Budaya Literasi Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia

     Hai, jumpa lagi dengan Galeri Pengetahuan. Kali ini akan ada tugas dari mata kuliah Antropologi Kesehatan pada semester 5. Postingan ini sendiri berisi tentang bagaimana budaya literasi di sekolah yang telah menjadi program pemerintah Indonesia.

Budaya Literasi dalam Pendidikan

     Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata – khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis – yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang “multiple Effect” atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Jadi, makna dasar literasi sebagai kemampuan baca-tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas. Dan cara yang digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui Pendidikan.

     Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat penting dalam hidup kita. Kemajuan suatu negara secara langsung tergantung pada tingkat melek huruf di negara tersebut. Orang berpendidikan diharapkan untuk melakukan tugasnya dengan baik.Secara historis, Menurut Prof. Dr. Tarwotjo M.Sc sebagaimana dikutip oleh Asul Wiyanto dalam pengantar bukunya yang berjudul “Terampil Menulis Paragraf”, produk dari aktivitas Literasi berupa tulisan, adalah sebuah warisan intelektual yang tidak akan kita temukan di zaman prasejarah. Dengan kata lain, apabila tidak ada tulisan, sama saja kita berada di zaman prasejarah. Tulisan merupakan bentuk rekaman sejarah yang dapat diwariskan dari generari ke generasi, bahkan hingga berabad-abad lamanya.

     Dalam sejarah peradaban islam, kita dapat melihat bagaimana tradisi Literasi islam melahirkan tulisan-tulisan para pemikir dan ulama islam klasik yang sudah berumur ratusan tahun sampai saat ini masih eksis dipelajari di berbagai lembaga pendidikan islam, khususnya pesantren. Kitab-kitab yang ditulis para ulama dan intelektual muslim era klasik merupakan sebuah warisan intelektual yang sangat berharga bagi pengembangan khazanah intelektual islam dari generasi ke generasi.

     Tulisan merupakan bukti dari jejak rekam sejarah peradaban manusia yang berupa peristiwa, pengalaman, pengetahuan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan. Tulisan dapat menembus dan menelusuri lorong-lorong ruang dan waktu di masa lampau. Seandainya saja di zaman ini tak ada lagu tulisan atau orang yang mau menulis, niscaya kita akan kembali ke zaman pra-sejarah. Namun faktanya, justru peradaban kita saat ini bisa dikatakan sebagai peradaban tulisan atau peradaban teks. Terbukti dari banjir informasi yang kita terima setiap hari dari berbagai media baik cetak maupun elektronik, sebagian besar berbentuk teks atau tulisan. Singkat kata, tulisan telah mengisi seluruh ruang kehidupan manusia modern di era globalisasi seperti saat ini.

     Dalam dunia pendidikan khususnya, tulisan mutlak diperlukan. Buku-buku pelajaran maupun buku bacaan yang lainnya merupakan sarana untuk belajar para peserta didik di lembaga-lembaga sekolah mulai tingkat dasar sampi perguruan tinggi. Tanpa tulisan dan membaca, proses transformasi ilmu pengetahuan tidak akan bisa berjalan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tulisan, budaya membaca, serta menulis di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, kita harus terus berupaya mendorong serta membimbing para generasi muda termasuk pelajar dan mahasiswa untuk membudayakan kegiatan Literasi.

Pentingnya Budaya Literasi di Sekolah

    Ada beberapa manfaat yang bisa kita dapatkan dari hasil membaca. Yakni : Dengan membaca, kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan. Misalnya membaca koran atau majalah. Membaca juga kita bisa mendapatkan hiburan seperti halnya apabila kita membaca Cerpen, novel. Dengan membaca mampu memenuhi tuntutan intelektual, meningkatkan minat terhadap suatu bidang, dan mampu meningkatkan konsentrasi.

   Menurut Lerner (1988:349) kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya.National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.

   Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

  Melihat begitu rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia tentu ini akan berdampak pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang tahun ini akan menghadapi MEA (Mayarakat Ekonomi Asean) sehingga masyarakat Indonesia akan sangat sulit untuk bisa bersaing dengan masyarakat dari negara lain di Asean. Untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia biasa kita mulai dari sekolah, yang mana sekolah itu merupakan tempat/lembaga yang dirancang untuk melaksanakan proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa yang tentunya kegiatan itu tidak terlepas dari aktifitas membaca. Maka dari sinilah pentingnya mengembangkan budaya membaca di sekolah.

   Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti melalui pembiasaan membaca buku non-pelajaran selama 15 menit setiap hari sebelum pembelajaran dimulai merupakan payung bagi keberlangsungan Gerakan Literasi Sekolah yang dirintis oleh Satria Darma untuk dijadikan sebuah program nasional. Beliau berharap aktifitas membaca kedepannya bisa menjadi budaya bangsa Indonesia.

Penerapan Budaya Literasi di Indonesia

     Budaya literasi telah banyak diterapkan di sekolah-sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis siswa, serta meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai pengembangan dari Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti pada Anak. Awal peluncuran GLS sendiri dilakukan secara simbolis dengan memberikan buku-buku paket bacaan yang didistribusikan di berbagai sekolah sebagai tonggak budaya literasi. Namun walaupun pemerintah telah meluncurkan gerakan tersebut, tetap saja guru dan pihak sekolah harus pandai dalam menyesuaikan dan merencanakan program budaya literasi di sekolah. Untuk menerapkan budaya literasi di sekolah diperlukan beberapa prinsip. Prinsip-prinsip yang ditekankan adalah sebagai berikut.

  • Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang bisa diprediksi

Tahap perkembangan anak dalam membaca dan menulis sifatnya saling beririsan antar tahap. Memahami tahap perkembangan literasi dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa.

  • Program literasi yang baik bersifat berimbang

Sekolah yang menerapkan  program literasi berimbang menyadari bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sehingga diperlukan berbagai strategi membaca dan jenis teks yang bervariasi pula.

  • Program literasi berlangsung di semua area kurikulum

Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran. Pembelajaran pada mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.

  • Tidak ada istilah terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang bermakna

Kegiatan membaca dan menulis di kelas perlu dilakukan agar tercipta kondisi kelas yang kondusif dan menyenangkan. Untuk itu, perlu ditekankan bentuk kegiatan yang bermakna dan kontekstual. Misalnya, ‘menulis surat untuk wali kota’ atau ‘membaca untuk ibu’ adalah contoh-contoh kegiatan yang bermakna dan memberikan kesan kuat kepada siswa.

  • Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting

Kelas berbasis literasi yang kuat akan melakukan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga harus membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Siswa perlu belajar untuk menyampaikan argumentasinya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan antar siswa.

  • Keberagaman perlu dirayakan di kelas dan sekolah

Penting bagi pendidik untuk tidak hanya menerima perbedaan, namun juga merayakannya melalui budaya literasi di sekolah. Buku-buku yang disediakan untuk bahan bacaan siswa perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar siswa dapat dikenalkan pada pengalaman multikultural sebanyak mungkin.

     Setelah berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, selanjutnya adalah penerapan budaya literasi di sekolah. Banyak terdapat bentuk-bentuk penerapan budaya literasi di beberapa sekolah di Indonesia, seperti berikut ini.

  • Membudayakan literasi dengan program 6M

Untuk meningkatkan budaya literasi di sekolah, khususnya di kelas pada kalangan siswa, diperlukan suatu tindakan yang salah satunya melalui program 6M. Program 6M sendiri terdiri atas tindakan mengamati (observe), mencipta (create), mengomunikasikan (communicate), mengekspresikan (appreciate), membukukan (post), memamerkan (demonstrate). Pada program ini siswa dibiasakan untuk mengaktifkan siswa dalam mengembangkan keterampilan yang dimilikinya agar siswa lebih peka, peduli, kritis, kreatif, dan jujur. Program ini telah diterapkan di beberapa sekolah dasar di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aulia Akbar, budaya literasi yang diterapkan melalui program 6M di sekolah, khususnya sekolah dasar, siswa dapat lebih membiasakan diri dalam mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Semakin besar siswa sadar akan pentingnya budaya literasi, maka semakin besar peluang siswa untuk mampu bersaing di era modern.

  • Membudayakan literasi dengan model BATU-BASAH

Kegiatan batu-basah (baca tulis-baca sampaikan hasilnya) dilatarbelakangi oleh rendahnya minat baca siswa di sekolah. Disamping itu, siswa juga mengalami kesulitan untuk menyampaikan hasil bacaannya dalam bentuk lisan dan tulisan, sekolah juga kesulitan dalam mengelola kegiatan literasi di sekolah karena belum semua warga sekolah berpartisipasi dalam pembudayaan literasi. Dalam model batu-basah yang merupakan akronim dari proses reseptif menjadi produktif yaitu baca tuliskan, baca sampaikan hasilnya. Model ini dilaksanakan dalam bentuk pelatihan dan pengelolaan kegiatan membaca kepada pengelola perpustakaan dan semua guru di lokasi mitra sebagai bagian penting dalam mengembangkan budaya literasi. Selain itu beberapa siswa juga turut dilatih tentang tips membaca efektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mandra Saragih dan Habib Syukri Nasution yang dilakukan di SMP Negeri 13 dan 14 Binjai, terjadi peningkatan minat baca siswa dan menurunnya tingkat kesulitan siswa dalam menyampaikan hasil bacaan. Ditambah lagi pihak sekolah sudah mulai tersistem dalam mengelola kegiatan literasi di sekolah sehingga semua warga sekolah berpartisipasi dalam kegiatan ini, dan sudah memiliki format untuk menyampaikan hasil bacaan baik dalam bentuk lisan dan tulisan.

  • Membudayakan literasi dengan pendekatan proses

Salah satu cara untuk mengembangkan budaya literasi dengan pembelajaran membaca dengan menggunakan pendekatan proses. Kegiatan membaca dapat diajarkan kepada anak dengan pendekatan proses yang meliputi beberapa tahapan membaca, yaitu tahapan persiapan membaca, kegiatan membaca, tahap merespon, tahap mengeksplor bacaan dan tahapan memperdalam interpretasi. Dengan pembelajaran membaca dengan pendekatan proses, kemampuan membaca siswa sekolah dasar akan meningkat dan budaya literasi terbangun baik pada anak sejak usia dini. Pendekatan proses ini juga telah diterapkan di beberapa sekolah di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: