak pula kepala daerah hasil pilkada langsung yang kemudian “dijaring” oleh KPK. Yang lebih penting lagi, praktik pilkada langsung dapat dianggap tidak sesuai dengan amanat Sila Keempat Pancasila, yaitu demokrasi perwakilan.

Anda setuju dengan pendapat ini? Jadi, Anda pilih sistem pemilihan kepala daerah yang mana?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: