Kajian Religi

     Hai, apa kabar? Postingan kali ini berisi tentang tugas mata kuliah Teori-Teori Budaya yang dipelajari pada semester 4. Didalamnya berisi tentang religi masyarakat yang dilihat dari perspektif teori kebudayaan seperti teori evolusi, teori difusi, teori fungsionalisme, dan teori fungsionalisme struktural.

     Nah, berikut ini merupakan kajian religi yang dilihat dari beberapa teori-teori kebudayaan (teori evolusi, teori difusi, teori fungsionalisme, dan teori fungsionalisme struktural) :

  1. Teori Evolusi

   Kajian religi yang berdasarkan teori evolusi ini dikemukakan oleh Edward Burnett Tylor. Tylor mengemukakan bahwa asal mula religi yaitu adanya kesadaran manusia mengenai adanya jiwa yang disebabkan oleh dua hal, yaitu :

  • Terdapat perbedaan yang terlihat pada manusia antra hal – hal yang hidup dan yang mati. Manusia menyadari bahwa ketika manusia itu hidup, ada suatu kekuatan yang menggerakkan yang disebut dengan jiwa.
  • Peristiwa mimpi dimana manusia melihat dirinya di tempat lain yang membuat manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di suatu tempat yang disebut jiwa.

Selanjutnya Tylor mengemukakan bahwa jiwa yang terlepas ke alam disebut dengan roh (makhluk halus) yang menyebabkan manusia berkeyakinan pada roh-roh yang menempati alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesaji, dan sebagainya yang disebut dengan animisme.

Pada tahap selanjutnya, manusia yakin terhadap gejala gerak alam yang disebabkan oleh para makhluk halus yang menempati alam tersebut. Lalu jiwa alam tersebut dilambangkan sebagai dewa alam. Tahap selanjutnya manusia yakin dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau raja dewa, hingga akhirnya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan.

 

  1. Teori Difusi

     Dalam Koentjaraningrat (2009:111) menjelaskan bahwa kebudayaan manusia itu pangkalnya hanya satu, dan di satu tempat tertentu, yaitu pada waktu makhluk manusia baru saja muncul di dunia ini. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah ke dalam banyak atau beberapa kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Dalam proses memecah tersebut, bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan baru tadi tetap tinggal terpisah.sepanjang masa di muka bumi ini terjadi perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta saling mempengaruhi. Untuk melihat kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa itu, proses mempengaruhi, serta persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu beratus-ratus ribu tahun lalu, mulai saat terjadinya manusia hingga sekarang para ilmuwan seperti F. Graebner, W. Schmidt, W.H.R. Rivers, F. Boas melakukan berbagai penelitian dengan cara berpikir tertentu yang disebut aliran difusionisme.

     Graebner mengemukakan bahwa ada sejumlah kalangan budaya dimana sejumlah budaya dipengaruhi oleh pusat, melalui akuisisi oleh difusi pengalihan unsur-unsur budaya yang beragam dikembangkan. Dia mengemukakan bahwa mekanisme dasar transfer ciri-ciri budaya dari satu budaya ke budaya yang lain adalah awal dari siaran. Maka kedua kebudayaan yang secara fisik (geografis) kedekatan membuat “pinjaman” dari unsur-unsur bersama-sama, baik melalui perkawinan, perdagangan, perang, atau bentuk komunikasi lainnya, dan hasil untuk penerapannya dalam konteks budaya mereka sendiri. Grabner berpikir bahwa kesamaan antarbudaya merupakan hasil dari pengaruh budayanya, bukan dari sifat manusia secara universal.

     Sementara itu, Smith dan Perry mengemukakan bahwa dalam sejarah kebudayaan dunia pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur dan yang meliputi jarak yang sangat jauh, yaitu ke daerah-daerah di sekitar lautan tengah, ke Afrika, India, Indonesia, Polinesia, dan Amerika. Teori ini sering disebut dengan Heliolithic Theory.

 

  1. Teori Fungsionalisme dan Teori Fungsionalisme Struktural

     Untuk mengungkap makna dan fungsi ritual dalam religi dapat memanfaatkan teori fungsionalisme dan teori fungsionalisme struktural. Dalam kaitannya dengan ritual daur hidup, Turner membagi dua klasifikasi ritual (Winangun, 1990:21-23), yaitu :

  • Ritual krisis hidup, artinya ritus yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika manusia masuk pada masa peralihan, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Termasuk dalam lingkup ini antara lain kelahiran, pubertas, dan kematian. Dimana ritual ini disebut dengan inisiasi. Termasuk di dalamnya, dalam masyarakat Jawa terdapat ritual mitoni, supitan, tetesan, dan lain sebagainya.
  • Ritual gangguan, yaitu ritual dianggap sebagai negosiasi dengan roh agar roh-roh tersebut tidak mengganggu hidup manusia. Ritual semacam ini pada masyarakat Jawa sering diwujudkan pada tradisi selamatan atau kenduren. Misalnya saja ritual sadranan atau ruwahan, yaitu memberikan sesaji berupa klacen pada sebuah sumur ketika seseorang memiliki hajat, menabur bunga pada makam leluhur dan sebagainya.

     Melalui ritual tersebut diatas, ternyata tradisi tersebut memiliki fungsi yang penting bagi keberlangsungan hidup. Di antara fungsi ritual yang patut dikemukakan, yaitu :

  1. Ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu dan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa ritual menjadi salah satu alat pemersatu atau integrasi.
  2. Ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya emosi pada nafsu-nafsu negatif.
  3. Ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

     Aspek penting dalam kaitannya dengan fungsi ritual adalah liminalitas. Liminalitas merupakan suatu keadaan di,ama seorang individu mengalami keadaan yang ambigu. Yaitu keadaan tidak di sini dan juga tidak disana (neither here nor there). Artinya, individu sedang masuk ke dalam tahap betwixt (di tengah-tengah) dan between (antara). Pengalaman liminal ini akan membuat seseorang sadar diri, saar akan eksistensinya. Pada tahap liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi misalnya, sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah atau sedang meninggalkan masa tertentu tetapi juga sedang masuk masa tertentu.

     Dalam pandangan Gennep (Winangun, 1990:33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (rites of passage), akan mengalami tiga proses, yaitu :

  1. Ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan. Orang tersebut akan berpisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain.
  2. Ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan, supitan, tetesan, dan lain sebagainya.
  3. Ritus inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalnya dalam hubungan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai sesuatu hal yang menyatukan dua keluarga.

     Menurut saya sendiri, teori yang paling aplikatif untuk studi mengenai religi yaitu teori difusi. Hal ini dikarenakan religi atau agama yang dianut oleh manusia merupakan suatu hasil difusi atau penyebaran dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga teori difusi ini dapat  diaplikasikan dalam hal religi atau agama. Di Indonesia sendiri, religi atau agama ada karena hasil difusi atau penyebaran kebudayaan berupa religi atau agama dari wilayah (negara) diluar Indonesia. Misalnya agama Islam di Indonesia dibawa oleh bangsa timur seperti Arab dan Persia melalui proses difusi dengan media perdagangan yang lambat laun mulai diikuti dan dianut oleh masyarakat sebagai bagian dari kebudayaannya.

Sumber :

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

https://digilib.uinsby.ac.id/3554/4/Bab%202.pdf . diunduh pada 23 April 2017

https://www.kompasiana.com/zakyazackoya/beragama-tidak-beragama-dan-teori-religi-perspektif-antropologi_54f787aca33311ff7a8b45a1 . diunduh

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: