Ali Maskur

          Kita ketahui banyak sekali organisasi islam yang berada di Indonesia, misalnya saja Nahdlatul Ulama, Muhammadiyyah, Syiah, Wahabi, Ahmadiyah dan lain-lain. Tidak dapat dipungkiri dari kesemua organisasi itu menimbulkan beberapa perbedaan. Merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan umat islam yang beragam, bersuku serta berbangsa-bangsa akan timbulnya sebuah perbedaan, baik dalam aspek sosial, budaya, adat istiadat hingga dalam memahami nash nash syar’i yang padagilirannya menimbulkan praktek ubudiyah yang berbeda-beda dalam tataran furuj agama. Syekh Nasr Al-Maqsidi dalam kitab hujjahnya meriwayatkan:

CYMERA_20151124_220130

 

Artinya: Pebedaan diantara umatku adalah rahmat (Al Hujjah Lil Maqdisi)

Hadist diatas menjadi sebuah penjekas bahwa perbedaan dalam umat islam merupakan kenyataan yang pasti terjadi. Sekalipun demikian menyikapi sebuah perbedaan hendaknya kita menanggapinya secara santun dengan tanpa harus saling menyudutkan satu sama lain.

Perlu diketahui kemerdekaan bangsa indonesia juga tidak lepas dari peran para organisasi-organisasi islam yang ada di Indonesia. Dan diantara organisasi tersebut yang memegang peran penting yaitu para santri dan Ulama yang lebih spesifiknya dikenal golongan Nahdlatul Ulama (NU). NU memang telah memberikan kontibusi yang besar bagi bangsa ini, bahkan sebelum kemerdekaan. Organisasi ini lahir tahun 1926, sebelum lahir akar-akar NUpun telah muncul yaitu Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) pada tahun 1910, Taswirul Afkar (Potret Pemikiran) pada tahun 1918 dan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air) pada tahun 1926.

Sebagaimana tujuan NU yaitu jami’iyah diniyyah wal ijtima’iyyah (organisasi keagamaan dan sosial), NU memang tidak semata hanya mengurus aspek ibadah ritual saja. Dalam perkembangannya pula program peningkatan dan apa yang disebut ”Revitalisasi” Islam tradisional yang dilakukan NU banyak mencontoh dari apa yang dilakukan (dalam prinsip pengetahuan organisasi) oleh kaum modernis.

Peran para ulama memang sangat penting untuk bangsa ini. Ulama sebagai tiang tegaknya dunia, tanpa Ulama mungkin dunia ini akan rusak. Dimasa kemerdekaan ada ulama-ulama besar NU misal Bpk KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Khasbullah. Setelah masa kemerdekaanpun bermunculan tokoh-tokoh NU yang hebat, KH Abdurrohman Whid adalah salah satunya.

KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur dilahirkan di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tahun 1940. Gus Dur adalah putra salah seorang tokoh besar Nahdlatul Ulama yang bernama KH A. Wahid Hasyim. Bapak yang pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4 ini memang benar-benar telah bisa menerapkan prinsip dasar agama islam, Rahmatan Lil ‘Alamin (menebar kasing sayang kepada sesama manusia), tanpa membeda-bedakan latar belakang agama, suku dan ras.

Sejak masa kanak-kanak, kiai yang dikenal sebagai tokoh dengan ucapan dan tidakan kontroversional oleh semua kalangan itu menampakkan kegemaran dan hobi yang tidak lumrah bagi anak-anak seumurannya. Kegemaran membacanya misalnya, telah menjadi sifat yang sangat menonjol bagi seorang Gus Dur sejak kecil. Terbukti ia selalu memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya untuk melahap ilmu pengetahuan dari buku-buku milik orang tuanya itu. Tidak seperti anak-anak seusianya yang masih belia, Gus Dur telah terbiasa menelaah berbagai bacaan dari majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Bahkan buku-buku yang dibacanya tidak terbatas pada referensi agama saja, tetapi ia telah akrab dengan karangan-karangan orang tidak beragama.

Sebagaimana lazimnya anak kiai, Gus Dur banyak menghabiskan sebagian masa remajanya untuk mengembra ilmu di pesantren. Ia perna nyantren di Jombang, Jogjakarta, Tegalrejo dan sampai ke Mesir. Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang untuk mengajar di pesantren Tebuireng Jombang dan Universitas di tempat yang sama. Keterlibatan Gus Dur di pesantren yang didirikan oleh kakeknya itu menjadi tonggak awal ketokohannya menasional.Dari kota santri inilah ia menekuni bakatnya sebagai penilis dan komunis. Lewat ide-ide yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya, lagi-lagi Gus Dur membuat khalayak tercengang. Salah satu tulisan yang dianggap ”gila” bagi umat islam, terutama masyarakat pesantren ialah gagasan tentang ucapan Assalamu’alaikum absah diganti dengan kata selamat pagi, selamat sore dan selamat malam dalam konteks keIndonesiaan.

Bersamaan dengan nama dan ketokohannya yang kian dikenal oleh banyak lapisan, pada tahun 1984 Gus Dur dipilih untuk menduduki kursi Ketua Umum PBNU pada muktamar ke 27 di Situbondo, muktamar ke 28 (1989) dan muktamar ke-29 pada tahun 1994.

Kontribusi Gus Dur untuk Indonesia pun terus berlanjut. Saat ia masih menjabat sebagai Ketua PBNU (1999) Gus Dur terpilih menjadi presiden RI ke-4. Pemikiran kontroversional Gus Dur tidak sedikitpun mengalami perubahan meskipun telah menjdi orang nomer satu di Republik ini. Sebagaimana dalam dunia pemerintahan , meski selalu didzalimi oleh lawan-lawan politiknya ynag kemudian mengharuskan melepaskan kursi kepresidenan, gaya dan perilaku juga tetap membuat orang banyak terbelalak ketika ia berada di lingkaran politik. Alhasil, dimanapun Gus Dur berada, kapan dan dengan siapapun, ia tampil apa adanya. Gus Dur memang seorang seorang pribadi yang tak pernah dikelilingi rasa gelisah dan khawatir. Seakan Rasulullah Muhammad SAW., selalu membisikanya ”La tahzan inna Allah ma’ana”.

Bercerita mengenai sosok Gus Dur memang tiada hentinya. Ia adalah sosok hebat NU untuk bangsa ini. Bahkan sampai-sampai banyak orang yang menyebutnya sebagai Sunan Tebuireng, Wali Kesepuluh, dan Kyai Humanisme. Ia pernah berkontibusi untuk bangsa ini, memang Ia telah berpulang ke haribaan Ilahi di penghujung tahun 2009 lalu. Dan ”Entah mengapa, sosok Gus Dur seolah masih hidup di dalam setiap sanubari masyarakat Indonesia”.Ia hidup lewat pemikiran-pemikirannya yang diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Kita sebagai generasi muda terkhusus para pemuda NU sudah seharusnya memajukan Bangsa Indonesia ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh NU pendahulu. Kita harus menjadi pemimpin Bangsa ini dengan tetap menerapkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah (NU) dan menjaga kemurnian dan kelestarian ajarannya. Perlu kita ketahui bahwa Allah SWt menciptakan manusia bertujuan untuk beribadah dan sebagai khalifah dimuka bumi, kita harus jalankan tugas itu dengan seimbang. Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin.

 

DAFTAR PUSTAKA:

Athoillah, Ibnu dan Musta’in. 2015. ASWAJA Lahir Batin. Lirboyo: Lirboyo Press.

Sy, Emha. 2013. Gus Dur Sunan Tebu Ireng Wali Kesepuluh, Kyai Humanisme. Jombang: P@kdh33 Press.

El Guyanie, Gugun, Badrudin dan Muhyiddin Basroni. 2015. NU Smoking. Yogyakarta : Cakrawala Media.

Elmubarok dkk, Zaim. 2015. Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Semarang: UNNES PRESS.


Lewat ke baris perkakas